Wacana Masa Jabatan Presiden Diusulkan Jadi 7 Tahun
JAKARTA - Politisi senior Partai Golkar, Ridwan Hisjam mengusulkan,masa jabatan Presiden dan Wakil Presidendiperpanjang menjadi tujuh tahun. Masa bakti lima tahun saat ini, dinilai tidak cukup menjalankan gagasan sebuah Pemerintahan
“JadiI tujuh tahun kali dua, 14 tahun itu waktu ideal bagi seorang Presiden memimpin negara,” ujar Ridwan, dalam keterangannya, kemarin.
Menurutnya, jika Pemerintahan berjalan tujuh tahun, akan lebih terlihat hasil kerjanya untuk rakyat. Presiden, punya banyak waktu menuntaskan program kerja yang sudah dicanangkan.
Baginya, usulannya itu wajar. Bukankah, masa jabatan Kepala Desa saja bisa diperpanjang dari enam tahun menjadi delapan tahun. Namun, Ridwan tetap meyakini regulasi dua periode untuk masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden sudah ideal. Apalagi, tugas dan program kerja yang dicanangkan Presiden jauh lebih besar dari seorang Kepala Desa.
“Usulan ini saya kira sangat logis. Banyak program atau proyek strategis Pemerintah yang belum selesai secara sempurna, karena waktu masa jabatan Presiden masih sangat terbatas hanya lima tahun, dan kalau terpilih kembali menjadi sepuluh tahun. Mestinya maksimal 14 tahun," tekannya.
Dalam upaya merealisasikan ide penambahan masa jabatan dari lima tahun menjadi tujuh tahun, Ridwan menyetujui wacana amandemen UUD 1945. Tepatnya, mengubah Pasal 7 UUD 1945, dengan menambahkan masa jabatan Presiden menjadi tujuh tahun.
Politisi Beringin ini bahkan memuji Ketua Umum PDI Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarno Putri ihwal wacana amendemen UUD 1945. Menurutnya, Megawati adalah tokoh bangsa yang setiap pendapatnya harus dihormati. Dia merasa hormat dengan Megawati karena pernah diusung sebagai calon Wakil Gubernur Jawa Timur oleh PDIP pada Tahun 2008.
“Sejak reformasi pasal-pasal dari undang-undang itu banyak yang diubah. Hanya pembukaannya yang tidak diubah, sehingga karena aturan itu diubah, maka setiap Presiden punya kebijakan yang terlihat berbeda dengan sebelumnya,” katanya.
Ridwan juga mengamini pentingnya keberadaan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Di mana MPR juga akan kembali sebagai Lembaga Tinggi Negara, bukan Presiden. Dengan demikian, kedaulatan tertinggi rakyat ada di MPR.
"Undang-Undang Dasar kita sekarang sudah sangat liberal, jauh dari budaya bangsa seperti gotong royong dan sebagainya,” pungkasnya
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu
Pendidikan | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu