TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers SinPo
Membaca Ulang Al-Qur’an (4)

Struktur Makna Esoterik Al-Qur’an

Oleh: Prof. KH. Nazaruddin Umar
Minggu, 26 Maret 2023 | 08:50 WIB
Prof. KH. Nazaruddin Umar
Prof. KH. Nazaruddin Umar

CIPUTAT - Kita perlu memahami secara mendalam, mengapa Allah SWT memilih kata iqra’ pada saat menurunkan Al-Qur’an pertama kali, ternyata untuk menekankan pentingnya memahami lapisan-lapisan makna batin Al-Qur’an.

Tidak semua bahasa yang ada memiliki kemampuan untuk mewadahi kedalaman makna yang berlapis-lapis. Inilah maksud pernyataan Allah SWT: “Al-Qur’an yang berbahasa Arab” (qur’anan ‘arabiyyan/Q.S. al-Syura/42:7) dan “Al-Qur’an yang bercita-rasa Arab” (lisanan ‘arabiyyan/Q.S. al-Nahl/16:103).

Lapis-lapis makna batin Al-Qur’an, menurut S.H. Nasr, ada empat tingkatan. Pertama, tingkatan ‘ibarah, yakni pengungkapan makna umum (generical meaning) yang diperuntukkan kepada masyarakat umum.

Makna inilah yang difahami oleh masyarakat, termasuk makna terjemahan Al-Qur’an dari berbagai Bahasa asing, termasuk Bahasa Indonesia. Kedua, tingkat isyarah, yang diperuntukkan kepada kelompok cerdik-pandai (khash).

Makna ini baru bisa difahami jika seseorang memahami konteks percakapan (siyaq al-kalam) dan ilmu-ilmu alat Bahasa Arab, seperti ilmu sharaf, nahwu, walagah, mantiq, dan kaedah-kaedah Bahasa Arab (qawa’d al-lugah). Bahkan ada sejumlah ayat yang memerlukan kekuatan penguasaan ilmu Usul Fikih dan kaedah-kaedah khusus pemahaman Al-Qur’an (al-qawa’d al-qur’aniyyah) baru bisa difahami. Contohnya memahami lafadz-lafadz tertentu apakah itu al-lafdh al-‘amatau khash, muthlaq atau mugqayyad atau mutasyabih.

Jelas makna ini sulit difahami dan tentu tidak muncul di dalam terjemahan Al-Qur’an. Orang-orang Arab sang pengguna Bahasa Arab (musta’mil) pun belum tentu bisa menangkap makna isyarah ini.

Ketiga, tingkat lathaif, yang diperuntukkan kepada orang-orang yang sangat khusus (khawash al-khawash), seperti para sahabat Tuhan (al-auliya’). Untuk memahami makna lathaif ini dibutuhkan kecerdasan ekstra apa yang disebut sekarang ini dengan kecerdasan spiritual (divine knowledge). Sungguhpun orang amat mendalam pemahaman Bahasa Arabnya belum tentu bisa menangkap makna batin ini.

Untuk memahami makna batin tingkat ketiga ini diperlukan pengetahuan khusus yang diperoleh melalui metodologi khusus pula yang samasekali berbeda dengan metodologi keilmuan lainnya. Dengan kata lain, tingkatan lathaif ini hanya bisa dipelajari melalui metodologi hudhuri (knowledge by present), bukan melalui metodologi konvensional hushuli (knowledge by correspondent).

Keempat, inilah tingkat paling tinggi disebut haqqiq, yang khusus diperuntukkan kepada para Nabi yang ditujukan khusus Kitab itu. Kita tidak tahu metodologi apa yang digunakan untuk bisa memahami tingkatan ini. Yang jelas kalau itu hanya bisa difahami oleh para Nabi atau Rasul secara formal maka tertutuplah kemungkinan untuk memahami haqaiq al-Qur’an karena Nabi Muhammad SAW telah mengakhiri seluruh nabi dan rasul (khatam al-nubuwwah wa al-umursalin).

Hanya kalangan ulama Syi’ah dan kalangan sufi tertentu mengatakan masih adanya kemungkinan memahami makna lathaif ini jika seseorang sudah bisa mencapai tingkat kualitas kenabian (prophetic quality), yang diyakini kalangan imam atau al-auliya’ tertentu dalam lingkungan Syi’ah bisa mencapai makna itu.

Di sinilah pentingnya al-imam al-muntadhar dianggap bisa menjadi perantara untuk bisa mengakses tingkat haqaiq ini.

Umumnya, ulama sunny tidak mengenal atau tidak sependapat dengan adanya pemilahan secara mikro tingkatan makna spiritual Al-Qur’an. Hal ini bisa difahami karena kalangan ulama sunny lebih mengedepankan pemahaman dan penafsiran Al-Qur’an itu secara eksoterik.

Berbeda dengan kalangan syi’ah yang tidak puas dengan pemahaman eksoterik dan selalu berusaha untuk memahami makna esoterik Al-Qur’an. Tentu saja tulisan ini tidak berpretensi mengukur dan menilai mana di antara kedua mazhab tersebut lebih tepat untuk saat ini.

Namun, sekedar untuk mengingatkan, kini sudah saatnya kita ditantang untuk mengeksplor lebih dalam lagi makna Al-Qur’an guna memenuhi kehausan batin manusia-manusia modern yang batinnya kekeringan, karena tersedot oleh fragmatisme logika.

Sebaliknya tentu tidak bisa kita serta merta meninggalkan makna eksoterik Al-Qur’an karena justru inilah yang secara nyata dan terbukti menciptakan keteraturan di dalam masyarakat, terutama melalui aspek-aspek hukum kekeluargaan dan kemasyarakatan.

Perkawinan antara kedua model pendekatan ini sesungguhnya itulah yang diharapkan saat ini. Kini sudah saatnya dimunculkan sebuah kitab tafsir yang mengkombinasikan pendekatan metodologi hushuli dan metodologi khudhuri.

Mohon doa pembaca, penulis dengan segala keterbatasannya kini sudah memulai menggarap tafsir ini. Mudah-mudahan penulis bisa menyelesaikannya dalam waktu tidak terlalu lama, amin ya Rabb al-‘Arifin.

Komentar:
Berita Lainnya
GROUP RAKYAT MERDEKA
sinpo
sinpo
sinpo