TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers SinPo

Nama Yang Islami Dalam Sastra Modern Indonesia

Oleh: Mu’min Roup
Kamis, 17 Agustus 2023 | 07:00 WIB
Ilustrasi
Ilustrasi

"JIKA  dunia sastra dan kebudayaan tak sanggup mencerdaskan dan mendewasakan bangsanya, sebanyak apapun kail disodorkan pihak pemerintah, masyarakat hanya akan sibuk memperebutkan ikan-ikannya.” (Hafis Azhari, penulis novel Pikiran Orang Indonesia)

Tidak sedikit sastrawan Indonesia yang mendedikasikan karyanya melalui tokoh-tokoh yang mengacu pada istilah keagamaan, khususnya Islam. Seakan identitas religius menjadi akrab dalam khazanah imajinasi pembaca, juga sebagai pertanda untuk mencermati konteks kultur sosial yang berlaku di negeri ini. Nama tokoh dalam karya sastra tampak menentukan keberhasilan dalam menceritakan kesejarahan yang biasanya tercermin dalam penuturan sebuah novel, cerpen maupun naskah drama dan film.

Kita mengenal karya-karya Kuntowijoyo yang sangat lekat dengan nama-nama Islam dalam setiap novelnya. Misalnya nama “Abu Kasan Sapari” dalam novel Mantra Penjinak Ular, yang dinilainya akrab dengan sosio kultur masyarakat Jawa yang masih menjunjung-tinggi kepercayaaan ritual adat. Adanya upacara tersendiri untuk pemberian nama dalam masyarakat Islam Jawa, nampaknya berkembang pesat di saat Kuntowijoyo menuangkan karya-karya sastranya.

Kuntowijoyo justru menarasikan sosok-sosok ideal yang berkepribadian sesuai pembawaan namanya. Ia menggambarkan bagaimana pihak keluarga, melalui peran Kakek yang memberitahukan masyarakat bahwa cucunya akan diberi nama “Abu Kasan Sapari”. Kemudian sang Kakek menegaskan, “Abu diambil dari sahabat Nabi, Abu Bakar, Kasan adalah nama cucu Nabi, dan Sapar adalah bulan pernikahan kedua orangtuanya.”

Beda dengan narasi-narasi yang tertuang dalam novel Perasaan Orang Banten. Bahwa nama-nama yang ditokohkan memang mencerminkan sesuatu yang islami, tapi Hafis Azhari menampilkan tokoh sebagaimana realitas kultur masyarakat Jawa Banten yang cenderung temperamental. Nama-nama seperti Tohir, Sodik, Pak Salim, bahkan Pak Majid yang pernah menjadi aktivis berhaluan kiri, tidak identik dengan pemaknaannya, melainkan ditampilkan sesuai karakteristik masyarakat hiper modern saat ini. Jadi, sengaja sang penulis tidak menampakkan tokoh sesuai dengan karakteristik nama, biar sebagus apapun dia menyandang nama dari leluhurnya. Terkecuali nama Jamilah yang memang ditampilkan sesuai paras muka yang cantik nan jelita, namun karakter khasnya tetap bercorak tradisi dan watak perempuan Banten yang cenderung genit dan urakan.

Idealisme Kuntowijoyo dalam penamaan yang disematkan kepada sang tokoh, sehaluan dengan tesis sejarawan Annemarie Schimmel yang berpendapat bahwa di dalam Islam, nama memiliki kekuatan doa dan harapan dari orangtua. Tetapi, untuk menampilkan karya sastra yang bersifat sosiologis maupun antropologis, karakterisktik tokoh harus ditampilkan sesuai realitas kultur yang sedang berjalan.

Bahkan, di zaman Rasulullah sekalipun, realitas kultur berjalan sebagaimana adanya. Sehingga, tak menutup kemungkinan seseorang yang menyandang nama Abdurrahman bin Muljam justru menjadi pelaku pembunuhan atas sahabat dan menantu Rasulullah (Ali bin Abi Thalib). Padahal jika diartikan, nama Abdurrahman nampak idealis, yakni “hamba yang pengasih”. Tak terkecuali dalang pembantaian pada Perang Uhud atas ratusan kaum muslimin, justru memiliki nama “Abdullah bin Ubay” yang mengandung arti “hamba Allah yang pemberani”.

Cerpen fenomenal karya Idrus, “Jalan Lain ke Roma” justru menokohkan seorang bernama Open yang amat polos dan lugu dalam memahami teks-teks keislaman. Tak beda jauh dengan nama-nama unik yang disandang orang Jawa Banten maupun Betawi, seperti Siti Hawiyah, Bang Jahim, Bu Hamiyah, tanpa peduli bahwa ketiga nama tersebut mengandung arti neraka yang menyala-nyala.

Paradoks yang sama tercermin pada cerpen dan novel-novel Felix Nessi maupun Eka Kurniawan, yang tak segan menampilkan nama yang religius (baik Kristen maupun Islam), namun berperilaku seorang pemadat, pembegal maupun maniak-maniak daging yang anarkis. Tidak jarang sang anarkis itu menampilkan diri bertampang laiknya Kiai Saleh ataupun Bunda Maria yang penuh cinta-kasih.

Nama-nama dalam banyak tradisi dan budaya Indonesia, cenderung bersifat mistis bahkan magis. Mistisisme dalam Islam dimungkinkan agar para keturunan dapat mencontoh akhlak dan perilaku Rasulullah. Sehingga, tak jarang kaum muslimin Indonesia memberi nama anak-anaknya yang diawali dengan Ahmad atau Muhammad.

Dalam kumpulan cerpen “Surga Sungsang”, Triyanto Triwikromo sastrawan kelahiran Salatiga itu, justru menampilkan tokoh-tokoh yang islami, seperti Syekh Muso, Kiai Siti, Zaenab dan lain-lain. Sementara, Hafis Azhari yang kelahiran Banten kerap menampilkan tokoh-tokoh Jawa dalam Pikiran Orang Indonesia, seperti Sumardi, Darso, Suminto dan lain-lain.

Tafsiran-tafsiran atas nama tokoh dalam karya sastra tak lepas dari identitas kebangsaan maupun keagamaan, di mana peran para Walisongo begitu dominan seperti yang tertuang pada penokohan Triyanto.

Pada prinsipnya, karya-karya sastra dari Kuntowijoyo, Idrus, Felix Nessi, Hafis Azhari maupun Triyanto Triwikromo, dapat dipahami bahwa nama-nama tokoh yang ditampilkan, baik protagonis maupun antagonis merupakan lakon sastra yang sanggup memberikan gejolak kisah yang berhubungan dengan moral, agama, sejarah, serta kultur dan budaya yang tak lepas dari fenomena kebangsaan di saat penulis menuangkan ide dan gagasannya.

Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
sinpo
sinpo
sinpo