Ini Lho Alasan MK Tolak Gugatan Sistem Pemilu, Tetap Coblos Caleg
JAKARTA - Akhirnya, kontroversi antara sistem pemilu proporsional tertutup dan terbuka tutup buku. Karena Mahkamah Konstitusi (MK) hari ini, Kamis (15/6) sudah memutuskan menolak gugatan pihak yang ingin mengganti sistem pemilu terbuka menjadi terutup. Tapi apa alasan penolakannya?
Keputusan MK kali ini memang tidak bulat. Karena ada 1 hakim memiliki pendapat berbeda atau dissenting opinion. Hakim MK Arief Hidayat mengusulkan sistem pemilu terbuka terbatas. Dasar pemikirannya itu diambil dari pendapat Presiden Soekarno soal demokrasi permusyawaratan-perwakilan.
"Dalam kerangka itu pula lah sistem pemilu harus diletakkan dalam kerangka pelaksanaan demokrasi perwakilan rakyat, memilih para wakilnya melalui kendaraan partai politik," kata Arief.
Sisanya, hakim MK kompak berpandangan bahwa sistem pemilu proporsional terbuka yang sudah berjalan tak perlu lagi diganti.
Hakim MK Suhartoyo misalnya. Ia berpandangan bahwa sistem pemilu tidak diatur dalam konstitusi. Sehingga pilihan terbuka atau tertutup menjadi wewenang pembentuk Undang-Undang (UU) yaknni DPR dan Pemerintah.
"In casu pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950 tidak menentukan jenis sistem pemilihan umum yang digunakan untuk anggota legislatif," petikan pernyataan Suhartoyo saat membacakan pertimbangan putusan di Gedung MK, Kamis (15/6).
UUD 1945 hasil perubahan pun tidak menentukan sistem pemilihan umum untuk memilih anggota DPR dan anggota DPRD. Dalam hal ini, misalnya, Pasal 19 Ayat (1) UUD 1945 menyatakan anggota DPR dipilih melalui pemilihan umum," sambungnya.
Hakim MK lain, yakni Saldi Isra juga berpendapat bahwa sistem pemilu proporsional yang sudah berjalan selama ini tidak perlu diganti. Namun, demikian ia tidak mengingkari jika masih ada kekurangan dalam sistem pemilu terbuka yang harus disempurnakan.
Penyempurnaan itu, sebutnya bisa dilakukan dari berbagai aspek. Seperti sistem kepartaian, budaya politik, kesadaran dan perilaku pemilih, hak dan kebebasan berekspresi.
Hal lainnya, seperti mengemukakan pendapat kemajemukan ideologi, kaderisasi dalam tubuh partai politik, hingga kepentingan dan aspirasi masyarakat yang direpresentasikan oleh partai politik.
"Karena dalam setiap sistem pemilihan umum terdapat kekurangan yang dapat diperbaikan dan disempurnakan tanpa mengubah sistemnya," kata Hakim Konstitusi Saldi Isra saat pembacaan putusan perkara nomor 114/PUU-XX/2022.
Atas berbagai alasan dan pertimbangan itu, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan sistem proposional tertutup. Sehingga pemilu 2024 akan menggunakan sistem proposional terbuka atau tetap coblos caleg.
"Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," ucap Ketua MK, Anwar Usman di tempat sama.
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu