KTT ASEAN Dan Pencemaran Udara Ibu Kota
Menkes Siapkan Jurus Untuk Handle Penyakit Akibat Polusi
JAKARTA - Lebih dari 20 pemimpin dunia akan datang ke Jakarta. Mereka hadir di KTT ASEAN, yang berlangsung mulai hari ini hingga 7 September 2023. Sayangnya, perhelatan internasional ini, diselenggarakan di tengah udara Ibu Kota yang kurang baik. Polusi di wilayah Jabodetabek, sepekan terakhir, berada dalam kondisi buruk. Bahkan, parameter dari air quality index (AQI) menunjukkan warna merah, atau dikategorikan tidak sehat.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan, Pemerintah telah melakukan langkah serius dan membentuk Satgas untuk menangani polusi udara. Khusus, terkait penanganan kesehatan, lebih dari 700 fasilitas kesehatan, yaitu terdiri dari 670 Puskesmas dan 66 rumah sakit, disiapkan untuk mengedukasi dan mengobati pasien yang sakit akibat polusi udara.
Kepada Rakyat Merdeka (Tangsel Pos Grup) Minggu (3/9/2023) malam, Menteri Budi Sadikin mengatakan, jurus untuk pengendalian polusi yang menjadi tupoksi kementeriannya terutama menyangkut dampak kesehatannya. Urusannya di hilir, yaitu pada penurunan risiko dan mengobati penyakit akibat pencemaran udara.
“Kita mengedukasi masyarakat. Penyakit yang berhubungan dengan polusi udara ini, penyebabnya adalah partikel ukuran kecil, yaitu 2,5 mikron,” kata Menkes.
Dengan ukuran sekecil ini, particulate matter (PM) 2,5 cukup berbahaya karena bisa masuk hingga paru-paru dan pembuluh darah. Badan kesehatan dunia atau WHO menyebut, selain partikel ukuran 2,5 mikron, juga ada polutan udara yang perlu dimonitor dalam bentuk gas yang bersifat iritan, yaitu SOX (sulfur), NOX (Nitrogen) dan CO (Karbon).
Setahun terakhir, memang ada kenaikan signifikan jumlah penderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Dari sekitar 50 ribuan kasus, kini naik menjadi 150-200 ribuan kasus. Dan biaya BPJS Kesehatan untuk menghandel penyakit tersebut mencapai Rp 10 triliun. Dari jumlah itu, biaya terbesarnya untuk menangani penyakit infeksi paru (peneumonia), ISPA dan Asma. Ketiga penyakit yang penyebabnya berhubungan dengan polusi udara.
Bagaimana menghandle agar tidak terus terjadi kenaikan pasien yang sakit akibat polusi udara? Apakah ada mekanisme pencegahan dan penanganannya di tingkat puskemas hingga rumah sakit?
Penyakit pernapasan akibat polusi yaitu ISPA, Asma, peneumonia dan PPOK (penyakit paru obstruktif kronik) akan menjadi perhatian penting Kemenkes. Sehingga, tata laksananya adalah dengan menyiapkan layanan tenaga medis dan fasilitas penunjangnya. Di Puskesmas, akan disiapkan aspirator dan saturasi oksigen untuk menangani penyakit yang sifatnya ringan. Sedangkan di rumah sakit, dibutuhkan alat rontgen untuk menentukan mengobatan penyakit pernapasan yang sifatnya berat.
Menurut Menkes, Rumah Sakit Persahabatan telah disiagakan sebagai koordinator respiratory disease atau pusat respirasi nasional. Harapannya, nanti seluruh Puskesmas dan rumah sakit, terutama di Jabodetabek, bisa dididik untuk menghandle penyakit terkait saluran pernapasan akibat polusi. Sehingga, kalau ada pasien, bisa di-diagnosa dan di-treatment dengan standar yang sama.
Selain upaya menurunkan risiko dan dampak kesehatannya, Kemenkes juga ditugasi ikut dalam pemantauan kualitas udara lingkungan. Dalam kaitan ini, pihaknya akan melengkapi fasilitas kesehatan dengan AQMS atau air quality monitoring system, dan alat lainnya untuk di laboratorium pemantauan kualitas udara. Alat-alat yang sudah ada antara lain HVAS (high volume air sampler) untuk pengambilan sampel dan deteksi kadar PM 2,5 dan alat GCMS (gas chromotography mass spectrometry) untuk mengidentifikasi berat molekul senyawa polutan PM 2,5. Kedua alat ini tersedia di Jakarta dari UPT Labkesmas Tier 4 Kemenkes, akan diperluas ke seluruh Labkesda Provinsi. Alat lainnya yaitu berbasis infra red, XFR (x-ray fluoresence) yang bisa mengidentifikasi bentuk molekul senyawa polutan PM 2,5 dan alat FTIR (fourier transform infra red) yang bisa mengidentifikasi ikatan kimia polutan PM 2,5.
Presiden Jokowi di beberapa kegiatan outdoor mulai mengenakan masker lagi. Apakah ini jadi isyarat bahwa masyarakat harus kembali pakai masker? Menkes mengatakan, senang apabila masyarakat melihat dan mencontoh apa dilakukan pemimpinnya. Memang saat polusi sedang tinggi, sebaiknya pakai masker. “Tapi standar maskernya yang bisa menahan partikel 2,5 itu, yang jenis KF 94 atau KN95,” ujarnya.
Apakah polusi udara di negara kita bisa dikendalikan? Menkes bilang yakin bisa. Dia mengatakan, China adalah salah satu contoh negara yang bisa menghandle polusi dengan baik. Beijing, misalnya, bisa menurunkan tingkat polusinya dalam 6-7 tahun. “Itu tercepat di dunia, dan the best in the world,” katanya. Negara-negara lain mungkin butuh 10-20 tahun.
Beijing saat itu dikejar target karena akan ada penyelenggaraan Beijing Olimpic. Jadi, supaya nggak di-bully negara lain, mereka berupaya keras menurunkan kadar polusi udaranya.
Caranya, dengan memasang lebih dari 1.000 alat monitor kualitas udara yang menjangkau ke mana-mana, dengan harga murah untuk memantau polusi. Dan jika terdeteksi polusi, ada mobile reference monitor diterjunkan ke lokasi untuk menganalisis secara mendalam, sumber polutannya.
“Dengan cara ini, analisis dan intervensi policy-nya lebih bagus dan berbasis data. Emisi dengan cepat akan diketahui dari mana sumbernya. Apakah dari industri baja, kendaraan bermotor, asap batubara atau pembakaran sampah?” ujar Menkes.
Dia berharap, alat sejenis mobile reference ini bisa ada di wilayah jabodetabek dan utamanya di lima wilayah DKI Jakarta.
TangselCity | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu