Kembali Disuarakan DPR, Gubernur Dipilih Kembali DPRD
JAKARTA - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali menyuarakan wacana pemilihan gubernur (Pilgub) lewat DPRD. Alasannya, pemilihan gubernur lewat Pilkada langsung, membutuhkan dana yang besar dan rentan terjadi politik uang.
Usulan ini disuarakan oleh PKB. Partai besutan Muhaimin Iskandar ini meminta, mekanisme Pilgub diubah dengan melakukan revisi terhadap sejumlah undang-undang. Mulai dari Undang-undang Pemerintahan Daerah, Undang-undang Partai Politik, hingga Undang-undang Pemilu.
“Semua harus memikirkan cara-cara supaya demokrasi kita efektif, sehat, tidak menggunakan uang, dan tidak menggunakan berbagai cara yang tidak demokrasi,” ujar Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar alias Cak Imin, di Hotel Sultan Jakarta, Sabtu (30/11/2024).
Imin mengaku, sudah menyampaikan usulan tersebut kepada Presiden Prabowo Subianto. Dalam usulannya, Imin turut menyampaikan mengenai berbagai masalah yang sering timbul dalam Pilkada. Salah satunya soal politik uang yang masif selama proses Pilkada berjalan, hingga serangan fajar sebelum hari pencoblosan.
Menko Bidang Pemberdayaan Masyarakat ini mengaku, mendapatkan informasi soal politik uang di Pilkada serentak 2024. Kata dia, untuk bisa membeli suara rakyat, seorang kandidat calon gubernur harus menyiapkan uang Rp 300 ribu per suara.
“Pakai uang itu minimal Rp 300 ribu baru bisa diterima. Kalau cuman Rp 100 ribu enggak akan diterima oleh rakyat,” ungkapnya.
Fenomena ini, kata Imin, membuat dirinya dan Prabowo sampai pada satu kesimpulan. Yakni, perlu ada perbaikan pada sistem Pilkada, agar karut-marut ini tidak terus-terusan terjadi setiap kali Pilkada digelar. “Beliau (mengatakan) ayo kita sempurnakan melalui undang-undang,” sebutnya.
Eks Wakil Ketua DPR ini menilai, perbaikan itu bakal dilakukan lewat revisi UU Pemilu dan Partai Politik (parpol). “Sehingga tidak mengurangi kemuliaan kompetisi yang sehat,” pungkasnya.
Sebelumnya, Politisi PKB Jazilul Fawaid juga mengusulkan hal yang sama. Menurutnya, Pilkada di tingkat provinsi tak lagi dipilih oleh rakyat secara langsung karena berbiaya mahal. Pilkada digelar hanya untuk memilih kepala daerah tingkat II, yakni Bupati atau Wali Kota.
Jazilul mencontohkan, di Jawa Barat saja butuh biaya mencapai Rp 1,9 triliun dalam Pilgub. Padahal menurutnya, kondisi itu tidak sepadan dengan kinerja gubernur. “Gubernur fungsinya hanya koordinator. Karena sekarang rezimnya otonomi daerah,” katanya di Hotel Sultan, Jakarta Pusat, Jumat (29/11/2024).
Persoalan biaya politik itu, kata dia, harus menjadi pembicaraan di antara partai-partai politik. Sebab, anggaran Pilgub sebesar itu, sejatinya bisa dialihkan untuk hal-hal yang lebih bermanfaat dan mendasar, seperti sektor pendidikan dan kesehatan daerah setempat.
Eks Wakil Ketua MPR itu menegaskan, saat ini PKB sedang mengkaji untuk meniadakan Pilgub. Sebagai gantinya, bisa melalui mekanisme penunjukan langsung, maupun melalui DPRD yang lebih sederhana.
Masih menjadi kajian di fraksi, belum jadi keputusan di partai. Kita cari yang paling efektif. Apalagi tingkat partisipasi Pilkada kemarin kan rendah,” tandasnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Dede Yusuf Macan Effendi, mengatakan semua perwakilan perlu duduk bersama untuk mencari solusi terbaik. Politisi Demokrat itu mengatakan, perubahan sistem Pilkada perlu dilihat secara objektif dan menyeluruh. Termasuk melibatkan peran akademisi untuk memastikan perubahan berdasarkan data dan analisis yang komprehensif, bukan hanya berdasarkan pertimbangan politis saja.
“Perlu tinjauan akademik dulu oleh para pakar terkait revisi Undang-undang Pemerintahan Daerah, dan Undang-undang Pemilu,” katanya, semalam.
Namun, usulan agar Pilgub dikembalikan lewat DPRD ditolak Dosen Hukum Pemilu Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini. Menurutnya, desain sistem Pilkada semakin lama semakin tertib dan sejalan dengan rancang bangun sistem demokrasi Indonesia.
Dengan siklus Pilkada yang makin mapan dan rutin di Indonesia, Titi meminta sebaiknya Pemerintah jangan berjalan mundur dalam menata demokrasi lokal Indonesia.
“Fokus saja pada evaluasi dan rekomendasi perubahan kebijakan yang harus dirumuskan dalam revisi UU Pilkada sebagai legislasi yang merupakan prioritas legislasi dalam Prolegnas Tahun 2025,” ujarnya kepada Redaksi, semalam.
Dewan Pembina Perludem ini menambahkan, setiap pemilihan memang ada plus minusnya. Namun, pemilihan langsung lebih melembagakan kedaulatan rakyat sebagaimana amanat Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.
Menurutnya, pemilihan gubernur oleh DPRD bisa saja menawarkan proses yang lebih mudah dan sederhana. Namun, cara ini bisa memutus mata rantai aspirasi publik dan menimbulkan kesewenang-wenangan elite dalam pengisian jabatan gubernur.
“Dalam pemilihan langsung saja partai acapkali membuat keputusan pencalonan yang berbeda dengan konstituen partai. Apalagi kalau diambil alih sepenuhnya oleh wakil partai di DPRD,” kritik Titi.
Kalau hal tersebut dibiarkan, Titi khawatir membawa dampak berupa ketidakpercayaan dan ketidakpuasan publik terhadap kepemimpinan yang terbentuk. Hal ini justru bisa mengganggu kondusifitas dan stabilitas jalannya pemerintahan daerah.
Meski begitu, Titi mengakui, Pilkada langsung memang sarat politik uang yang melibatkan jual beli suara. Namun, pemilihan gubernur oleh DPRD juga tidak menutup kemungkinan terjadi politik uang.
Olahraga | 6 jam yang lalu
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu