PDIP-Demokrat Debat Buku "Cawe-cawe"
Jalan Pertemuan Mega & SBY Terasa Berliku
JAKARTA - Buku "Jokowi Cawe-cawe" karya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) membuat hubungan Partai Demokrat dan PDIP yang mulai mesra, kembali menghangat. Kedua partai terlibat dalam perdebatan mengenai buku tersebut. Peluncuran buku ini membuat jalan pertemuan Megawati dengan SBY terasa amat berliku.
Hubungan PDIP dan Demokrat, yang puluhan tahun membeku, sebenarnya mulai mencair setelah Puan Maharani dan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) tampil mesra di saat jalan bareng di kawasan Gelora Bung Karno, Senayan, pekan lalu. Momen ini mendapat sorotan karena AHY adalah putra SBY, dan Puan adalah putri Megawati.
Sehari setelah pertemuan itu, SBY mencuit di Twitter tentang harapan bertemu dengan Megawati. Dari dua momen itu, kedua partai mulai merancang pertemuan Mega dan SBY.
Namun, keakraban kedua partai tak bertahan lama. Di acara puncak peringatan Bulan Bung Karno, Megawati menyindir soal "pemimpin ganteng" yang merujuk pada SBY yang bermodal tampang pada Pilpres 2004 dan 2009. Dua hari kemudian, SBY meluncurkan buku Jokowi Cawe-cawe. Dengan kedua momen ini, upaya untuk mempertemukan SBY dengan Mega menjadi sulit.
Buku karya SBY ini berjudul lengkap "Pilpres 2024 & Cawe-cawe Presiden Jokowi". Buku ini diluncurkan dan dibedah di DPP Partai Demokrat, Jakarta, Senin (26/6). Buku setebal 24 halaman ini bersampul merah dengan aksen hitam. Di bagian atas sampul terdapat tulisan "The President Can Do No Wrong".
Buku ini berisi antara lain pandangan SBY atas pernyataan Presiden Jokowi yang mengatakan akan cawe-cawe dalam Pilpres 2024. Salah satu yang dikupas adalah terkait penjegalan Anies Baswedan sebagai calon presiden.
SBY menyoroti etika Jokowi jika benar-benar melakukan hal tersebut dengan penyalahgunaan kekuasaan. Misalnya, dengan mencari-cari kesalahan Anies hingga ditetapkan sebagai tersangka dalam sebuah kasus pidana. Buku itu juga berisi wejangan SBY kepada para kader Demokrat bagaimana cara mengelola kekuasaan agar jangan melanggar batas-batasan yang sudah diatur oleh konstitusi.
Buku tersebut rupanya membuat panas kuping PDIP. Politisi PDIP Masinton Pasaribu merespons tulisan SBY yang menyinggung soal penjegalan Capres Anies. Menurut dia, urusan pencapresan Anies tergantung Koalisi Perubahan. Kalau Anies tak bisa nyapres, jangan menyalahkan orang lain.
Kalau nggak bisa terbang, jangan salahkan udara. Ya kan. Jangan-jangan pilotnya yang nggak kompeten untuk terbangkan pesawatnya atau memang pesawatnya yang rusak," sindir Masinton, di Kompleks Parlemen, Jakarta, kemarin.
Daripada SBY mengkritik pihak lain, lanjut Masinton, lebih baik instrospeksi diri apakah Koalisi Perubahan sudah kompak. "Jangan dibilang udaranya yang nggak bersahabat kalau nggak bisa terbang. Periksa dong sayapnya. Kalau pesawat, (periksa) mesinnya, pilotnya," sindirnya lagi
Masinton memastikan, Jokowi paham konstitusi. Jadi, tak akan melakukan penjegalan. Ia lalu merujuk pada Undang-Undang Pemilu yang menegaskan soal ambang batas pencalonan presiden sebesar 20 persen.
"Jadi ditanyakan kepada partai-partai politik yang akan mengusung keseriusan dari masing-masing parpol tadi," cetusnya.
Politisi senior PDIP Hendrawan Supratikno ikutan berkomentar. Menurut dia, isi buku SBY tersebut tak ada yang baru. "Isinya masih berupa kegalauan, keprihatinan Pak SBY yang sudah pernah disampaikan ke publik," kata Hendrawan.
Pihak Demokrat tampil membela SBY. Sekjen Demokrat Teuku Riefky mengatakan, buku SBY itu ibarat penerang dalam redupnya demokrasi di negeri ini.
Sementara, Sekretaris Majelis Tinggi Partai Demokrat Andi Mallarangeng menyampaikan, buku ini terbit karena SBY tergelitik dengan fenomena akhir-akhir ini. "Isu tentang cawe-cawe Jokowi dalam Pilpres 2024 nanti bisa kita jadikan pelajaran. Apa batas-batas kekuasaan itu, sehingga tidak membuat kekuasaan menjadi ilegal," ulasnya.
Andi Mallarangeng mengatakan, pemimpin negara demokratis itu harus tahu batasannya. Apa lagi dalam UUD 1945, ada pasal impeachment yang bisa memberhentikan presiden.
"Boleh saja Presiden Jokowi cawe-cawe dalam Pilpres. Boleh saja Presiden Jokowi menginginkan Pilpres 2024 hanya diikuti dua pasang calon. Tetapi tidak boleh menggunakan sumber daya negara, instrumen negara, fasilitas negara untuk mendukung, memastikan misinya tercapai. Ini yang berbahaya," pungkasnya.
Lifestyle | 1 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
Pos Tangerang | 1 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
Pos Tangerang | 1 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 22 jam yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu