Karut-Marut PPDB, Komisi X DPR Pertimbangkan Bentuk Panja
JAKARTA - Komisi X DPR mendorong Pemerintah mengefektifkan Satuan Tugas (Satgas) Pemantauan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang akan dibuat Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menyusul banyaknya masalah dan protes terkait sistem tersebut. Efektivitas Satgas diharapkan bisa mengurangi sengkarut PPDB, khususnya untuk sistem zonasi.
"Masalah terbesar yang kita hadapi dalam dunia pendidikan adalah sistem zonasi. Di mana-mana orang berlomba-lomba memasukkan anaknya ke sekolah dengan berbagai cara yang kurang baik, seperti hanya numpang tinggal sementara dan juga persoalan data yang kurang signifikan,” kata Wakil Ketua Komisi X DPR Dede Yusuf, dalam keterangan yang diterima RM.id, (Tangsel Pos Grup) Rabu (25/7).
Seperti diketahui, banyak kecurangan dalam pelaksanaan PPDB berbasis zonasi. Mulai dari temuan Kartu Keluarga (KK) palsu, sisipan nama pada KK sebagai anggota keluarga tambahan, hingga berbagai modus manipulasi yang dioperasikan semeyakinkan dan semasuk akal mungkin agar memenuhi syarat domisili sebagai prinsip dasar PPDB zonasi.
Terkait manipulasi jalur zonasi, Kemendikbudristek banyak menemukan upaya memasukkan anak ke KK yang alamat rumahnya dekat dengan sekolah yang dituju. Bahkan Kemendikbudristek menemukan ada yang di dalam satu KK terdapat 10 hingga 20 anak.
Dede menganggap, perlu ada pengawasan yang melibatkan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk melakukan pemantauan, karena berkaitan dengan data kependudukan.
“Persoalan ini harus melibatkan kementerian lain. Terutama Kemendagri soal kewenangan pengawasan daerah. Karena diduga banyak kecurangan penerimaan murid baru dengan menggunakan perpindahan domisili,” jelas mantan Wakil Gubernur Jawa Barat ini.
Satgas PPDB yang akan dibuat Kemendikbudristek merupakan salah satu rekomendasi Komisi X DPR menyusul karut-marut PPDB. Selain melibatkan kementerian/lembaga terkait, Satgas PPDB yang dibuat Kemendikbudristek juga harus berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan (Disdik) dan Ombudsman wilayah setempat yang di daerahnya terdapat masalah. Ombudsman perlu dilibatkan karena banyak pejabat daerah yang turut memanfaatkan proses PPDB demi kepentingan pribadi, dengan melakukan sejumlah pelanggaran.
Kami minta dikuatkan Satgas PPDB bersama dengan Ombudsman terutama di daerah-daerah untuk melakukan fungsi pemantauan dan pengecekan atas penyimpangan-penyimpangan. Termasuk memberikan sanksi kepada pejabat-pejabat berwenang yang mana justru banyak menjadikan PPDB ini semakin lebih bermasalah, seperti minta uang, titipan dan sebagainya," papar Dede.
Selain jalur zonasi, manipulasi juga banyak terjadi dalam sistem PPDB jalur prestasi. Sebab, kriteria jalur prestasi tidak jelas. Sering kali seleksi dengan cara ini dijadikan celah banyaknya titipan untuk dimasukkan ke sekolah yang dituju hingga tekanan kepada pihak sekolah. Oleh karena itu, rekomendasi lain dari Komisi X DPR kepada Kemendikbudristek adalah terkait perbaikan sistem PPDB jalur prestasi.
“Dalam rekomendasi, Komisi X DPR juga mendesak Kemendikbudristek memperjelas mekanisme, definisi dan kriteria pada jalur prestasi. Karena kriteria yang tidak jelas banyak dijadikan kesempatan pihak-pihak tertentu untuk melakukan manipulasi,” ucap legislator dari Dapil Jawa Barat II itu.
Dalam rekomendasinya, Komisi X DPR tegas meminta Kemendikbudristek mengevaluasi total sistem PPDB. Komisi X memberi tenggat waktu kepada Kemendikbudristek untuk melaporkan hasil evaluasi selambat-lambatnya pada akhir Oktober 2023.
Apabila belum ada perbaikan, Komisi X DPR meminta Kemendikbudristek mengubah sistem PPDB zonasi. Mengingat persoalan mengenai PPDB zonasi selalu muncul di setiap tahun ajaran baru sejak sistem tersebut diberlakukan.
Kalau setiap tahun permasalahan ini selalu terjadi, perlu ada perbaikan. Dan kami beri waktu sampai Oktober ini, jika masih belum ketemu solusi, maka ubah sistemnya," tegas Dede.
Politisi Partai Demokrat ini memahami, sistem zonasi pada PPDB bertujuan baik demi pemerataan kualitas pendidikan di Indonesia. Namun, dalam pelaksanaannya, sistem zonasi justru menimbulkan persoalan baru karena tidak dibarengi dengan pembangunan sekolah-sekolah negeri sesuai kebutuhan dan lokasi.
“Yang ada justru siswa-siswa terlalu memilih ke satu dua sekolah saja, sementara yang sekolah lain jadi sepi peminat. Seharusnya ini dipetakan. Termasuk juga kebutuhan guru yang kalau kita tarik ke belakang lagi masih menjadi PR besar dunia pendidikan kita,” ungkapnya.
Apalagi berdasarkan data Kemendikbudristek, permasalahan yang paling banyak dilaporkan dari Disdik yakni terkait jumlah daya tampung atau kuota siswa. Artinya, di sejumlah daerah memang ada ketimpangan antara jumlah sekolah dengan jumlah siswa yang mendaftar. “Belum lagi kalau kita berbicara soal dampak sistem agar sekolah mendahulukan siswa dengan batas usia tertentu,” lanjut Dede.
Menurut Dede, hal tersebut sebenarnya bertujuan baik agar anak-anak tidak putus sekolah, terutama untuk siswa yang usianya sudah melewati batas maksimal pendaftaran. Hanya saja, peraturan ini justru membuat anak-anak menunda sekolah setahun sampai dua tahun demi masuk ke sekolah yang diinginkan.
“Untuk menyiasati itu kan sebenarnya kita sudah ada PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Mengajar) dan disamakan nilainya dulu. Jadi jangan memaksakan juga siswa-siswa yang sudah tua, yang sudah 18 tahun, 17 tahun dimasukkan ke SMK yang usianya rata-ratanya baru 16 tahun,” urai Dede.
“Dan pasti ada dampak psikologis sosialnya karena siswa yang lebih tua cenderung mendominasi siswa dengan usia di bawahnya,” sambung dia.
Dede mengusulkan, penerimaan siswa baru dikembalikan seperti sistem pendaftaran sekolah terdahulu, yakni seleksi berdasarkan nilai hasil ujian akhir sekolah seperti saat masih ada NEM (Nilai EBTANAS Murni). Namun sistem seperti ini diseleraskan dengan kebutuhan di masing-masing daerah.
"Maka kita akan minta segera membuat sistem baru yang lebih mengedepankan azas dan hak ke testing (ujian). Misalnya bisa kembali kepada sistem NEM, namun testing-nya itu hanya buat pendaftar-pendaftar yang non-zonasi,” sebut Dede.
Jadi sistem zonasi-nya masih tetap ada, ya zonasi bisa berkurang lah menjadi 20 persen, lalu ada sistem prestasi, itu non-akademik,” imbuhnya.
Selain pengembalian sistem, Dede juga meminta Pemerintah mempertimbangkan mengambil alih tanggung jawab terhadap siswa-siswa yang tidak diterima di sekolah negeri. Seperti dengan memberi bantuan dana atau subsidi untuk siswa yang akhirnya terpaksa bersekolah di sekolah swasta, khususnya bagi anak dari keluarga kurang mampu.
“Karena banyak sekali keluarga yang terjebak pada masalah biaya pendidikan setelah anaknya tidak diterima di sekolah negeri. Jadi boleh bersekolah di swasta tapi dibiayai oleh negara, itu opsi yang lebih kuat lagi, tetapi nanti ujung-ujungnya adalah kemampuan anggaran negara harus siap," tutur Dede.
Melihat kompleksnya persoalan penerimaan siswa baru, Komisi X DPR tengah mempertimbangkan membentuk Panitia Kerja (Panja) PPDB. Selain untuk mencari solusi terkait sistem penerimaan siswa baru, menurut Dede, Panja PPDB juga bisa bekerja menangani banyaknya temuan pelanggaran yang dilakukan oknum-oknum tertentu.
"Sekarang, tugas Pemerintah merespons apabila temuan Ombudsman merujuk adanya pelanggaran administratif oleh guru dan pejabat-pejabat terkait. Kita pantau, kalau perlu sehabis reses bikin Panja PPDB," ujarnya.
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
Nasional | 23 jam yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu