Makna Iqra' Keempat
CIPUTAT - Memahami Iqra’ keempat perlu kesadaran dan kecerdasan ekstra. Iqra' ketiga saja yang masih dalam lingkup internal manusia begitu sulit diwujudkan, apalagi Iqra' keempat, faktor utamanya tergantung dari luar diri manusia.
Persyaratan mutlak yang harus dimiliki para murid yang hendak mengakses Iqra' keempat ialah kebersihan dan kesucian lahir batin. Ada berbagai ayat yang mengisyaratkan hal ini, antara lain:
"Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan menyucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah (As Sunah), serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui". (Q.S. Al-Baqarah/2:151). Dalam ayat ini jelas ditegaskan sebelum melakukan proses belajar-mengajar (ta'lim) terlebih dahulu dilakukan penucian diri (tadzkiyah).
Bahkan di penghujung ayat ini menjanjikan sang murid akan mendapatkan pengetahuan apa-apa yang orang lain tidak bisa mengetahuinya.
Dalam ayat lain lebih ditegaskan bahwa siapapun yang akan mengakses ilmu tingkat tinggi itu harus betul-betul dalam keadaan suci dan bersih, sebagaimana ditegaskan: La yamassahu illa al-muthahharun (Tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan (Q.S. Al-Waqi’ah/56:79).
Ayat ini tidak menggunakan kata al-ththahirun tetapi al-muthahharun dengan menggunakan tasydid, mengandung pengertian pembersihan intensif berkelanjutan. Bentuk kata ini juga mengisyaratkan Allah SWT yang lebih proaktif untuk membersihkan dan mennyucikan.
Ketika Allah SWT menunjuk Nabi Muhammad SAW sebagai salah seorang yang mendapatkan karunia khusus berupa akses Iqra' keempat, ia pun diisyaratkan agar senantiasa menyucikan diri, sebagaimana dalam firman-Nya: Hai orang yang berkemul (selimut dan tidur di tempat tidur), bangunlah, lalu berilah peringatan, Bersihkanlah pakaianmu. Tinggalkanlah perbuatan dosa, janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak, dan bersabarlah demi Tuhan-mu. (Q.S. al-Muddatsir/74:9-10).
Kalangan ulama tasawuf (isyari) menjelaskan bahwa kata fa tsiyabaka fa thahhir (bersihkanlah pakaianmu), bukan pakaian yang membungkus badan tetapi badan itu sendiri sebagai pembungkus organ spiritual manusia seperti kalbu, jiwa, dan roh manusia.
Pakaian (al-tsiyab) di sini diartikan badan karena isyarat penyuciannya dengan cara meninggalkan dosa dan memberi dengan maksud meraih balasan lebih besar. Untuk melaksanakan penyucian ini diperlukan kesabaran dan keikhlasan.
Orang-orang khusus yang telah mengikuti persyaratan dijanjikan Allah SWT untuk mengakses kesadaran keilmuan istimewa ini sebagaimana disebutkan dalam ayat: Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang gaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lohmahfuz). (Q.S. al-An’am/6:59).
Dalam ayat tersebut Allah SWT menyatakan Dia sendiri memegang kunci-kunci rahasia kegaiban, tetapi dalam hadis pernah diisyaratkan bahwa orang-orang tertentu yang menjadi pilihannya akan diberikan kemampuan "menggunakan mata Allah untuk melihat dan telinga Allah untuk mendengar".
Orang-orang yang memiliki kemampuan seperti ini sudah barangtentu memiliki kemampuan untuk memahami rahasia-rahasia Tuhan.
Dari sini juga bisa difahami bahwa tebal tipisnya alam gaib tidak sama bagi setiap orang. Ada orang alam gaibnya sangat tebal sebaliknya ada orang yang alam gaibnya sangat tipis, bahkan transparan.
Ilmu yang diperoleh melalui kemampuan kesadaran Iqra' keempat ini biasa disebut dengan "Ilmu Ladunni", sebagaimana diisyaratkan dalam Q.S. al-Kahfi: Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami. (Q.S. al-Kahfi/18:65). Yang bisa mengakses ilmu ini ternyata bukan hanya Nabi.
Bahkan dikisahkan Nabi Musa yang dikenal sebagai Nabi paling cerdas dalam Al-Qur'an terpaksa harus menyiapkan waktu amat lama untuk mempelajari ilmu ini. Ironisnya, ternyata gurunya ialah Khidhir, yang sama sekali tidak dikenal oleh siapapun warga sekitarnya sebagai seorang yang istimewa.
Ia tidak lebih hanya seorang nelayan sederhana. Tetangganya pun tidak mengenalnya kalau ternyata ia seorang manusia luar biasa, di mana orang nomor satu di negeri itu mendatanginya untuk belajar.
Ini pesan untuk kita semua, hati-hati terhadap orang yang tidak populer, karena boleh jadi ia selebriti langit (ma'lum fi al-sma'). Boleh jadi ada selebriti di bumi (ma'lum fi al-ardh) tetapi tidak ada yang mengenalnya di langit.
Secara teknis, kalangan ulama berusaha merumuskan persyaratan-persyaratan teknis bagi orang-orang yang hendak mengakses Ilmu Ladunni, tetapi tentu saja itu menurut pengalaman pribadi hamba-hamba Tuhan yang memiliki kapasitas tertentu untuk merumuskan sejumlah pengalaman mistiknya di dalam menemukan Ilmu Ladunni. Dalam artikel berikut akan dikemukakan contoh kongkrit orang-orang yang pernah mengakses Ilmu Ladunni.
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Olahraga | 11 jam yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu