Nirwan Dan Persaingan Yang Sehat
SERPONG - Jika tanpa ada kerjasama yang baik, mana mungkin kita sanggup menghadapi spesies “Corona” yang mengakibatkan Covid-19 beberapa tahun lalu. Dengan kerjasama yang solid, fenomena itu dapat mematahkan konsep Richard Dawkins yang selalu membanggakan Darwinisme Sosial, bahwa manusia adalah makhluk kompetitif yang egois dan serakah.
Gen Egois yang digagas Dawkins hanya berpangku tangan menyaksikan ratusan dan ribuan ambulans yang wara-wiri mengangkuti mayat-mayat korban Covid-19. Tanpa kita sadari, di dunia kesusastraan, yang kemudian digugat oleh penyair Nirwan Dewanto (Jantung Lebah Ratu), bahwa teori yang membenarkan keserakahan homo sapiens, hanya dapat dimanfaatkan kaum penguasa modern, untuk membenarkan tingkah laku mereka mengeksploitasi manusia lainnya dalam bentuk penjajahan, kolonialisme, fasisme, rasialisme, yang sampai saat ini masih menjadi demam-demam imperialisme manusia Barat.
Konsep Darwinisme Sosial bisa menggiring penguasa hingga membenarkan kemenangan harus diraih dengan jalan apa pun, sambil berpegang pada pemikiran bahwa sifat dasar manusia adalah keji dan jahat. Inilah yang mendorong World Economic Forum (WEF) 2021 mencetuskan gagasan “Great Reset”, upaya menafsir ulang dan menata kembali kehidupan kita, dengan keharusan mengubah mindset dalam memaknai hakikat kehidupan dunia ini.
Pertemuan WEF tersebut banyak diinisiasi dari teori Bregman, suatu entitas pemikiran yang mewadahi ilmu biologi-kimia-fisika, hingga membuat para sastrawan modern harus berani membalik logika konfensional selama ini. Dalam teori itu, ternyata manusia sebagai homo sapiens, justru memiliki sifat dasar baik dan bijaksana. Manusia adalah makhluk berliterasi (berbahasa) yang sanggup bekerjasama demi keberlangsungan kehidupan umat manusia, bukan dikarenakan kompetisi yang saling menjatuhkan. Bukan karena yang kuat mengalahkan yang lemah, juga bukan karena egoisme satu kelompok yang sibuk membangun tembok pembatas, atau melindungi diri dengan bungker-bungker di bawah tanah. Bahkan, juga bukan untuk menggemukkan perut satu kompas perusahaan, dengan menyikut kiri-kanan, serta merugikan perusahaan penerbitan lainnya.
Dalam puisi prosaik “Jantung Lebah Ratu” terdapat kesenyawaan dengan cerpen menarik “Kabar Kematian Seorang Pujangga” (litera.co.id). Di situ terungkap, sesungguhnya penumpukan kekayaan melalui konsep yang dibangun Yuval Noah Harari (Homo Sapiens), bahwa manusia sebagai makhluk pemburu dan pengumpul, pada akhirnya hanya akan membinasakan yang satu terhadap yang lainnya. Persaingan akan kemegahan duniawi, serta gegap-gempita sains dan teknologi, sesungguhnya telah disinyalir dalam teks-teks Alquran, khususnya pada surat al-Humazah, bahwa ia akan mencelakakan dan “membakar” hati dan jiwa manusia.
Puisi-puisi Nirwan Dewanto telah menggagas hukum alam dan kepedulian akan lingkungan hidup. Bahkan, menggugat teori klasik evolusi yang banyak diamini oleh pemikiran Herbert Spencer, sang filosof dan pakar sosiologi Inggris, bahwa seleksi alam, kini telah bermutasi dalam persaingan ekonomi, politik dan kebudayaan. Baginya, siapa dan kelompok mana yang terkuat dan tercerdas, merekalah yang akan mengendalikan kekuasaan, dan dengan sendirinya berhak menentukan kebijakan ekonomi, politik dan budaya.
Nirwan menggugat cara-cara kerja kebudayaan yang menyandarkan diri pada konsep Spencer, karena ia tak mau memaklumi mereka yang kalah dan gagal perlu disingkirkan (dimarjinalkan). Ia hanya mau berpijak pada humanitas yang mengacu pada pemikiran seorang profesor biologi Rusia, Alexeyevich Kropotkin (1842-1921) yang menerbitkan karya Mutual Aid: A Factor of Evolution. Baginya, saat ini dibutuhkan pandangan yang revolusioner, bahwa justru kekuatan-kekuatan manusia akan terwujud dengan menegakkan nilai-nilai kebaikan, dan itulah yang akan mendatangkan keuntungan bagi semua pihak.
Apa yang diperjuangkan beberapa gelintir sastrawan yang sukanya bergerombol, sambil sibuk melecehkan kelompok lainnya, kini telah digugat habis-habisan melalui surat terbukanya Nirwan Dewanto tersebut. Secara implisit ia menyatakan bahwa sesungguhnya hakikat evolusi manusia sangat ditunjang oleh kemampuan saling menolong, berbagi, dan saling melindungi sesamanya. Hidup seorang sastrawan yang hanya berdurasi singkat ini, herus sanggup mewarisi nilai-nilai kebaikan dan kebenaran yang mengejawantah dalam karya-karya sastra demi keabadian.
Bahkan, dengan lantang Nirwan menyoal karya sastra hasil kreasinya sendiri dalam Surat Terbuka-nya itu (paragraf ke-7): “Dan segera saya katakan bahwa buku saya yang sudah anda pilih, Jantung Lebah Ratu, sebaiknya tidak dianggap buku sastra; buku saya harus segera lenyap dari “kanonisasi” yang anda buat; saya sungguh tidak termasuk sastrawan, apalagi sastrawan yang “baik dan benar”. Lagipula, buku puisi saya itu memang lebih baik dianggap tak layak untuk para siswa sekolah menengah…” (seleb.tempo.co)
Pada prinsipnya, Nirwan Dewanto ingin menyampaikan pesan moral bagi dunia kesusastraan kita, bahwa urusan sastra Indonesia bukanlah perkara memperebutkan ketip demi ketip “uang recehan” yang hanya merupakan ilusi kemenangan fiktif belaka. Generasi muda harus meninggalkan tradisi usang “Prahara Budaya” yang digaungkan beberapa gelintir orang yang menjadi “anak emas” dewa kemenangan. Kini, generasi sastra milenial harus berani meruntuhkan berhala psikologis di kepala para sastrawan status quo, ibarat bangunan kubus Ka’bah yang harus dibersihkan dari pengaruh kekuasaan Dewa Hubal, Latta, Manat, Uzza dan lain-lain.
Mereka hanyalah dewa-dewi pagan yang menjadi sesembahan para penyair dan sastrawan takhayul. Bagi Nirwan Dewanto, segala sesuatu yang disimbolisasi sebagai “tandingan” Yang Maha Esa itulah yang menjadi biang perkara munculnya berbagai perbedaan dan prahara budaya, serta menimbulkan saling gontok=gontokan, sikut kiri-kanan, bertikai saling berebut dan mengambil hak sesamanya, serta maraknya segala ketidakadilan dan kesewenangan di dunia literasi dan kebudayaan kita (baca; “Nirwan Dewanto Menyoal Sastra Takhayul”, www.kabarmadura.id).
Dunia sastra dan kebudayaan kita tidak boleh hanya mengekor sastra Barat (khususnya Eropa-Amerika) dan harus berani berdialog dengan teori Richard Dawkins mengenai “Gen Ego” (selfish gene). Dalam cerpen-cerpen sastra milenial akhir-akhir ini, nampak kekompakan generasi muda untuk menggoreskan penanya, bahwa manusia bukanlah terlahir sebagai makhluk egois dan ingin menang sendiri. Ditawarkan mengenai konsep “sastra monoteisme” yang bicara soal penciptaan Adam dan pasangannya Hawa. Meskipun pada diri mereka terkandung unsur hewani (secara anatomis) tetapi secara rohani mengandung unsur malaikat dan iblis sekaligus.
Jika kecenderungan iblis lebih dominan, ia akan menjelma binatang dari segala binatang buas. Tetapi, jika unsur malaikat yang dominan dalam dirinya, ia akan menjelma makhluk Tuhan yang kasatmata secara inderawi, namun berkedudukan lebih mulia dari para malaikat.
Hal ini sejajar dengan konsep Platonis yang berkembang pada sastra milenial, bahwa manusia yang sanggup menaklukkan “kuda hitam” dalam dirinya, maka akan mengejawantah kuda-kuda putih yang membuat manusia sanggup mengembangkan cortex prefrontal, serta berjiwa altruis yang sejati (beriman yang dewasa). Dengan bahasa sebagai alat komunikasi, Tuhan memperkenalkan nama-nama segala sesuatu agar menjadi pelajaran yang tertancap dalam memorinya. Bahkan, para ilmuwan neurosains sepakat, bahwa perkembangan bahasa manusia, serta kemampuannya berliterasi, merupakan produk sifat sosial Homo Sapiens yang tak tertandingi oleh genus homo lainnya.
Kemampuan berliterasi secara revolusioner itulah yang didambakan sastrawan sekaliber Nirwan Dewanto. Baginya, perjalanan sastra di era Orde Baru dan beberapa dekade sesudahnya, tak ubahnya dengan era jahiliyah (pra-Islam), diliputi oleh persaingan sengit yang saling mematahkan lawan. Barangkali dapat disejajarkan dengan manusia purba (Neandertal), memiliki otak lebih besar dari homo sapiens, berpikir logis dan rasional, namun tidak mampu mengambangkan akal budi dan hati nuraninya.
Perjuangan yang diprakarsai para penulis milenial (baca: Pendidikan dan Keganjilan Pelajar Kita, www.bangkapos.com) seakan secara serempak mementahkan gagasan Dawkins tentang Gen Ego (selfish gene) yang dianggap sebagai pusat evolusi. Gagasan para prosaik milenial telah diperkuat oleh hasil penelitian dua ahli kognisi Steven Sloman dan Philip Fernbach, yang menulis buku, The Knowledge Illusions: Why We Never Think Alone (2017). Menurut mereka, pemikiran usang bahwa manusia itu makhluk egois serakah dan bersifat individual, yang selama ini dipercaya sebagian ilmuwan Barat, ternyata hanyalah mitos belaka.
Kerjasama kemanusiaan di seputar penanganan Covid-19 akhir-akhir ini membuktikan, bahwa manusia berpikir dalam komunitas dan kelompok-kelompok masyarakat. Fenomena antropologis yang menunjukkan hal itu membawa Sloman dan Fernbach pada kesimpulan, bahwa manusia lebih unggul daripada makhluk lainnya, dan oleh karena itu mereka mampu mengubah dirinya menjadi penguasa planet bumi ini. Hal itu, bukanlah didasarkan rasionalitas individual, akan tetapi karena kecerdasan dalam berliterasi, serta kemahiran mereka dalam memenej dan mengelola komunitas.
TangselCity | 16 jam yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Olahraga | 20 jam yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 8 jam yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu