TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers SinPo

Perang Dan Pencapaian Kesempurnaan

Oleh: Muakhor Zakaria
Minggu, 25 Juni 2023 | 07:10 WIB
Ilustrasi
Ilustrasi

NOVEL  “Shogun” yang ditulis oleh James Clavell, menggambarkan bagaimana kabut teror dan ketakutan yang ditebar oleh balatentara Dai Nippon, sangat berkaitan erat dengan warisan masalalu Jepang tradisional. Dalam filsafat samurai Jepang, segala daya dan motivasi yang bergerak hanyalah kehormatan dan harga diri. Bahkan, kematian seperti komoditas yang murah sekali, bukan sesuatu yang menegangkan, seolah mereka tidak memiliki paradigma tentang surga dan neraka. Persoalan pedang dan darah, keangkuhan dan kebanggaan diri, sadisme yang tak kenal belas kasihan, telah mampu mereka praktekkan dalam bentuknya yang estetis.

Karakter kekuasaan di negeri-negeri Asia, di era pasca perang dingin hampir semuanya memiliki pertalian adat dan tradisi yang turun-temurun. Bahkan, para martir yang berani “bejihad” demi membela kebanggaan sang kaisar (jenderal militer), pada akhirnya harus menerima tragedi kehancuran layaknya kuil kencana yang gemilang, sebagai kebanggaan dinasti yang turun temurun selama berabad-abad.

Berpangkal dari mitologi-mitologi yang diwariskan, misalnya ajaran hagakure dalam dunia samurai. Moralitas untuk menjaga gengsi dan kehormatan bermotif kebaktian dan kepasrahan dengan penuh jiwa-raga. Padahal, dalam terminologi agama-agama Samawi, semestinya diperuntukkan bagi Tuhan yang dimanifestasikan bagi penegakan kebenaran dan keadilan. Seorang samurai dididik untuk menjadi pengabdi yang setia, taat dan patuh kepada tuan (dengan huruf kecil). Untuk itu, moralitas hagakure terbebas dari pamrih diri, suatu kecintaan yang menemukan puncaknya dalam loyalitas tanpa reserve kepada sang penguasa.

Jiwa hagakure sanggup mengekang diri, tidak pernah lembek, berkemauan keras, tidak pernah menyerah menghadapi kesulitan apapun. Dia konsekuen menjaga harga diri sampai ke batas-batas ekstrim sekalipun. Dalam konteksnya dengan “cinta”, seorang samurai tak mau memperlihatkan cintanya kepada pihak yang dicintai, bahkan lebih baik memilih hancur daripada malu. Semuanya itu diabdikan demi kecintaannya kepada sang tuan, yang dapat mengalahkan segala kepentingan pribadinya. Cinta yang sejati selalu menjadi rahasia pribadi yang tertutup, dan kenikmatan seorang pecinta sejati adalah mati demi kekasih yang merupakan rahasia hatinya.

Begitu meyakinkan seorang samurai mengungkap keinginan dan cita-citanya yang tertinggi, hingga nampak berat untuk diklaim sebagai orang yang mengalami frustasi tingkat tinggi. Tetapi, apakah itu sebentuk pelarian manusia angkuh yang merasa terisolasi? Nampaknya sulit untuk digolongkan semacam itu. Karena, dalam filsafat Jepang tradisional dikenal pula suatu “Negeri Murni” yang diidentikkan sebagai surga firdaus yang dijanjikan bagi para penganutnya.

Dalam novel Yukio Mishima yang berjudul “Shigadera Shonin no Koi”, bicara tentang cinta dan asmara. Dua sejoli yang bercinta di tengah-tengah masyarakat mistis dan religius, hingga rela mengorbankan keluarganya demi kekasih yang dicintainya. Tetapi, pada karya Mishima justru yang mengalami mabuk cinta adalah seorang Kiai, bahkan seorang Sufi, yang tergambar sebagai sosok agung Biksu (dalam ajaran Budhisme). Dikisahkan tentang Sang Sufi yang telah mencapai tahap puncak spiritualnya, hingga tinggal selangkah lagi mencapai maqam “ma’rifat” (Negeri Murni). Ia memilih menjadi sufi di Kuil Shiga, justru karena ingin melepaskan diri dari belenggu dambaan pada wanita, yang dinilainya sebagai makhluk yang menghalangi jalannya untuk mencapai Negeri Murni. Tetapi, pada suatu senja di musim semi, pada saat dia sedang khusuk bersembahyang, tiba-tiba sebuah kereta sapi lewat, dan dari balik jendelanya terbuka suatu tawaran manis dari seorang selir kekaisaran, yakni seorang wanita yang luar biasa cantiknya, dan bergelar “Selir Agung Kekaisaran”.

Dua pasang mata dari dunia yang berbeda saling berpadu. Lelaki tua itu, yang sudah memuncak kesempurnaan rohaninya, hingga sudah merasa kebal dari segala rayuan dan godaan duniawi, tiba-tiba meruntuhkan segala ikhtiar kerohaniannya setelah sekian puluh tahun dia perjuangkan. Jembatan yang sudah ia dekati, tinggal meloncat ke Negeri Murni, tiba-tiba ambrol seketika. Seperti kehilangan nalar ia pun terjatuh ke dalam pelukan asmara yang luar biasa. Pada fase selanjutnya, selama berhari-hari dan bermalam-malam dia hanya berdiri dengan tongkatnya di sudut taman istana, melamun dan memandang tergila-gila pada suatu jendela, yang merupakan jendela kamar pribadi Sang Selir Agung Kekaisaran.

Ditunggu dan ditunggu sekian lama, namun permintaan itu tak kunjung tiba. Sampai pada akhirnya, Sang Sufi berlari-lari pulang, dan keesokan harinya ia pun meninggal dunia, masuk ke “Negeri Murni”.

Di tahun 1612 pernah terjadi pertarungan sengit antara dua samurai terbesar di Jepang, yang memperebutkan kehormatan diri. Kojiro, dikenal dengan penguasaan teknik “tsubame gaeshi” (teknik pedang berkecepatan burung elang) harus berhadapan dengan generasi baru samurai bernama Musashi. Pertarungan itu terjadi pada pukul 10.00 pagi, di sebuah pulau kecil yang sunyi di Funajima. Tak berapa lama, pedang Musashi berhasil meremukkan rusuk kiri Kojiro, hingga samurai bengis itu tersungkur tewas dengan darah bersimbah di sekujur tubuhnya.

Maka, tampillah Musashi di tampuk kekuasaan kaum samurai Jepang. Ketika para pengikutnya mengalami euforia atas kemenangan generasi baru ini, Musashi justru mengalami peningkatan spiritualitas hingga bergejolak pertanyaan eksistensial perihal apa yang selama ini disebut “kemenangan”. Ia tak mau memanfaatkan momentum untuk meneguhkan kekuasaannya. Ada emansipasi kesadaran, bahwa ketika suatu kekuatan di luar dirinya telah ditaklukkan, kini ia menghadapi kekuatan yang maha dahsyat agar mampu menaklukkan “kekuatan” yang ada dalam dirinya.

Di tahun 1645, dua tahun sebelum wafatnya, Musashi berhasil menulis otobiografi yang membuat jutaan rakyat Jepang merasa takjub dan terpukau. Ia menuangkan pengalaman hidupnya, hingga puncak-puncak spiritualitas yang dialaminya. Suatu ketika, goresan penanya sampai pula pada kesimpulan yang luhur: “Tak ada kekuatan di luar diri kita yang membuat kita lebih baik, lebih kuat dan cepat, bahkan lebih kaya dan pintar. Semua kekuatan itu berada dalam diri kita sendiri, maka tak perlu sibuk mencari-cari di luar sana.”

Bagi Musashi, kebaikan dan kehormatan diri, bukan terletak pada seberapa besar kita memiliki pengaruh dalam kekuasaan yang kita miliki. Tetapi, bagaimana kita memanfaatkan kekuasaan itu demi untuk kemaslahatan umat yang kita pimpin. Harta dan pangkat bisa menjadi malapetaka jika diselubungi dengan sifat kemaruk dan keserakahan. Secara religius, Musashi menyimpulkan bahwa hampir seluruh perang yang memusnahkan peradaban manusia dari zaman ke zaman, selalu bermula dari kerakusan dan ketamakan akan harta dan kekuasaan.

Namun demikian, di tangan orang-orang baik dan bijak yang telah menemukan dirinya, harta dan kekuasaan akan bermanfaat sebagai sarana untuk mencapai kebaikan dan kemuliaan.

Semua yang ada di luar diri kita tak mungkin mencapai hasil yang paripurna. Sebanyak apapun kita menumpuk hasrat keinginan yang tercapai, pada akhirnya tetap akan bermuara pada keterbatasan dan ketidaksempurnaan. Sementara, seluruh pencarian sejati adalah perwujudan kodrat manusia pada kesempurnaan, yang tak lain adalah pendakian demi pendakian menuju Sang Maha Sempurna.(*)

Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
sinpo
sinpo
sinpo