Mereposisi Kembali Status Gubernur
KRITIK terhadap posisi gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dipersoalkan. Dipersoalkan setidaknya oleh dirinya sendiri. Para gubernur itu merasa posisinya tak maksimal sebagai wakil pemerintah pusat, apalagi selaku kepala daerah otonom. Dilemanya, mengoptimalkan salah satunya dengan mengorbankan yang lain atau menjalankan keduanya dengan apa adanya.
Sebagai wakil pemerintah, gubernur tak banyak dilimpahkan wewenang sebagaimana amanah Undang-Undang 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Eksesnya, gubernur seakan hanya mewakili Kementerian Dalam Negeri ketimbang semua departemen yang notabene kaki tangan presiden. Ketiadaan wewenang itu menjadikan departemen teknis lalu-lalang di depan hidung gubernur ketika berurusan dengan kabupaten/kota hingga desa.
Sebagai kepala daerah, gubernur kebingungan menjalankan wewenangnya. Problemnya, gubernur bukan tak punya urusan, namun objek urusannya telah habis dikerjakan oleh kabupaten, kota dan desa sesuai otonomi masing-masing. Realitas ini menjadikan entitas provinsi seringkali dikritik, banyak uang tak ada pekerjaan. Sebaliknya, kabupaten/kota banyak pekerjaan tak punya pembiayaan memadai. Itu pula alasan beberapa urusan ditarik ke provinsi.
Secara historis, entitas provinsi eksis sejak era Belanda. Strukturnya terpisah (split model) hingga terintegrasi (fused model). Struktur pemerintahan daerah didesain sesuai kepentingan kolonial. Dibentuk secara hirarkis dari level atas sampai desa, termasuk pemerintahan bumi putra (Pangrehpraja). Di masa Jepang, struktur pemerintah daerah tak banyak berubah selain istilah yang digunakan (Hanif, 2023). Era Orde Lama, baru dan reformasi pun direkonstruksi sesuai kepentingan rezim berkuasa.
Secara teoritik, di negara kesatuan maupun federal, struktur pemerintah daerah lebih konsisten mengikuti gagasan Leman, Rondinelli, Chema, Smith, maupun Coners (Irfan, 2023). Contoh konsistensi penerapan posisi gubernur sebagai wakil pemerintah di daerah dapat ditemukan di Belanda, Perancis maupun Jerman (integreated field administration). Di luar mekanisme itu, wakil pemerintah bisa dalam bentuk functional field administration.
Di masa Orde Baru, semua entitas pemda dijadikan rangkaian gerbong wakil pemerintah di daerah. Melalui jalur dekonsentrasi, gubernur, bupati, walikota hingga camat adalah perpanjangan pemerintah sekaligus penguasa tunggal. Praktis, pemerintah daerah tak punya otonomi sekalipun norma konstitusi dan undang-undang di bawahnya memberi peluang untuk itu. Dampaknya kepentingan pemerintah lebih efektif selain stabilitas terjamin.
Di masa Reformasi, posisi provinsi dijadikan dual role yang membuatnya justru tak semakin efektif. Praktik ini jelas membingungkan. Di satu sisi provinsi sebagai wakil pemerintah yang berorientasi penuh ke atas, di sisi lain bertanggungjawab penuh pada rakyat di daerah selaku basis konstituennya. Ini membuat dilematis, antara mengawasi kabupaten/kota dalam posisi sebagai wakil pemerintah atau melaksanakan otonominya untuk masyarakat di daerah.
Jalan keluar ke depan, posisi provinsi diletakkan sebagai daerah administratif semata. Konsekuensinya tugas gubernur semata mewakili pemerintah di daerah. Melakukan tugas pemerintahan umum (koordinasi, pembinaan dan pengawasan). Alternatif, mengaktifkan kembali jalur functionale field administration untuk melaksanakan korbinwas teknis bersama gubernur. Apapun pilihan melalui revisi kebijakan, kita hanya perlu konsistensi agar pemerintah daerah berjalan efektif dan efisien dalam kerangka negara kesatuan.(*)
*) Penulis adalah analis pada Pusat Kajian Strategis Pemerintahan Jakarta
TangselCity | 2 hari yang lalu
Pos Tangerang | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Pendidikan | 2 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 14 jam yang lalu