TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers SinPo

Menemukan Sintesis Dari Karya Sastra

Oleh: Indah Noviariesta
Sabtu, 26 Agustus 2023 | 07:10 WIB
Ilustrasi
Ilustrasi

KARAKTER  tokoh utama dalam novel Hafis Azhari, “Jenderal Tua dan Kucing Belang” (JTKB) tercermin jelas dalam narasi-narasi yang disuguhkan oleh penulis milenial Muhamad Pauji dalam cerpennya, “Orang Sableng dari Jakarta” (radarntt.co). Jika mengacu dari banyak cerpen Hafis di media daring, termasuk novel-novelnya, kita akan mudah menggolongkan JTKB sebagai sastra yang bercorak realisme magis yang sangat kental dengan nuansa religiositas dan sufistik.

Novel tersebut sering diulas oleh banyak penulis generasi milenial, juga pernah diperkenalkan dalam dua opini brilian di kompas.id (14 November 2021 dan 9 Juli 2023). Narasi yang terungkap di dalamnya erat kaitannya dengan ambisi manusia hedonis yang menghamba pada materi, serta terobsesi oleh kehidupan nyaman di hari tua. Beda dengan seorang radikalis atau ultra-konservatif yang cenderung merasa dirinya atau kelompoknya yang paling benar dan suci.

Sepertia biasa dalam karakteristik narasinya, Hafis juga menuangkan garis pemisah antara seorang ahli ibadah dengan seorang ahli ilmu. Benang tipis yang dimaksudkan sebagai “shiratul mustaqim” itu meniscayakan seorang yang beriman agar tetap konsisten dalam keimanannya. Sebab, akan mudah bagi seorang ahli ilmu, secerdas apapun, jika tanpa disertai keimanan kelak menjadi manusia yang angkuh dan sombong, yang dalam dunia keilmuan dikenal dengan “keangkuhan intelektual”.

Tetapi sebaliknya, seorang ahli ibadah yang kelihatannya taat dalam beragama, ternyata bisa juga terjerumus ke dalam sikap ujub dan riya. Merasa nikmat dipuji-puji para jamaahnya, hingga tanpa disadarinya telah memberikan ajaran sesat kepada murid yang tega melakukan tindakan anarkis dan keonaran di sekitar kita.

Di era milenial dan semaraknya penemuan media telekomunikasi, diniscayakan bagi kedua kelompok itu untuk tampil ke permukaan. Baik ekstrim kiri maupun ekstrim kanan, sama-sama membangun komunitas dan merekrut pengikut (jamaah) dengan maksud untuk menggalang para pendukung dan pemuja bagi dirinya. Sesungguhnya, perjuangan para nabi dan waliullah juga demikian, namun mereka terjaga dari kemungkinan sifat angkuh dan sombong, hingga tidak mengabaikan peran Tuhan selaku Sang Pencipta Yang menguasai jagat raya ini.

Secara religius, JTKB mengandung pesan moral yang menggugat kecenderungan ego dan keangkuhan generasi milenial akhir-akhir ini, bahwa yang layak dipuji dan diagungkan sejatinya hanyalah Tuhan semesta alam. Betapa banyak orang-orang egois, seakan berlomba-lomba menumpuk kekayaan untuk mempersiapkan dirinya agar memiliki bekal bagi umur tua. Tetapi, jika Tuhan berkehendak lain, mudah saja ajal kematian merenggutnya pada saat mereka sibuk menumpuk harta kekayaan, tanpa sempat menikmatinya.

Kata-kata mutiara dari Albert Einstein yang menemukan spiritualitas di usia senjanya, seakan paralel dengan moral massage dalam JTKB: “Lebih baik mereka yang hidup sederhana dan apa adanya, ketimbang mereka yang sibuk mengejar-ngejar ketenaran dengan kesibukan dan keruwetan yang terus-menerus menyertainya.”

Mensyukuri nikmat

Pada prinsipnya, hanyalah semu dan fana kenikmatan hidup, bila kita tak mampu mensyukurinya. Untuk itu, selayaknya kita meminta pada Tuhan agar diberi kenikmatan hidup sebagaimana Dia telah menganugerahi kenikmatan kepada orang-orang terdahulu dari hamba-hamba yang dicintai-Nya. Belum terukur kapasitas keimanan seseorang, jika ia tak sanggup bersabar di kala menghadapi kesempitan, serta tak mampu bersyukur di kala menghadapi kelapangan. Kadang manusia perlu diuji dulu dengan kekurangan dan ketiadaan, sampai ia mampu mensyukuri kecukupan dan keberadaan.

Seorang pemuja hedonisme yang dinarasikan JTKB terkait erat dengan penemuan mutakhir mengenai teknologi ruang angkasa, tanpa menyadari bahwa hal tersebut akan menjelma “istidraj” yang tak pernah dinikmati oleh produsen maupun konsumennya. Sebab, sebanyak apapun karunia Tuhan takkan terasa kenikmatannya bila tak mampu mensyukurinya.

Sepintas kita membaca JTKB seakan-akan novel bergenre Qurani atau Biblical, namun kita sulit menggolongkannya seperti itu, karena narasi maupun dialog ditampilkan secara alami, sangat bernuansa kekinian dan keindonesiaan. Ada juga tokoh yang hidupnya terbilang “zuhud” yang justru pernah bergelimang kemaksiatan dan dosa besar, namun kemudian mengalami pertobatan melalui introspeksi diri, karena ia sanggup memetik hikmah pelajaran dari pengalaman hidupnya.

Secara implisit novel JTKB mengarahkan kita pada pemahaman, wawasan ilmu dan hikmah dari sisi-Nya. Ia akan menuntun kita pada pemahaman yang sepaham-pahamnya, serta menunjukkan kita kepada jalan terang yang seterang-terangnya. Dalam surah al-Kahfi ayat 10 dinyatakan, “Rabbana atina min-ladunka rahmah wa hayyi’lana min amrina rasyada.” Doa itu mengisyaratkan pentingnya pencerahan, akal sehat dan kecerdasan (rasyada) dengan memohon petunjuk dan hidayah Allah, hingga membuat manusia makin tawadlu dan rendah-hati, baik dengan kekayaan ilmunya maupun banyaknya ibadah yang telah diamalkannya.

Pertobatan Sastrawan

 Yang tak kalah menarik dari penokohan JTKB adalah sosok penyair tua yang mengalami pertobatan, karena selama ini ia telah mengalami banyak penyimpangan dan ketersesatan. Hal ini mengingatkan kita pada opini Chudori Sukra di kompas.id (Menilai Karya Sastra secara Obyektif) ketika menyatakan adanya pengakuan dari Sutardji Calzoum Bachri, seorang sastrawan dan presiden penyair Indonesia, bahwa dirinya telah mengalami pencerahan di usia 82 tahun. Sajak dan puisi-puisinya, yang semula cenderung membebaskan kata dari beban makna, kini lebih mempertegas kesaksian manusia di alam Ruh, bahwa Allah adalah Tuhan sekalian alam.

Lalu, apakah sosok Sutardji yang pernah mendapat dukungan publik di era Orde Baru itu, masih dapat mengena di hati publik milenial akhir-akhir ini? Kiranya tak perlu kita merisaukan sesuatu jika “alam Ruh” itu membukakan ilmu dan hikmah ke dalam otak dan pikiran kita. Jika Allah berkehendak memberikan pengajaran-Nya, sebagai buah dari ketakwaan kita, maka tak ada kesulitan sedikit pun untuk ditemukan solusi dan penyelesaiannya.

Semakin seseorang bertakwa, maka akan semakin diluaskan petunjuk dan hidayah baginya. Tak ada monopoli agama tertentu dalam kata “takwa”, bahkan seorang waliullah bisa kita temukan pada penganut Islam, Kristen, Budha, Hindu maupun Kong Hu Cu sekalipun. Setiap nilai kebaikan akan memiliki energi yang sama dan sepadan.

Pada prinsipnya, tak ada yang remang-remang pada novel JTKB maupun karya Hafis Azhari lainnya, baik yang disumbangkan untuk media luring maupun daring. Ia hanya mengajak bangsa Indonesia agar kembali kepada khittah yang paling pokok dari dasar negara kita, yakni “Berketuhanan Yang Maha Esa”. Sebab, dengan banyaknya berpegang pada tuhan-tuhan palsu itulah yang membuat bangsa kita gemar berselisih paham, bersengketa, serta saling gontok-gontokan. Tak terkecuali kalangan agamawan, budayawan dan sastrawan sekalipun.

Dalam salah satu novelnya, Perasaan Orang Banten, kita mengenal tokoh-tokoh yang kelihatannya religius, manusia-manusia beragama yang hanya formalitas bersifat wadak dan aksesoris semata. Hafis menarasikan tokoh yang melakukan salat, beribadah haji, namun tanpa disertai impact kepada akhlak dan perilaku yang baik. Padahal sejatinya, Rasulullah diutus ke muka bumi hanya untuk menyempurnakan akhlak dan perilaku manusia. Lalu, apa yang dihasilkan dari ibadah seseorang, jika dalam kalbunya masih diselubungi amarah, dengki dan dendam kesumat?

Memang sangat terbuka dan transparan jika kita serius mencermati karya-karya Hafis Azhari. Baginya, bangsa ini telah lama dibuat linglung dan senewen oleh pernyataan politik elit penguasa, ditambah serapan bahasa asing yang bicara sains, teknologi dan ekonomi makro yang njelimet. “Kenapa juga sastrawan dan budayawan ikut-ikutan latah dan genit memakai bahasa mendayu-dayu, seakan mereka ikut berkecimpung memolitisasi bahasa untuk kepentingan makna yang dipahami kelompoknya sendiri?”

Ketika diwawancara beberapa media daring, Hafis menolak berdebat bertele-tele dengan memanfaatkan kias maupun simbolik seperti yang sering dipakai sastrawan era Orde Baru. Baginya, bahasa kita baru disepakati pemakaiannya, belum genap seabad lalu (1928). Untuk itu, ia memaknai pohon sebagaimana adanya pohon, langit sebagai langit, wanita adalah wanita, bahkan surga maupun neraka seakan riil seperti yang digambarkan dalam teks-teks kitab suci. Nampaknya, ia kurang sepakat dengan genre sastra militerisme yang kadang sengaja memakai bahasa simbolik untuk mengaburkan nalar dan imajinasi publik.

Bagi Hafis, sastra perwayangan Jawa dengan maraknya dewa-dewi yang bertaburan, telah ikut-serta membikin keruwetan dan kegaduhan dalam otak pikiran manusia Indonesia. Sehingga, baginya tetap valid ungkapan bapak bangsa Soekarno, bahwa kita tak memiliki kepribadian dalam berkebudayaan. Sila ketuhanan Yang Maha Esa yang berpangkal dari agama monoteisme seakan dibikin kabur dan simpang siur. Namun, seumumnya karya-karya Hafis, biasanya ia mampu merangkai ending melalui narasi tokoh yang menyiratkan solusi terbaik bagi kemaslahatan umat.

Pada titik itulah ia pernah menegaskan bahwa kualitas karya sastra tidak semata-mata tercermin dari keindahan diksi dan utak-atik kata, melainakan hendak dibawa ke mana moral para pembaca melalui keindahan estetika yang disuguhkan?

Selebrasi skuad Garuda Muda. Foto : Ist
Pos Sebelumnya:
Piala AFF U-23
Pos Berikutnya:
Ceki Domino
Dahlan Iskan
Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
sinpo
sinpo
sinpo