RI 1 Nyalon Jadi RI 2 Dimentahkan Oleh MK
JAKARTA - Wacana boleh tidaknya RI 1 atau presiden yang sudah 2 periode maju menjadi RI 2 atau wakil presiden, di pilpres berikutnya, akhirnya tutup buku setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan pasal yang mengatur hal tersebut.
Beberapa bulan lalu, wacana presiden yang sudah 2 periode bisa maju sebagai cawapres, rame diperdebatkan. Sejumlah akademisi berbeda pandangan soal usulan tersebut. Ada yang menolak, ada juga yang setuju.
Polemik itu muncul seiring lahirnya sejumlah relawan yang coba menduetkan Presiden Jokowi yang sudah 2 periode untuk kembali maju di Pilpres 2024 sebagai cawapres. Salah satunya, disuarakan Sekretariat Bersama (Sekber) Prabowo-Jokowi.
Untuk memuluskan jalannya, Sekber Prabowo-Jokowi kemudian mengajukan gugatan judicial rewiew ke MK. Mereka meminta tafsir soal pasal pencalonan presiden-wakil presiden di Undang-Undang Nomor 7/2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).
Akhirnya, kemarin MK memberikan putusan. Isinya, MK menolak gugatan yang diajukan Sekber Prabowo-Jokowi.
"Menyatakan permohonan para pemohon tidak dapat diterima," kata Ketua MK, Anwar Usman dalam keputusan sidang yang disiarkan di kanal YouTube Mahkamah Konstitusi, kemarin.
Adapun bunyi pasal yang digugat yaitu "Persyaratan menjadi calon presiden dan calon wakil presiden adalah: (n) belum pernah menjabat sebagai presiden atau wakil presiden selama dua kali masa jabatan dalam jabatan yang sama.
Anwar Usman Cs menilai, Sekber Prabowo-Jokowi tidak mempunyai kedudukan hukum untuk mengajukan judicial review (JR) pasal dalam UU Pemilu tersebut. Sebab, pasal 169 huruf n UU Pemilu tak merugikan hak konstitusional Sekber Prabowo-Jokowi.
Hakim menyatakan pihak yang memiliki kedudukan hukum untuk menggugat pasal tersebut adalah orang yang pernah menjabat presiden atau wakil presiden selama dua periode.
"Norma a quo diperuntukkan bagi seseorang yang pernah atau sedang menjadi presiden atau wakil presiden 2 kali masa jabatan yang sama dan memiliki kesempatan untuk dicalonkan kembali menjadi Presiden atau calon wakil presiden," jelas Anwar.
Untuk diketahui, gugatan yang diajukan Sekber Prabowo-Jokowi ke MK untuk menguji Pasal 169 huruf n UU Pemilu. Pasal tersebut mengatur soal persyaratan menjadi calon presiden dan calon wakil presiden yakni belum pernah menjabat sebagai presiden atau wakil presiden selama dua kali masa jabatan dalam jabatan yang sama.
Penggugat menggangap, aturan tersebut bertentangan dengan Pasal 7 UUD 1945 yang menyatakan: "presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan."
Pemohon juga memandang bahwa pemberlakuan frasa 'presiden atau wakil presiden' dan frasa 'selama dua kali masa jabatan dalam jabatan yang sama' sebagaimana bunyi Pasal 169 huruf n UU Pemilu telah bertentangan dengan sila kelima Pancasila 'keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia'.
Tak hanya itu, mereka mengganggap Pasal 169 huruf n UU Pemilu menimbulkan multitafsir jika dibandingkan dengan Pasal 7 UUD 1945 karena tidak memberikan kepastian terkait pencalonan presiden dan wakil presiden.
Sebab, wakil presiden yang pernah menjabat di periode berbeda selama belum dua kali menjabat dalam jabatan yang sama, bisa saja ikut dalam pemilihan presiden dan wakil presiden lagi apabila berpasangan dengan calon presiden lainnya.
Apa tanggapan mereka setelah MK menolak gugatannya? Koordinator Sekber Prabowo-Jokowi, Ghea Giasti Italiane punya pandangan lain. Kata dia, putusan MK tidak mengubah pokok perkara yang dimohonkan pihaknya.
"Kesimpulan dari putusan secara tidak langsung menunjukkan bukan menjadi masalah bila Jokowi menjadi calon wakil presiden bagi Prabowo," tandas Ghea saat dihubungi Rakyat Merdeka (Tangsel Pos Group) kemarin.
Menurut dia, penolakan MK lebih pada kerugian konstitusional sebagai pemohon, bukan pada gugatan yang diajukan.
"Artinya juga tidak ada yang dirugikan jika Jokowi menjadi cawapres dari Prabowo. Hal ini dibuktikan dengan tidak dipertimbangkannya pokok perkara dalam permohonan kami," tegasnya.
Gea masih kekeuh, kalau jabatan presiden dan wakil presiden itu berbeda. Sehingga tidak masalah telah menjabat dua periode sebagai presiden kemudian mencalonkan kembali sebagai wakil presiden.
"Ini hal yang baik, karena di tengah kondisi geopolitik dan ekonomi yang sangat tidak kondusif, terlebih efektivitas jalannya program pemerintahan yang terbatas karena pandemi, diperlukan kedua pasangan putra bangsa terbaik untuk melanjutkannya pada 2024-2029, mudah-mudahan hingga 2034," tutur dia.
Namun, Wakil Ketua Umum PKB, Jazilul Fawaid meminta pada Sekber Prabowo-Jokowi untuk menghormati putusan MK.
"Putusan MK sudah tepat, karena penggugat tidak memiliki legal standing," kata Jazilulkepada Rakyat Merdeka, kemarin.
Hal senada juga disampaikan politisi senior PDIP, Hendrawan Supratikno. Menurutnya, putuan MK yang bersifat final dan mengikat jadi penegasan bahwa tidak ada proses hukum selanjutnya yang bisa ditempuh pemohon.
"Final dan binding. Berarti harus kita hormati," kata Hendrawan.
Ketua DPP PPP, Achmad Baidowo menilai, putusan MK itu harus jadi penegasan untuk mengubur wacana soal perpanjangan masa jabatan presiden. Termasuk untuk mendorong-dorong agar Presiden Jokowi maju kembali sebagai cawapres.
"Biarkan Jokowi menuntaskan sisa jabatannya dengan husnul khatimah," ujar Awi-sapaannya.
Terpisah, Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah mengapresiasi putusan MK. Undang-undang yang mengatur soal batasan seseorang menjabat presiden dan wapres sudah cukup jelas. Tidak multitafsir.
"Sehingga membuka atau menerima gugatan hanya akan menjadikan persidangan sebagai tempat debat kusir tanpa ada kemaslahatan," tukas Dedi.
Sumber berita rm.id :
TangselCity | 2 hari yang lalu
Pos Tangerang | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Pendidikan | 2 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 11 jam yang lalu