TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers SinPo

Hakim MK Nggak Sreg, Soal Pelantikan Presiden-Wapres Dipercepat

Laporan: AY
Jumat, 19 Juli 2024 | 08:00 WIB
Desy Natalia Kristanty dan Marlon S.C. Kansil selaku pemohon bersama Daniel Edward saat sidang di MK. Foto : Ist
Desy Natalia Kristanty dan Marlon S.C. Kansil selaku pemohon bersama Daniel Edward saat sidang di MK. Foto : Ist

JAKARTA - Lima orang mengajukan permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK), meminta pelantikan Presiden serta Wakil Presiden terpilih Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dipercepat. Paling lambat tiga bulan setelah KPU mengumumkan pemenang Pilpres 2024.

KPU mengumumkan pemenang Pilpres Maret 2024, jadi mereka meminta Prabowo-Gibran maksimal dilantik sekitar Juni 2024. Padahal, dalam kalender konstitusi negara, pelantikan presiden dan wapres dilaksanakan 20 Oktober 2024.

Menanggapi permohonan itu, hakim konstitusi kurang sreg, karena argumentasi pemohon itu akan memangkas jabatan Presiden Jokowi dan Wapres Ma'ruf Amin yang oleh konstitusi sudah diputuskan berakhir 20 Oktober 2024.

Permohonan tersebut diajukan oleh Audrey G Tangkudung, Rudi Andries, Desy Natalia Kristanty, Marlon S C Kansil, dan Meity Anita Lingkani. Perkaranya terdaftar dengan nomor 65/PUU-XXII/2024 dan sidang pendahuluannya sudah digelar di Ruang Sidang Pleno Gedung 1 MK, Jakarta, pada Rabu (17/7/2024).

Sidang pendahuluan itu dipimpin Hakim Ketua Asrul Sani, ditemani dua hakim anggota yakni Anwar Usman dan Arief Hidayat. Di awal sidang, majelis meminta Pemohon menyebutkan pokok-pokok gugatan uji materinya. 

Daniel Edward Tangkau yang menjadi tim kuasa hukum Pemohon, menjelaskan uji materi kliennya terkait Pasal 416 ayat (1) Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu). Dia mengatakan, para Pemohon meminta MK menambahkan ketentuan, bahwa MPR harus segera melantik presiden dan wapres terpilih selambat-lambatnya tiga bulan setelah ditetapkan sebagai pemenang Pilpres 2024 oleh KPU.

Menurut mereka, pelantikan presiden dan wapres yang dilakukan setiap 20 Oktober merupakan imbas dari Pilpres yang terjadi dua putaran sejak 2004. Sedangkan Pilpres 2024 dilangsungkan hanya satu putaran. Dengan demikian, mereka meminta, pelantikan kali ini dipercepat, karena terlalu lama jika harus menunggu sampai 20 Oktober 2024 atau 8 bulan setelah diumumkan KPU sebagai pemenang Pilpres.

Ada kekhawatiran kami, ini akan menimbulkan permasalahan hukum yang baru," sebut Daniel. 

Mendengar permohonan tersebut, Hakim Asrul Sani meminta penjelasan lebih lanjut. Terutama soal dasar peraturan undang-undangan mengenai alasan percepatan pelantikan. 

Pemohon Desy Natalia yang hadir dalam sidang lantas mengatakan, dalam Permohonannya ada beberapa poin yang menjadi alasan uji materi. Salah satunya, akan menciptakan keunikan tersendiri karena Indonesia seakan memiliki presiden.

Namun, pihaknya juga mengajak majelis berpikir soal jangka waktu antara penetapan KPU dengan pelantikan presiden dan wapres terpilih sangatlah jauh. 

Apa kata Hakim MK? Hakim Asrul Sani tetap meminta dasar aturannya dituangkan dalam permohonan. Ia pun meminta para Pemohon mendengarkan nasihat lebih lanjut dari Hakim Arief Hidayat.

"Kalau nasihatnya diikuti itu meskipun tidak menjamin akan kabul, tetapi paling tidak sedikit memperbesar peluang. Ini terpulang kembali kepada para Pemohon," ujar Asrul.

Hakim Arief Hidayat kemudian berpendapat bahwa permohonan yang diajukan para Pemohon tidak sesuai dengan ketentuan. Sehingga dapat dengan mudah dikatakan permohonan kabur. 

Arief menjelaskan, para Pemohon seharusnya menjabarkan pertentangan Pasal 416 ayat (1) UU Pemilu dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 sebagai konstitusi. 

Para Pemohon, kata dia, juga harus menguraikan kerugian konstitusional akibat berlakunya ketentuan tersebut, sejalan dengan alasan mengenai percepatan pelantikan presiden terpilih masuk dalam pasal dimaksud.

Selain itu, Arief meminta, Pemohon memperhatikan ketentuan lainnya, misalnya Pasal 7 UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan presiden dan wapres memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. 

Sebab, menurut Arief, ketentuan itulah yang mendasari pelantikan presiden dan wapres dilaksanakan setiap 20 Oktober untuk memenuhi masa jabatan lima tahun. Mengingat, Presiden Jokowi dilantik pada 20 Oktober 2019, dengan demikian masa jabatannya baru berakhir di 20 Oktober 2024.

“Kalau dimajukan, berarti Pak Jokowi enggak jabat 5 tahun. Nah, kalau enggak jabat 5 tahun, ya, melanggar konstitusi, gitu," jelas Arief.

Karena Permohonan ini dianggap kurang lengkap, majelis meminta Pemohon memperbaikinya selama 14 hari. Berkas permohonan paling lambat harus diterima MK pada Selasa, 30 Juli 2024 pukul 14.00 WIB.

Untuk diketahui, dalam Permohonan ini para Pemohon meminta MK memasukkan atau menambah norma baru dalam Pasal 416 ayat (1), yakni "paling tidak selambat-lambatnya tiga bulan dilantik untuk menjadi presiden yang terpilih dan tetap oleh MPR".

Pasal 416 ayat (1) sendiri berbunyi, “Pasangan Calon terpilih adalah Pasangan Calon yang memperoleh suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara dalam Pilpres dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia”.

Para Pemohon menyebutkan beberapa alasan yang diajukan antara lain mempertimbangkan kondisi ekonomi nasional dan global, mempertimbangkan kondisi politik geopolitik global, serta mempertimbangkan kepastian hukum.

Sementara, Pakar Hukum Tata Negara Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah menilai para Pemohon hanya mencari sensasi. Sebab, dasar hukum yang dijadikan dalil untuk uji materi itu, cacat logika. 

"Masa jabatan Presiden Jokowi itu lima tahun. Artinya, baru berakhir di 20 Oktober 2024 nanti. Kalau pelantikan dimajukan, akan ada dua presiden dong?" singkatnya.

Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
sinpo
sinpo
sinpo