Pasang dan Potensi Keterbelahan
SERPONG - Peserta Pilpres 2024 hampir final. Calonnya ada tiga pasang, yaitu (diurutkan berdasarkan waktu pendaftaran ke KPU) Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Ganjar Pranowo-Mahfud MD, dan Prabowo Subianto-Ganjar Rakabuming Raka. Mereka kini tinggal ditetapkan KPU dan diberi nomor urut.
Sebelumnya, banyak pakar dan tokoh berharap, Pilpres 2024 bisa diikuti tiga pasang Capres-Cawapres atau lebih. Alasannya, agar bisa menghindari keterbelahan ekstrem di masyarakat seperti yang pernah terjadi pada Pilpres 2014 dan Pilpres 2019.
Namun, apakah tiga pasang Capres-Cawapres ini bisa mengeliminir keterbelahan ekstrem di masyarakat? Ternyata tidak otomatis. Alasannya, belum ada kandidat capres yang memiliki elektabilitas dominan. Dengan kondisi ini, terbuka besar kemungkinan Pilpres 2024 dilaksanakan dalam dua putaran. Kalau dua putaran, berarti di final nanti ada dua pasang calon yang bertarung. Dalam kondisi tersebut, ada potensi keterbelahan terjadi.
Dalam survei-survei terbaru, elektabilitas elektabilitas Prabowo-Gibran unggul. Namun, jaraknya dengan Ganjar-Mahfud tidak jauh. Sementara, Anies-Muhaimin juga punya potensi besar untuk menyodok, dengan solidnya pendukung mereka.
Sampai saat ini, belum ada Capres-Cawapres yang meraih elektabilitas 50 persen. Yang tertinggi baru sekitar 35 persen. Jika kondisi ini bertahan sampai hari pencoblosan pada 14 Februari 2024, maka Pilpres akan berlangsung dua putaran. Urutan pertama dan kedua akan maju dalam "babak final". Sedangkan urutan ketiga akan terlempar.
Akhirnya, Pilpres pun kembali berlangsung dengan dua pasang Capres-Cawapres seperti 2014 dan 2019. Kondisi ini membuat ekspektasi agar keterbelahan ekstrem di masyarakat saat Pilpres berat untuk diwujudkan. Apalagi, saat ini saja gesekan di antara para calon dan pendukungnya sudah sangat terasa. Saling sendiri, ledek, dan serang sudah berlangsung.
Lalu, bagaimana mengatasinya? Biang kerok keterbelahan ekstrem masyarakat itu sebenarnya bukan karena jumlah Capres-Cawapres yang cuma dua pasang. Melainkan karena demokrasi kita belum terkonsolidasi. Banyak pakar menyebutkan, sampai saat ini, kita baru masuk tahap demokrasi prosedural. Kita baru melaksanakan prosedurnya saja. Yaitu melakukan pemilihan langsung. Sementara, belum ada komitmen bersama untuk menjalankan Pemilu dengan baik dan menerima apa pun hasilnya.
Jadi, untuk menghilangkan keterbelahan ekstrem di masyarakat, jawabannya bukan tentang jumlah calon harus tiga pasang atau lebih. Tapi, memberikan pendidikan ke masyarakat mengenai pentingnya konsolidasi demokrasi dan kelapangdadaan dalam menerima hasilnya.
Nasional | 23 jam yang lalu
Pos Tangerang | 1 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
Olahraga | 23 jam yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Galeri | 1 hari yang lalu
Nasional | 22 jam yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu