Ancaman Krisis Nilai
ISU demi isu menggerogoti nilai bangsa ini. Entah itu geng motor, pembunuhan anggota keluarga hingga perkelahian anak muda yang menyeret perhatian publik ke soal korupsi dan pencucian uang. Awalnya sepele, namun efek viral teknologi informasi mengubah segalanya menjadi perkara negara. Insiden kecil menjadi konsumsi publik secara cepat dan masif. Kelambanan dapat menuai kritik yang membuat kita terus merespons apa yang terjadi dari waktu ke waktu.
Gambaran di permukaan menunjukkan terjadinya degradasi nilai. Dalam makna lain, demoralisasi. Lenyapnya nilai bermakna hilangnya kualitas diri atau penghargaan terhadap lentera penuntun tingkah laku seseorang (Giddens, 1998). Dalam imaji kolektif bangsa, sirnanya kualitas hidup suatu bangsa berarti punahnya karakter yang membedakan satu sama lain. Hasil riset pada bangsa-bangsa maju umumnya mentransmisi nilai-nilai positif seperti kejujuran dan tanggung jawab ke generasi selanjutnya dan bukan sebaliknya, dusta, dan khianat.
Perkelahian sesama anak bangsa, geng motor, pembunuhan sesama anggota keluarga menunjukkan raibnya nilai kemanusiaan. Korupsi, suap, dan pencucian uang oleh partai politik dan petugas pajak mengindikasikan tuna ketuhanan, kemanusiaan, kebangsaan dan keadilan sosial. Semua gejala itu mengerdilkan fundamental bernegara, Pancasila. Dari sana lah basis nilai yang kita sepakati menumbuhkan gairah bernegara. Kini terasa hampa.
Nilai dominan yang berselancar tak lain sekedar nilai materi. Nilai intrinsik beredar sebagai solusi apa saja. Seakan tak ada nilai lain yang lebih pantas dari uang. Nilai utama justru hilang ditimpa oleh nilai materi. Padahal nilai non materi yang tumbuh pada individu dan masyarakat dapat berasal dari spirit ketuhanan, kemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan, dan keadilan. Ironisnya Rektor Udayana, Prof. I Nyoman Gde Antara yang mendidik nilai justru ditangkap karena kehilangan nilai (CNN, 2023). Itu hanya pertanda kecil di tengah gunung es yang dapat mencair satu-persatu.
Kita krisis nilai. Nilai spiritual sebagai pengendali syahwat mencuri harta negara tak kunjung memperlihatkan hasil kecuali kepadatan ritual yang bila terganggu dianggap melecehkan keberimanan. Nilai kasih sayang sebagai produk domestik mandul bertumbuh disebabkan anggota keluarga sibuk menjadi pemandu sorak percakapan di media sosial. Nilai persatuan sebagai alasan bernegara tercabik oleh penonjolan identitas yang menghambat kesatuan gerak maju. Kita terpencar ibarat tai kambing yang mudah dimobilisasi oleh kelompok tertentu.
Nilai kerakyatan dikotori oleh uang. Pemimpin dipilih karena uang. Artinya kita membeli pemimpin. Pemimpin tak lain hasil transaksi di pasar terbuka, baik calon presiden, anggota legislatif, kepala daerah hingga kepala desa. Prosedur berdemokrasi didesain sesulit kita mendaki Gunung Manglayang. Realitas itu membuat sebagian besar memilih jalan tikus, nomer piro wani piro. Demokrasi impoten melahirkan nilai jenin kepemimpinan yang mengayomi. Tersisa sekelompok dealer bukan leader. Untuk semua realitas itu kita mesti rela melihat rimba digundul, tambang dikeruk, bahkan laut dicemari.
Nilai keadilan sosial sebagai cita rasa kolektif abai diraih. Sedemikian pentingnya hingga setiap kita berusaha mencarinya sepanjang hayat. Malangnya keadilan sosial dicuri segelintir manusia rakus. Tetesan pajak dihisap hingga bersisa kerak untuk si miskin. Eksesnya upaya keras membangun negara tekor karena gaya hidup hedonisme. Projek stunting sebesar Rp 77 triliun diharap mampu memperbaiki gizi agar tumbuh tinggi hanya sampai ke mulut bayi sebesar Rp 34 triliun (SMI, 2023). Faktanya, uang jualan hasil bumi tak kunjung menurunkan angka kemiskinan, kebodohan, korupsi, dan pengangguran.
Andai kita hidup dengan nilai, kita optimis tinggi anak Indonesia di masa depan mencapai 170 sentimeter dengan IQ di atas rata-rata. Dengan potensi 16,2 per 1.000 kelahiran kita dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang mencapai 273,5 juta penduduk (CBR, 2023). Jepang aslinya Bangsa Ainu yang bertubuh kerdil dan pemarah. Namun hanya butuh kurang dari 40 tahun sejak Hiroshima dan Nagasaki berantakan, sumber daya manusia di genjot oleh guru. Di situ nilai-nilai utama ditanamkan hingga langka menemukan pejabat pemerintah, legislatif, apalagi hakim yang korup. Itulah buah dari investasi nilai.
Krisis nilai menjadikan kita tak punya harga di mata orang lain. Kita hanyalah onggokan tubuh yang tak bermartabat. Kasus warga negara asing di Bali berani tak pakai helm, mengubah identitas kendaraan, ugal-ugalan, bahkan melecehkan polisi lalu lintas di tanah tumpah darah menegaskan bahwa kita tak punya nilai kecuali aspek material yang mudah dipertukarkan lewat tawar-menawar. Padahal cinta tanah air, kedisiplinan, kepatuhan pada aturan, serta loyalitas pada negara adalah sedikit nilai yang tak bisa ditawar dengan apapun juga.
Hilangnya nilai menjadi ancaman bagi masa depan bernegara. Tanpa nilai, partai politik tak lebih dari bilik transaksi kepemimpinan. Tanpa nilai, bangku sekolah hanya akan memproduk ijazah sebagai penanda pernah belajar. Tanpa nilai, keluarga hanya akan melahirkan generasi liar tuna budi. Tanpa nilai, asosiasi pesepakbola hanya akan melahirkan sepak bola gajah. Tanpa nilai, polisi, tentara dan aparat sipil hanya akan menjadi tukang pukul dan tukang peras ketimbang mengayomi. Tanpa nilai, manusia sesungguhnya tak bernilai di mata manusia, lebih lagi di mata Tuhan.(*)
*) Penulis adalah analis pada Pusat Kajian Strategis Pemerintahan Jakarta
Nasional | 1 hari yang lalu
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu
TangselCity | 17 jam yang lalu
Olahraga | 1 hari yang lalu
Galeri | 2 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Galeri | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Galeri | 2 hari yang lalu