TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers SinPo
Membaca Ulang Al-Qur`an (19)

Bagaimana Merasakan Kehadiran Wahyu? (1)

Oleh: Prof. KH Nazaruddin Umar
Senin, 10 April 2023 | 08:40 WIB
Prof. KH Nazaruddin Umar
Prof. KH Nazaruddin Umar

 

 

 

 

Oleh

 

 

CIPUTAT - Al-Qur’an adalah wahyu suci turun dari Allah SWT melalui perantaraan Jibril ditujukan kepada Nabi Muhammad untuk dijadikan petunjuk bagi umatnya. Wahyu suci Al-Qur’an dapat dirasakan kehadirannya di dalam hati setiap orang.

Banyak orang yang secara teori memahami seluk beluk wahyu, bahkan mereka mendapatkan gelar dalam bidang Studi Al-Qur’an, namun bukan jaminan yang bersangkutan bisa merasakan kehadiran wahyu di dalam hati sanubarinya.

Kedalaman rasa wahyu tidak sama bagi setiap orang. Ada yang baru sampai dalam tingkat memahami secara umum (knowing), ada yang memahami secara mendalam (understanding), ada yang memahami sekaligus menghayati dan merealisasikannya (realizing).

Inilah arti dan makna kata iqra’ diperintahkan berulang-ulang oleh Jibril, yakni jangan berhenti di taraf iqra’ pertama (knowing), iqra’ kedua (understandiung) tetapi harus sampai ke taraf iqra’ ketiga (realizing).

Masalahnya sekarang bagaimana metode untuk sampai ke tingkat iqra’ ketiga, sebuah tingkatan yang mampu menyuguhkan suasana batin ‘merasakan kehadiran wahyu’ di dalam batin.

Merasakan kehadiran wahyu berbeda dengan merasakan kehadiran ilham, ta’lim, atau inspirasi cerdas. Dengan kata lain, beda rasa wahyu dan rasa ilham atau ta’lim.

‘Rasa wahyu’ diisyaratkan dalam ayat: Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhan-lah mereka bertawakal (Q.S. al-Anfal/8:2).

Bandingkan dengan ayat lain: (yaitu) orang-orang yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, orang-orang yang sabar terhadap apa yang menimpa mereka, orang-orang yang mendirikan sembahyang dan orang-orang yang menafkahkan sebagian dari apa yang telah Kami rezekikan kepada mereka (Q.S. al-Haj/22:35).

Yang dimaksud kata ‘bergetarlah hati mereka’ (wajilat qulubuhum) dalam ayat diatas ialah identifikasi paling mendalam di dalam hati akan keberadaan wahyu suci di dalam batin.

Jika feeling itu sudah hadir maka seseorang bukan lagi memiliki kemampuan memahami dan menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, tetapi ayat-ayat Al-Qur’an sudah mampu menafsirkan diri yang bersangkutan.

Dengan demikian, Al-Qur’an dan manusia saling menafsirkan satu sama lain (Al-Qur’an yufassiru ba’dhuhum liba’dh). Tidak heran jika ada orang samaseali tidak memahami bahasa Arab, apalagi memenuhi 13 syarat formal seorang mufassir sebagaimana dinyatakan oleh ulama tafsir. Mungkin orang belum masuk kategori mufassir tetapi sudah mampu menjadi mufahhim Al-Qur’an.

Bedanya ialah, mufassir memiliki otoritas dan legitimasi khusus sehingga bisa menjadi hujjah bagi orang lain. Sedangkan mufahhim kurang memiliki otoritas dan legitimasi, dan dibatasi hanya menjadi konsumsi untuk dirinya sendiri atau di lingkungan murid-murid khususnya.

Meskipun antara keduanya berbeda tetapi tidak bisa dilegitimasi bahwa temuan mufassir otomatis lebih shahih dan valid daripada temuan mufahhim. Mungkin hanya mufahhim tetapi ia memiliki kemampuan ilmu khusus dari Tuhan (Divine knowledge).

Sebaliknya mungkin mufassir tetapi hanya di dalam batas cognitive (knowing and understanding) tetapi belum masuk di dalam kategori realizing (Iqra’ ketiga).

Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
sinpo
sinpo
sinpo