Abstraksi dan Teknikalitas Pemimpin
HARI-hari menuju bilik suara semakin dekat. Para kandidat capres dan cawapres terus meyakinkan kita dengan ragam metode, baik softly maupun hardly. Dalam cara pertama terasa lewat dialektika di media sosial sebagai political marketing. Cara kedua terasa lewat pertengkaran pikiran dalam dialog maupun debat yang difasilitasi negara.
Di kelas atas, tekanan pada ikhtiar pemenangan memompa adrenalin. Mereka yang terus berpikir soal masa depan bangsa terbebani secara psikologis oleh kapabilitas kepemimpinan. Sementara kelas bawah yang lebih peduli dengan urusan jangka pendek tak begitu terbebani oleh siapapun pemimpin terpilih. Kelas mereka mayoritas dibanding elit yang sering tak diperhitungkan di kotak suara.
Kelas elit sejogjanya mencerminkan kehendak kuat kelas bawah. Malangnya, pikiran, perilaku, dan produk elit selalu berkebalikan dengan alit. Pikiran elit tentang substansi gagasan (das sollen), pikiran alit soal teknikalitas gagasan (das sein). Perilaku elit soal kebebasan (efeknya korupsi), harapan alit soal ekspresi dalam bingkai kesantunan sosial-religi (permisif soal korupsi, namun sensitif dengan agama).
Produk elit berupa sistem yang menata kepentingan luas, terkhusus dirinya. Produk alit adalah kepercayaan (trust) yang dimanifestasikan lewat suara (voice). Elit butuh suara alit sebagai legitimasi. Sayangnya hanya sampai di situ, raib ketika memasuki area aksi. Kesenjangan itulah yang membuat elit dan alit tak selalu akur.
Realitas itu mendorong pemimpin perlu turun ke bawah (blusukan). Mengambil sampel pikiran dan kehendak alit agar selaras dengan kampanye para elit. Setidaknya memastikan agar tak berjarak jauh (disosiatif). Pemimpin butuh serapan substansi agar mampu diterjemahkan ringkas kedalam teknikalitas program dan kegiatan.
Pemimpin dituntut mampu mengabstraksi pikiran dan kehendak konkret kedua kelas di atas. Selanjutnya menerjemahkan lewat para pembantunya yang ahli di bidang masing-masing. Ia menjadi semacam dirigen yang menyelaraskan irama agar harmonis dinikmati. Di tingkat itu Ia butuh profesionalitas, bukan lagi penggagas.
Kepemimpinan di level berikutnya bertugas membongkar ide abstrak dalam penggalan identifikasi masalah agar terang-benderang, memberi alas konseptual dan norma agar punya kepastian hukum, memilih metode yang efektif agar tak keliru, mendialogkan dengan sabar pada stakeholders, menyimpulkan dengan hati-hati, serta merekomendasikan dalam menu kebijakan kepada publik.
Dengan tahapan itu pemimpin setidaknya meyakinkan kita berjalan on the track. Mungkin benar kata Nurcholis Madjid di suatu seminar tahun 90-an, semakin abstrak semakin pemimpin, semakin teknis semakin kuli. Disini kita dapat membedakan mana kualitas yang pantas untuk memerintah dan mana yang cukup untuk diperintah. Praktisnya, semua gagasan yang di tangkap di level alit, berakhir lewat mesin birokrasi di bawahnya.(*)
*) Penulis adalah Guru Besar pada Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN)
Lifestyle | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu