Airlangga: Indonesia Ogah Jadi Korban New Imperialism, Termasuk Soal Energi
JAKARTA - Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan pandangannya soal pemanfaatan batu bara di masa transisi energi seperti sekarang ini.
Di satu sisi, batu bara masih menjadi pemasok energi terbesar. Bahkan, negara-negara Barat yang kerap menggaungkan energi bersih seperti Jerman pun, masih mengimpor batu bara dari Indonesia.
Namun di sisi lain, batu bara adalah penyumbang emisi karbon terbesar, yang merupakan salah satu tantangan utama perubahan iklim.
Airlangga bilang, jawaban konkret dari semua tantangan itu adalah teknologi.
"I'm an engineer. That's why, I believe in technology. Dulu kita percaya, teknologi nuklir itu berbahaya. Tetapi sekarang, dalam berbagai diskusi, banyak dibicarakan soal small modular nuclear reactor 80 MegaWatt. Nuklir adalah salah satu yang sustain, cost-nya murah. Dan saat ini, pemerintah Indonesia sedang melakukan pembicaraan dengan Amerika Serikat, Jepang, dan Korea Selatan terkait hal tersebut," papar Airlangga.
Ketua Umum Partai Golkar ini mengingatkan, revolusi industri didorong oleh yang namanya batu bara. Steam engine dan kereta api adalah contohnya.
Dan saat ini, dunia masuk ke revolusi industri keempat. Negara Eropa sudah tidak memproduksi batu bara lagi. Tapi, Indonesia punya batu bara. Batu bara adalah energi paling "murah".
Sementara Jepang, telah melakukan uji coba penggunaan amoniak, sebagai bahan bakar pembangkit tenaga listrik, untuk mengurangi emisi karbon.
Pembakaran amonia pada pembangkit tenaga listrik ini, sama sekali tidak menghasilkan CO2.
Lalu, apa yang dilakukan Indonesia terkait hal ini?
Airlangga menerangkan, sebagai negara penghasil minyak, Indonesia memiliki lubang-lubang atau kantong-kantong di bawah tanah, yang dapat menyerap karbon.
"Kita ini the largest carbon capture and storage. Kita mengambil karbon, lalu karbon itu diinjeksi ke dalam. Sekarang ini, kita sedang bikin prototipe carbon capture utilization storage dengan Chevron, juga Exxon, dengan biaya 50 dolar AS per ton CO2 atau sekitar Rp 750 ribu," beber Airlangga dalam acara Indonesia Net-Zero Summit yang dihelat Foreign Community Policy of Indonesia (FPCI) di Djakarta Theatre, Sabtu (24/6).
Selain itu, Indonesia juga mengembangkan yang namanya carbon market.
Sekarang, harga karbon di Eropa sampai 100 euro atau Rp 1,63 juta per ton. Sementara karbon Indonesia, hanya dinilai 5 dolar AS sekitar Rp 75 ribu per ton oleh kuasi multinasional.
"Inilah yang kita dorong. Jangan sampai, negara lain mengambil karbon Indonesia, untuk mengambil carbon credit mereka. Kita dibayar murah. Ini yang kita tidak mau. Makanya, pemerintah mendorong captive market untuk karbon, melalui stock exchange. Kita ingin dihargai setara dengan Eropa," papar Airlangga.
Airlangga menambahkan, dunia merasa, standar mereka lebih baik dari kita. Di situlah, kita dibuat seperti negara yang dianggap "lebih rendah".
Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK), yang merupakan standar kita untuk kayu dan furniture dianggap tidak baik.
Di Eropa, juga sedang marak isu deforestation atau penggundulan hutan. Komoditas kita seperti kopi, kakao, coklat, karet, CPO, timber dianggap bermasalah.
"Mereka menerapkan sebuah standar yang dianggap lebih tinggi. Bahkan, mereka mau mengatur negara lain. Kebijakan itu sama sekali tidak menguntungkan rakyat, smallholders. Hanya menguntungkan multinational corporation. Kebijakan ini harus kita lawan," tutur Airlangga.
"Kita tahu, komoditi kopi dan karet sudah diperdagangkan sejak abad 16. Kenapa diributkan lima abad setelahnya. Inilah new imperialism by regulation, yang dipaksakan kepada negara lain," tandasnya.
TangselCity | 2 hari yang lalu
Pos Tangerang | 18 jam yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Pendidikan | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu