Fit And Proper Test Calon Hakim MK
DPR Ungkit Diskon Hukuman Koruptor
JAKARTA - Komisi III DPR mulai melakukan fit and proper test terhadap para calon hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang bakal menggantikan Wahiduddin Adams sebagai Hakim MK dari unsur DPR.
Kemarin, ada 5 calon yang menjalani uji kepatutan dan kelayakan. Yakni Firdaus Dewilmar, Reny Halida Ilham Malik, Elita Rahmi, Aidul Fitriciada dan Abdul Latif.
Selanjutnya, 3 calon lainnya, yakni Putu Gede Arya, Haridi Hasan, dan Arsul Sani diuji Selasa (26/9).
Uji kepatutan dan kelayakan ini berlangsung cukup alot. Senayan menguliti rekam jejak dan karier para calon. Salah satunya Reny Halida, mantan hakim Pengadilan Tinggi yang juga ternyata ada di Daftar Caleg Sementara (DCS) untuk DPD.
Anggota Komisi III DPR Ichsan Soelisto mencecar Reny soal rekam jejak dan perjalanan kariernya. Sebab, berdasar catatan yang dimilikinya, Reny sudah 3 kali ikut seleksi Hakim Agung, yakni di tahun 2017, 2019, dan 2020, namun gagal.
“Salah satu penyebab gagalnya adalah tes kepribadian. Namun saya tidak akan masuk ke dalam masalah itu,” ucapnya.
Ichsan juga memperoleh data bahwa saat ini Reny terdaftar di DCS DPD nomor urut 16.
Dia kemudian menyinggung rekam Reny sebagai Hakim Adhoc di Pengadilan Tinggi Jakarta periode 2016-2020 yang kerap disorot karena memberikan korting hukuman ke terdakwa korupsi.
“Dalam masa jabatan selama jadi Hakim Adhoc ini, tercatat di kami, ada 11 kasus mendapat keringanan yang diputus ibu sebagai salah satu majelis hakim. Tapi saya tidak akan masuk ke dalam kasusnya,” papar politisi Fraksi PDI Perjuangan ini.
Dia menilai, rekam jejak Reny dalam perkara kasus korupsi ini tentu akan menjadi perhatian. Apalagi dalam setiap putusan perkara korupsi, akan ada yang tidak menerima terutama dari lembaga pegiat korupsi.
Ichsan lalu mengungkit dampak putusan MK terhadap hasil sengketa penghitungan Pemilu Presiden (Pilpres) yang tentu akan ada pihak yang tidak senang.
“Yang nggak terima itu (putusan sengketa pilpres) ada jutaan, bukan kayak kasus korupsi yang ibu putuskan di sini ada 11 kasus. Saya tidak akan masuk di sana, tapi saya punya lengkap datanya. Bagaimana nanti Ibu memberikan putusan yang adil dan sebenar-benarnya berdasarkan kebenaran dalam kasus-kasus di MK,” tanyanya.
Merespons pertanyaan tersebut, Reny menegaskan rekam jejaknya yang pernah ikut seleksi hakim agung, sebagai calon DPD, serta kini ikut seleksi Hakim MK pada dasarnya adalah pengabdian.
Sebagai Warga Negara Indonesia, dia mengabdi dan berbakti kepada bangsa dan negara.
“Dan undang-undang tidak melarang saya untuk mengikuti hal tersebut,” tegasnya.
Terkait putusan keringanan hukuman yang dalam tanda kutip bagi terdakwa korupsi, ditegaskannya, dirinya menjadi Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) selama 10 tahun 3 bulan. Perkara yang diputus pun ratusan. Adapun terhadap vonis untuk perkara korupsi tersebut, hanya sebagian kecil dari putusan selama menjabat hakim.
Namun di balik itu, dia mengaku dengan majelis selalu membuat, mengambil keputusan yang benar-benar bisa mengadopsi dari berbagai aspek kepastian hukum dan keadilan utamanya pada masyarakat dan terdakwa sendiri.
“Jadi, tidak bisa hanya melihat keadilan dari satu aspek masyarakat saja. Karena terdakwa pun punya hak yang sama sebagai warga negara,” tegasnya.
TangselCity | 2 hari yang lalu
Pos Tangerang | 14 jam yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Pos Tangerang | 13 jam yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu