TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers SinPo

Berani Berhenti Berbohong

Oleh: Muakhor Zakaria
Sabtu, 26 Agustus 2023 | 07:00 WIB
Ilustrasi
Ilustrasi

NOVELIS asal Cekoslovakia, Milan Kundera pernah menyatakan bahwa perjuangan melawan kekuasaan, identik dengan perjuangan ingatan melawan lupa. Ungkapan tersebut mengingatkan kita, bahwa kekuasaan yang lalim selalu dipertahankan dengan memelihara narasi atau citra positif di tengah mesyarakat. Pikiran mereka dijejali beragam narasi, etika, hingga mitos-mitos yang didesain guna merawat kekuasaan yang ada dalam genggamannya.

Ketika penguasa Orde Baru dan segenap aparaturnya menjejalkan ingatan tentang peristiwa G30S, dengan sendirinya benih yang ditanam itu tak mudah dilupakan begitu saja. Narasi besar yang digaungkan telah merasuk sebagai tema sentral dalam benak manusia Indonesia, termasuk generasi muda kita. Untuk itu, kesanggupan penulis dengan memakai pendekatan kias dan metafora – kecuali novel Pikiran Orang Indonesia – adalah pilihan satu-satunya yang banyak dipakai sastrawan Indonesia, agar dapat membedakannya dengan kerja para jurnalis yang cenderung realistis.

Ketika seorang wartawan Kompas bersama Afrizal Malna, sama-sama menyaksikan kematian seorang jenderal yang tertabrak mobil dalam konteks saat ini, sang wartawan akan tertarik untuk menyelidiki proses tabrakannya atau siapakah yang menabrak. Tetapi di sisi lain, Afrizal barangkali akan menyoal kenapa kelopak mata si mayat membiru, atau kenapa kuku-kuku tangannya begitu kotor dan kusam.

Menulis sastra dengan bertaburan kias dan metafora memang bukan perkara mudah. Penulis muda Armin Bell dari Nusa Tenggara Timur, jelas berbeda pendekatannya ketika mengurai peristiwa 1965 ketimbang Hafis Azhari yang cenderung realistis. Dibutuhkan imajinasi yang produktif, sehingga akan mengandung konsekuensi kepada multi tafsir. Sifat dasar metafora yang memadatkan dengan narasi yang bersifat menguraikan ide, tergolong kerja yang lebih kompleks dalam proses kreatif.

Dalam novel “Amba” (Laksmi Pamuntjak), pendekatan riset dan penelitian ilmiah nampaknya tak begitu jauh dengan pendekatan historical memory yang dilakukan oleh Hafis Azhari. Dalam “Bumi Manusia”, Pramoedya Ananta Toer banyak menggunakan pendekatan metafora melalui tokoh Nyai Ontosoroh. Tak beda jauh dengan novel lainnya, “Korupsi” yang juga memberikan pengalaman khas kepada pembaca mengenai kejadian-kejadian yang tersirat. Berbagai-macam mentalitas dan pembenaran yang mungkin dapat dirasionalisasi, bisa ditelusuri relevansinya dengan kondisi saat ini.

Sirkulasi pengetahuan berupa riset atau kesaksian tentang peristiwa 1965 memang lebih banyak terkonsentrasi di wilayah Jawa-Bali. Di satu pihak, kondisi tersebut secara tidak langsung memberikan “keuntungan” sumber rujukan bagi para pengarang yang ingin menggarap cerita yang berlatar tahun 1965. Putu Fajar Arcana dan Seno Gumira Adjidarma lebih bertumpu pada pengalaman hidup yang dialami orang Bali dan Jawa, tak terkecuali Hafis Azhari sebagai penulis kelahiran Cilegon, sebagai wilayah Jawa bagian barat.

Keragaman medium dan cara pengungkapan peristiwa 1965 di wilayah timur Indonesia masih terbilang langka. Selain cerpen-cerpen Armin Bell, saat ini tercatat beberap liputan feature di floresa.com dan satu film dokumenter pendek “Tidak Lupa” karya sutradara Asrida Elisabeth, yang khusus bicara tentang peristiwa 1965 di Manggarai, Nusa Tenggara Timur.

Kumpulan cerpen Armin Bell, “Perjalanan Mencari Ayam” yang berisi tujuh belas cerpen juga tidak mengkhususkan diri pada persoalan 1965. Hanya beberapa cerpen saja yang menyinggung G30S, selebihnya bicara tentang tenaga kerja Indonesia (TKI), pencarian identitas diri, mitos-mitos lokal Manggarai, konflik tanah antara sesama masyarakat atau masyarakat adat dengan negara, dan lain-lain

Cerpen menarik tentang PKI secara lugas dinarasikan oleh Hafis Azhari dalam “Stigma PKI”. Nampak berbeda corak pewartaannya dengan Armin Bell, “Lapak di Atas Tulang Kekasih” yang mengisahkan perempuan bernama Lena yang berdagang di Pasar Puni, suatu lokasi yang dulu dijadikan kuburan, ketika tiga orang yang dicintainya wafat setelah peristiwa G30S. Ketiga orang tersebut adalah kekasihnya, saudara laki-lakinya, juga ayahnya sendiri yang dieksekusi mati karena keterlibatannya dengan organisasi PKI.

Kepada si penjual sapu, Lena menceritakan bagaimana ketiga orang terkasihnya dijemput tengah malam karena nama mereka tercantum dalam daftar anggota gerakan, dalam catatan Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib). Ketiganya bergabung karena janji organisasi untuk melawan kemiskinan serta menyerahkan bantuan peralatan pertanian bagi masyarakat. Di akhir kisah, Lena menuturkan bagaimana ia menyaksikan sendiri, tanpa boleh menangis, bagaimana mereka dieksekusi tanpa proses pengadilan.

Dalam “Stigma PKI” (kabarmadura.id) lebih pada pendekatan kultural sebagai warga Banten, yang ditangkap dan diinterogasi oleh petinggi militer, hanya semata-mata bergabung dengan organisasi BTI, tanpa mengetahui sebab-musabab adanya kekisruhan politik yang terjadi di ibukota Jakarta. Terkait dengan ini, Mery Kolimon, seorang peneliti dan putri pelaku peristiwa 1965 di NTT, mencatat poin-poin penting dalam artikelnya, “Para Pelaku Mencari Penyembuhan: Berteologi dengan Narasi Para Pelaku Tragedi ’65 di Timor Barat” (2015). Dalam salah satu poinnya dinyatakan, bahwa para pelaku tragedi 1965 masih enggan menceritakan pengalaman traumatis mereka. Meskipun peduli dan tidak melupakan, tapi ada campur-aduk perasaan tidak nyaman, malu, takut, bahkan jijik, terlebih ketika Orde Baru menarasikan wanita-wanita telanjang yang menari-nari di sekitar mayat jenderal.

Pramoedya Ananta Toer pernah menyatakan statemennya di hadapan Hafis Azhari, “Saya terperangah mendengar berita itu. Bukan karena suatu kejadian yang tak mungkin dilakukan perempuan Indonesia, tetapi saya tak membayangkan adanya manusia Indonesia yang nekat membikin-bikin cerita bohong itu, untuk tujuan-tujuan memuluskan ambisi politiknya,” tandas Pramoedya.

Dalam artikelnya itu, Kolimon juga memberi kesaksian bahwa kebanyakan pelaku masih berpegang pada narasi besar yang diseragankan oleh negara. Artinya, para pelaku masih bersikukuh dan bersembunyi di balik narasi pembenaran atas perbuatan jahat mereka. Dengan cara itu, mereka bertahan dari proses kerusakan diri dan rasa bersalah. Hal ini tercermin jelas dalam penuturan Anwar Congo di sepanjang penayangan film dokumenter yang meraih nominasi Oscar 2014, “The Act of Killing” yang digarap sutradara Amerika Serikat, Joshua Opperheimer.

Ada tradisi lokal yang dilakukan orang-orang timur Indonesia, yang tak sempat dituangkan dalam film dokumenter tersebut. Dalam kesaksiannya, Kolimon menjelaskan adanya penebusan dosa atas rasa bersalah, dengan melaksanakan ritual pembersihan yang tak dilakukan orang-orang Medan dalam “The Act of Killing”. Ritual pembersihan itu dengan jalan meminum darah penyintas, menggosok seluruh badan dengan hau hainikit (kayu pendingin), mengalirkan darah anjing ke sungai, kemudian berdoa di dalam gereja.

Pada prinsipnya, dalam penggarapan karya sastra (seni) tentang peristiwa 1965 perlu adanya kerja transformasi dari dunia referensial ke dunia tekstual. Peristiwa eksekusi di Pasar Puni dalam cerpen “Lapak di Atas Tulang Kekasih” adalah dunia referensial. Sedangkan, dunia tekstual adalah dunia yang diproduksi dari dalam teks itu sendiri tanpa harus dikaitkan dengan dunia referensial. Hal itu terkait dengan bagaimana dunia tekstual yang dibangun akan berguna untuk menguji narasi utama tentang peristiwa 1965 itu.

Secara lugas, budayawan Ignas Kleden pernah menyatakan, “Dunia sastra mencari kekhususan dan kekhasan pada satu objek singular yang membedakannya dari objek lain dalam gejala yang sama. Misalnya, dalam gejala pemberontakan petani, akan diselidiki bukan kesamaan antara pemberontakan petani di Birma dan di Banten, tetapi justru kekhasan pemberontakan petani Banten yang membuatnya berbeda dari pemberontakan petani di tempat lain.”

Di sisi lain, sangat penting juga dibicarakan tentang pengarang tersirat dan pembaca tersirat, hingga kemudian terangkat untuk mengakomodasi komunikasi dengan baik. Dengan cara demikian, corak sastra kita akan menampakkan diri apa adanya, dan berani berhenti berbohong. Narasi sebagai komunikasi, sangat diperlukan karena teks sastra sampai saat ini bisa menjadi alternatif untuk mengomunikasikan peristiwa 1965 yang masih enggan (takut) dibicarakan oleh kebanyakan sastrawan dan seniman Indonesia.

Komentar:
Berita Lainnya
Prof. Dr. Muhadam Labolo
Arah Pembangunan Pemerintahan
Jumat, 13 September 2024
Dahlan Iskan
Machmud Algae
Kamis, 12 September 2024
Dahlan Iskan
Suami Batak
Rabu, 11 September 2024
Dahlan Iskan
Disway Malang
Selasa, 10 September 2024
Dahlan Iskan
Blangkon Merah
Senin, 09 September 2024
GROUP RAKYAT MERDEKA
sinpo
sinpo
sinpo