TangselCity

Ibadah Haji 2024

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers SinPo

Bahas Pelemahan Rupiah

Presiden Panggil Menkeu, Gubernur BI, Ketua OJK & Ketua LPS

Oleh: Farhan
Jumat, 21 Juni 2024 | 10:02 WIB
Foto : Ist
Foto : Ist

JAKARTA - Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat mendapat perhatian serius Presiden Joko Widodo. Kamis (20/6/2024), Presiden memanggil Menteri Keuangan Sri Mulyani, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Purbaya Yudhi Sadewa, ke Istana, khusus untuk membahas soal rupiah.

Rapat yang digelar tertutup itu, juga diikuti oleh kementerian dan pimpinan lembaga negara di sektor ekonomi dan perbankan. Seperti, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto.

Nilai tukar rupiah pada Kamis (20/6/2024) ditutup di level 16.422 per dolar AS. Mata uang Garuda melemah 56 poin atau minus 0,35 persen dari penutupan perdagangan sebelumnya.

Sementara, kurs referensi BI Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) menempatkan rupiah ke posisi 16.420 per dolar AS pada perdagangan, sore kemarin.

Apa hasilnya? Dalam rapat yang berlangsung 1,5 jam itu, Sri Mul bersama Gubernur BI dan lembaga negara melaporkan soal kondisi global dan melemahnya nilai tukar rupiah. Sri Mul menjelaskan, dari sisi fundamental ekonomi sebenarnya Indonesia cenderung lebih baik dibandingkan negara lain. Diukur dari pertumbuhan ekonomi yang tinggi, inflasi terkendali dan defisit transaksi berjalan.

Akan tetapi rupiah alami tekanan karena faktor sentimen yang berasal dari global dan dalam negeri. Dari global, yaitu ketidakpastian dari kebijakan suku bunga acuan AS dan ketegangan geopolitik.

"Kita pantau bagaimana meminimalkan dampak negatif kalau terjadi keputusan mengenai fed fund rate, yang beberapa kali akan menurunkan suku bunga dan juga perkembangan di Eropa. Kedua kita juga melihat pergerakan nilai tukar dan yield," ujarnya.

Dia memprediksi, kebijakan penurunan suku bunga Amerika Serikat hanya akan terjadi sekali. Maka, disinyalir akan terjadi arus keluar modal (capital outflow) sebagai akibat keputusan tersebut.

"Maka kita juga melihat capital outflow yang terjadi akibat dari kebijakan tersebut, dan dampaknya ke perekonomian di dalam negeri," jelasnya.

Dalam negeri, ada kekhawatiran investor soal kesinambungan fiskal. Sri Mulyani memastikan pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) akan dilakukan dengan hati-hati. Terutama dari sisi utang.

"APBN 2024 yang sekarang sedang berjalan kita akan tetap kelola secara hati-hati ada beberapa hal yang bergerak seperti kurs harga minyak maupun dari sisi SBN nilai yeild kita, itu pasti mempengaruhi postur dan ini sudah kita monitor dari sisi implikasi pembiayaan," jelas Sri Mulyani.

Sementara untuk 2025, defisit APBN dipatok pada rentang 2,21-2,8 persen. "Ini memberi range yang lebih lebar. Dan ini berarti kita akan mampu untuk tetap menjaga fiskal yang prudent hati-hati dan tetap sustainable namun pada saat yang sama bisa mengakomodasi program yang akan dilaksanakan pemerintahan baru 2025," pungkasnya.

Sebelumnya, Airlangga menjelaskan penyebab terjadinya pelemahan rupiah kata dia, kondisi ini dikarenakan perekonomian Negeri Paman Sam sedang dalam tren positif. "Ekonomi AS memang membaik, jadi kita monitor saja," kata Airlangga, di kantornya, Jakarta, Kamis (20/6/2024).

Ia memastikan, pelemahan tidak hanya terjadi pada rupiah. Mata uang negara lain pun mengalami hal serupa. Untuk itu, Pemerintah akan terus mengawasi dengan seksama.

"Karena Bank Indonesia yang akan terus memantau secara daily," ujar Airlangga.

Terkait strategi apa yang akan dilakukan pemerintah untuk menjinakkan dolar AS terhadap rupiah, Airlangga belum menjeskan secara rinci. "Nanti kita lihat bulan depan," kata Ketum Golkar ini.

Sementara, Gubernur BI Perry Warjiyo menyebut, pelemahan rupiah ini ditengarai pengaruh global dan domestik. Dari sisi global, karena masih tingginya ketidakpastian pasar keuangan global.

"Terutama berkaitan dengan ketidakpastian arah penurunan Fed Fund Rate AS, penguatan mata uang dolar AS secara luas, dan masih tingginya ketegangan geopolitik," urai Perry di kantornya, Jakarta, Kamis (20/6/2024).

Dari faktor domestik, Perry menyebut tekanan rupiah disebabkan oleh kenaikan permintaan valas oleh korporasi. Termasuk untuk repatriasi dividen, dan persepsi terhadap kesinambungan fiskal ke depan.

Meski begitu, pelemahan rupiah dinilai lebih baik dibandingkan mata uang asing. Di antaranya won Korea Selatan yang melemah 6,78 persen, baht Thailand 6,92 persen, peso Meksiko 7,89 persen, real Brasil 10,63 persen, dan yen Jepang 10,78 persen.

Perry memprediksi, rupiah akan segera stabil, sesuai dengan komitmen BI. Juga didukung aliran modal asing yang masuk. "Menariknya imbal hasil, rendahnya inflasi, dan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tetap baik," ulasnya.

BI memastikan akan terus mengoptimalkan seluruh instrumen moneter. Termasuk peningkatan intervensi di pasar valas, serta penguatan strategi operasi moneter pro market melalui optimalisasi instrumen Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), Sekuritas Valas Bank Indonesia (SVBI) dan Sukuk Valas Bank Indonesia (SUVBI).

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) M Rizal Taufikurahman mengatakan, pelemahan ini disinyalir akan terjadi pembengkakan secara ekonomi jika dilihat dari sisi supply. Utamanya pada produksi, khususnya yang berkaitan dengan bahan baku impor industri.

"Selain itu tentu untuk proyek strategi nasional yang sangat berkaitan dengan bahan material yang impor," ulas Taufik, Kamis (20/6/2024).

Menurutnya, pelemahan rupiah menjadi salah satu penyebab cost overrun dari biaya pembangunan infrastruktur. Terutama jika banyak bahan baku untuk konstruksi yang sangat tergantung pada impor. 

Jika hal ini terus berlanjut, tentu akan berpengaruh terhadap segi presisi fiskal dan daya tarik investasi. "Yang tadinya katakanlah nilai tertentu, dengan kenaikan kurs, maka untuk komiditas maupun bahan baku impor akan meningkat harganya," pungkas Taufik.

Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
sinpo
sinpo
sinpo