Menyudahi Begal Konstitusi
KEKUATAN-kekuatan politik yang dulu senyap kini digelitik oleh aksi begal konstitusi wakil rakyat. Putusan hukum tertinggi pilkada sebagai benteng terakhir sengaja dimutilasi. Para pembegal seakan memilih yang sunnah dan mengecualikan yang wajib demi memproteksi masa depan kuasa anak raja.
Kekuasaan membegal konstitusi patut dihentikan. Ia melukai hati rakyat. Peluang rakyat berkompetisi di suntik mati. Ruang tanding dikuasai dinasti dan oligarki. Untuk apa berdemokrasi bila semua pintu ditutup, bahkan di konci rapat. Bukankah lebih tepat kita ber-monarki ria. Tak perlu kompetisi dengan hanya melawan kotak kosong.
Agar kuasa tiran tak mengubur demokrasi hidup-hidup, ia hanya mungkin bila dikontrol, dibagi, dan diinstitusionalisasikan (Foucault, 1926). Masalahnya, institusi pengontrol mengalami kebuntuan karena ada dalam pekarangan koalisi. Pemilik daulat terpaksa turun dan mengingatkan. Mereka lupa bahwa daulat di tangan rakyat. Hanya dititip sementara dan boleh diambil sekali waktu.
Daulat yang diberi dapat ditarik bila pembawanya khianat. Cara beradab menarik daulat tersedia secara yuridis. Tapi itu dalam kondisi normal, ketika para wakil bisa diajak bicara baik-baik. Bila bebal, maka perlu pilihan lain. Pilihan parlemen jalanan (ekstra parlemen) tak jarang digunakan. Artinya, daulat dirampas kembali dengan paksa.
Semestinya para wakil paham, bahwa daulat yang diberikan setiap lima tahun sekali telah dibagi habis. Ada pembuat norma (legislatif), pelaksana norma (eksekutif), dan penegak norma (yudikatif). Masing-masing saling menghargai, termasuk menghormati putusan akhir dan mengikat oleh penegak norma. Mahkamah Konstitusi.
Pembagian kekuasaan itu berfungsi agar daulat rakyat tak dimonopoli oleh satu orang. Demikian prinsip penting demokrasi dibanding monarki. Tak ada pembegalan kecuali saling mengisi dan mengawasi (chek and balance system). Dengan begitu tak ada hegemoni, kecuali saling menjaga keseimbangan.
Kekuasaan perlu diinstitusionalisasikan agar tak digunakan sesukanya. Kekuasaan harus punya dasar, tertuang dalam instrumen yang jelas, punya organisasi, serta dijalankan oleh pejabat kompeten. Memaksa hasrat berkuasa dengan sikap sewenang-wenang tak lain bentuk pembangkangan. I am the law, kata Frank Hague, mantan Walikota Jersey City yang pernah jadi bos politik tertinggi di era politik mesin (1917).
Bangsa ini telah berkali-kali memberi pelajaran buat rezim dan generasinya. Tumbangnya orde lama dan orde baru sudah cukup jadi bahan intropeksi. Antitesa orde reformasi semestinya lebih baik. Sayangnya, kekuasaan kembali dari nol kata petugas SPBU. Kuasa kehilangan kontrol, enggan berbagi, bahkan tak sudi dilembagakan.
Agar rezim tak kembali memberi pelajaran buruk dengan cacat dimana-mana, ada baiknya para penghibur dan orkestranya kembali ke kesadaran bernegara dan berpemerintahan yang baik. Dengan begitu kita beroleh pelajaran moral tentang bagaimana sirkulasi kuasa terjadi sesuai norma tertinggi dan pengetahuan ideal. Bukan di-guide oleh kekuasaan absolut semata.(*)
Penulis merupakan Guru Besar pada Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN)
TangselCity | 1 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
Olahraga | 1 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
Pos Banten | 1 hari yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu