Sri Mul: Tenang, Kita Bisa Bayar
TANGSEL - Utang negara yang terus membengkak dari tahun ke tahun membuat banyak pihak khawatir. Apalagi saat ini, utang itu sudah tembus Rp 7.700 triliun.
Menanggapi kekhawatiran itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani mencoba menenangkan:
“Tenang, kita bisa bayar,” tegas Sri Mul. Syukurlah kalau begitu!
Sikap optimis Sri Mul itu disampaikan dalam acara groundbreaking Kampus III UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, Jawa Timur, kemarin. Dalam acara yang disiarkan lewat YouTube Kementerian Keuangan (Kemenkeu) itu, Sri Mul menyinggung soal utang pemerintah yang selama ini jadi bahan kritik sejumlah kalangan.
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini mengakui, kalau membahas soal utang, bulu kuduknya akan langsung berdiri. Mengingat dalam 3 tahun terakhir, khususnya saat pandemi Covid-19 menghajar Indonesia, keuangan negara sudah bekerja luar biasa.
Dalam tiga tahun ini, keuangan negara bekerja luar biasa, termasuk melalui penggunaan instrumen utang yang akan kita bayar kembali. Indonesia mampu membayar kembali,” kata Sri Mul.
Kenapa harus utang? Di sini, Sri Mul kemudian menyinggung soal pembangunan dan negara maju. Kata dia, salah satu syarat untuk menjadi negara maju adalah melakukan pembangunan. Upaya ini tidak boleh ditunda, misalnya sampai menunggu negara menjadi kaya, atau dengan cara tidak berutang.
“Jadi ini seperti telur dan ayam. Untuk memutusnya, kita memang menggunakan instrumen keuangan negara,” jelasnya.
Jika pembangunan terus didorong dari sekarang, Sri Mul optimis Indonesia bisa menjadi negara maju saat 100 tahun usianya pada 2045. Sehingga, investasi dan pembangunan tidak boleh ditunda. Sementara, instrumen APBN menjadi sangat penting.
Untuk diketahui, data Kemenkeu per 30 Desember 2022, posisi utang Pemerintah mencapai Rp 7.733,99 triliun. Angka ini naik Rp 179,74 triliun jika dibandingkan posisi utang bulan sebelumnya yang hanya Rp 7.554,25 triliun.
Berdasarkan realisasi tersebut, rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) juga naik, dari semula 38,65 persen menjadi 39,57 persen. Kabar baiknya, rasio ini turun jika dibandingkan periode yang sama tahun 2021, persentasenya mencapai 40,74 persen.
Benarkah Indonesia mampu bayar utang? Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Sugiyono Madelan membenarkan soal itu. Apalagi, dalam APBN tertulis sumber pembiayaan terbesar dari anggaran Pemerintah adalah SBN.
“Artinya, Pemerintah senantiasa mampu membayar utangnya, apabila pemerintah senantiasa berhasil membiayai anggaran (APBN) dari sumber utang. Mampu membayar utang selama masih berhasil mendapatkan utang yang baru dari SBN dan sumber pembiayaan anggaran yang lainnya,” terang Sugiyono.
Namun, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menjelaskan sudut pandang lain. Meskipun bisa bayar, kata dia, kemampuan pemerintah saat ini makin melemah. Hal itu tercermin pada porsi beban bunga utang yang makin besar.
Selain itu, ketergantungan pada penerbitan surat utang punya implikasi terhadap stabilitas APBN. Karena porsi surat utang makin besar atau mencapai 88 persen. Imbasnya, bunga utang mengikuti bunga pasar. Untuk itu, dia meminta Sri Mul harus waspada jika tidak ingin APBN bisa overhang.
“Beban biaya bunga yang meningkat membuat APBN tidak punya banyak ruang untuk menstimulus dunia usaha, memberikan perlindungan sosial yang baik. Karena berutang untuk bayar utang,” kata Bhima.
Bhima juga memprediksi kalau ke depan, pemerintah masih akan berutang lagi. Nilainya sekitar Rp 660-700 triliun. Nilai ini bisa terjadi jika tidak memperbaiki pola belanja negara yang boros. Termasuk mengerjakan mega proyek yang tidak berkorelasi dengan kemampuan bayar utang.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Amir Uskara meminta, kemampuan bayar utang Pemerintah harus ditingkatkan melalui kenaikan rasio pajak. Selama basis pajak belum optimal, pembayaran bunga utang masih alami kenaikan risiko.
Pengelolaan belanja negara perlu lebih efektif dalam mendorong sumber pertumbuhan ekonomi. Menurut Amir, utang tidak jadi persoalan ketika kue ekonomi semakin besar. PDB Indonesia masih bisa tumbuh di atas 5 persen.
“Artinya kue ekonomi semakin besar. Program seperti hilirisasi dan peningkatan serapan kerja terutama melalui UMKM pada ujungnya akan memperbesar PDB. Meski utang bertambah selama PDB-nya naik tentu tidak masalah,” terangnya.
Penambahan utang, terutama untuk menjalankan roda ekonomi yang produktif masih dibutuhkan asalkan dilakukan secara pruden.
Namun, Pemerintah harus benar-benar memperhatikan risiko inflasi, suku bunga, dan fluktuasi nilai tukar Rupiah akan berpengaruh terhadap belanja utang tahun ini.
“Pemerintah disarankan mencari sumber pembiayaan alternatif yang lebih murah dari sisi bunga. Contohnya pinjaman bilateral atau dengan kerja sama swasta dalam pengerjaan infrastruktur,” pungkasnya. rm.id
Nasional | 2 hari yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Internasional | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu