Lapas Kelebihan Penghuni, Hukuman Penjara Tak Lagi Jadi Pilihan Utama
BOGOR - Masalah kelebihan penghuni di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) yang terjadi di seluruh Indonesia, perlu segera ditangani. Salah satu wacana yang berkembang, hukuman penjara tak lagi menjadi pilihan utama dalam kasus-kasus pidana.
Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas) Yusril Ihza Mahendra menyatakan, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru, tidak akan mengedepankan hukuman penjara.
“Pada kitab undang-undang pidana nasional baru, penekanan sanksi pidana tidak lagi bersifat pembalasan, penjaraan, seperti yang kita kenal dalam sistem hukum kolonial,” kata Yusril di Bogor, Jawa Barat (Jabar), Kamis (7/11/2024).
Dia menjelaskan, KUHP baru yang akan berlaku tahun 2026 lebih mengedepankan penegakan hukum dengan cara keadilan restorasi atau restorative justice. Sebab, KUHP itu dibentuk berdasarkan asas hukum yang berkembang di masyarakat.
Jadi, kita menciptakan sistem hukum baru yang berasaskan pada hukum rakyat kita, hukum adat, serta hukum agama yang berkembang di tengah masyarakat kita. Sesuai dengan falsafah Pancasila,” tuturnya.
Dalam konsep keadilan restorasi, lanjut Yusril, Pemerintah lebih mengedepankan upaya musyawarah dalam menyelesaikan permasalahan pidana, seperti pemulihan hak korban dan pemberian sanksi kepada pelaku. Jalan musyawarah ditempuh agar tercipta keadilan tanpa menimbulkan konflik antar kedua belah pihak.
“Pemberlakuan keadilan restoratif harus dalam pemantauan para penegak hukum. Kalau tidak ada jalan keluar dalam keadilan restoratif, baru norma-norma hukum pidana dipaksakan negara,” tandasnya.
Terpisah, Wakil Ketua Komisi XIII DPR Sugiat Santoso menyatakan, pihaknya menunggu langkah Pemerintah terkait penyelesaian masalah over capacity di lapas dan rumah tahanan (rutan). Sebab, persoalan itu terjadi di Indonesia.
Kami berharap ada kebijakan progresif, apakah terkait dengan restorative justice, pembangunan lapas baru atau program-program yang bisa menuntaskan masalah ini,” ucapnya.
Sugiat menegaskan, kondisi lapas sudah sangat mengkhawatirkan dan perlu penanganan segera. “Over capacity kita hampir 100 persen. Seharusnya lapas dan rutan menampung sekian, tapi bisa 2 kali lipat warga binaan ada di lapas dan rutan,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu meminta Pemerintah dan DPR mengutamakan pendekatan kesehatan, serta memastikan tidak ada over kriminalisasi dalam revisi Undang-Undang Narkotika.
Menurutnya, hal itu menjadi salah satu solusi dalam mengatasi permasalahan kepadatan lapas dan rutan.
Kita ingin mengejar bandar besar, bukan pengguna narkotika di bawah satu gram atau penggunaan kecil,” ujarnya.
Erasmus menjelaskan, ada dua permasalahan yang perlu dijawab dalam revisi Undang-Undang Narkotika, yakni over kriminalisasi dan pencarian metode yang tepat untuk memastikan pengguna narkotika tidak masuk ke penjara dengan pendekatan kesehatan.
Sebab, lapas dan rutan di Indonesia sudah kelebihan beban hingga 200 persen dan sebanyak 70 persen penghuni terjerat dalam kasus narkotika.
“Penanganan narkotika kita keras sekali, kuat sekali. Akibatnya, orang-orang yang terjerat kasus narkotika membanjiri lapas dan rutan,” cetusnya.
Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Pemasyarakatan Y Ambeg Paramarta mengatakan, pemasyarakatan merupakan bagian integral dari sistem peradilan pidana terpadu, terdiri pra-adjudikasi, adjudikasi dan pasca-adjudikasi.
“Sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan, terjadi perubahan paradigma terhadap sistem perlakuan hukum. Pemasyarakatan bukan hanya sistem, tapi juga metode terstruktur dan sistematis yang mengarah pada Pemasyarakatan modern,” ujarnya.
Di media sosial X, banyak netizen menilai hukuman penjara tidak lagi relevan pada kasus-kasus kejahatan yang sedang marak, seperti narkoba, judi online dan korupsi. Kasus-kasus itu perlu ditindak dengan hukuman sosial agar para pelakunya jera.
Akun @Otakruwet59 menilai, banyak bandar narkoba dan koruptor masih bisa senyum-senyum meski sudah divonis penjara.
“Sebab, hukuman paling ditakuti mereka bukan penjara, tapi hukuman sosial dari rakyat. Kalau cuma masuk penjara beberapa tahun, keluar masih tetap kaya raya, mana efek jeranya?” cuitnya.
“Pelaku korupsi, judol, pencucian uang, dan sejenisnya harus diusut tuntas, harus di-spill orang tua dan kerabatnya, semua yang terlibat dengan pelaku. Hukuman sosial pada keluarga inti dan kerabatnya, yang bikin pelaku kalang kabut,” timpal akun @Orphan365.
Akun @D3w4o3r4ng35 mengatakan, hukuman penjara bagi pelaku judi online (judol) masih tergolong ringan.
“Hukuman penjara bagi pelaku judi sesuai KUHP, sangat rendah, maksimal 6 bulan. Padahal, kerusakan akibat judi online sangat besar. Kalau hukumannya seperti itu, mereka nggak bakal kapok buat main judi,” cetusnya.
Sementara, akun @Ignbp07 membandingkan tindakan hukum bagi rakyat kecil dengan orang berpengaruh. “Banyak loh artis yang pernah terseret dugaan promosi judi online. Mereka diperiksa polisi, tapi nggak ditahan. Sementara orang kampung seperti Gunawan alias Sadbor jadi tersangka hingga terancam hukuman 10 tahun penjara dan sudah ditahan,” keluhnya.
TangselCity | 1 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Pos Tangerang | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu