TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Haji 2025

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers

Koh Beda Data Kemiskinan BPS Dan Bank Dunia

Yanu Endar Prasetyo: Jangan Politisasi Data Kemiskinan

Reporter: Farhan
Editor: AY
Sabtu, 14 Juni 2025 | 08:54 WIB
Ilustrasi warga miskin. Foto : Ist
Ilustrasi warga miskin. Foto : Ist

JAKARTA - Beda data antara Bank Dunia (World Bank) dengan Badan Pusat Statistik (BPS) terkait perhitungan garis kemiskinan di Indonesia menjadi perbincangan hangat publik. Kini, Pemerintah mengaku sedang menyusun perhitungan terbaru soal garis kemiskinan.

 

Bank Dunia menggunakan standar baru garis batas kemiskinan, yaitu pengeluaran sebesar 8,3 dolar Amerika Serikat (USD) per orang per hari atau setara Rp 49.244. Dengan perubahan tersebut menyebabkan persentase penduduk miskin di Indonesia menjadi 68,2 persen atau 194,4 juta orang.

 

Sementara berdasar data BPS, jumlah penduduk miskin di Indonesia hanya 8,57 persen dari total populasi atau sekitar 24,06 juta. BPS menentukan standar kemiskinan berdasar kemampuan penduduk dalam memenuhi kebutuhan makanan dan komoditas non makanan. Dari perhitungan tersebut, ditetapkan ambang batas garis kemiskinan nasional adalah pengeluaran senilai Rp 595.243 per kapita per bulan.

 

Kepala Pusat Kajian Pembangunan Sosial (SODEC) Universitas Gadjah Mada (UGM) Hempri Suyatna mengatakan, perbedaan data Bank Dunia dan BPS ini perlu ditindaklanjuti serius oleh Pemerintah. Angka kebutuhan dasar atau cost of basic needs (CBN) Rp 595.243 tak relevan dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat sekarang.

 

Ini akan berimplikasi pada strategi dan kebijakan pengentasan kemiskinan di Indonesia, ini tentunya perlu di-review lagi. Misalnya, upah minimum provinsi di D.I. Yogyakarta saja sekarang sudah Rp 2,2 jutaan,” kata Hempri, Jumat (13/6/2025).

 

Ekonom Senior Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menyatakan standar garis kemiskinan BPS saat ini sudah tidak realistis. Menurutnya, BPS perlu menerapkan standar garis kemiskinan baru dari Bank Dunia.

 

"Garis kemiskinan BPS tidak realistis. Misalnya untuk kota, garis kemiskinan hanya Rp 615.000 per kapita per bulan, atau Rp 20.200 per kapita per hari. Padahal Indomie rebus telur saja Rp 12.000," ujar Wijayanto.

 

Jika tidak disesuaikan dengan standar kemiskinan dari Bank Dunia, ia meyakini Indonesia akan menghadapi dua risiko. Pertama, data dianggap tidak kredibel oleh dunia. "Kedua, kita terjebak dalam kebijakan pengentasan kemiskinan yang gimmick dan adhoc semata," ucap dia.

 

Sebelumnya, Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan, pembicaraan tentang perubahan garis kemiskinan sudah dibicarakan sejak beberapa waktu lalu. Ia menilai perhitungan garis kemiskinan memang harus direvisi dengan lebih mencerminkan kondisi saat ini.

 

"Anggota DEN ada Prof Arief (Anshory Yusuf) yang ahli kemiskinan, memang sudah kami bicarakan sejak beberapa waktu yang lalu. Bahwa kita harus merevisi mengenai angka ini," kata Luhut usai menghadiri International Conference on Infrastructure (ICI) di Jakarta International Convention Center (JICC), Kamis (12/6/2025).

 

Luhut menjelaskan, perhitungan terbaru garis kemiskinan sedang terus dimatangkan untuk dilaporkan kepada Presiden Prabowo Subianto. Menurutnya, perubahan ini adalah suatu hal yang biasa.

 

Saat disinggung apakah jumlah kemiskinan akan meningkat dengan perhitungan baru, Luhut menilai tidak perlu kaget dengan angka. Ia yakin permasalahan kemiskinan akan selesai dengan berbagai program prioritas seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) hingga food estate.

 

Luhut berharap, perhitungan terbaru garis kemiskinan bisa diumumkan tahun ini.

 

 Untuk membedah lebih dalam mengenai polemik soal perbedaan data kemiskinan antara Bank Dunia dengan BPS, simak pandangan Peneliti Pusat Riset Kependudukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Yanu Endar Prasetyo.

 

Apa pandangan Anda terkait perbedaan angka Bank Dunia dengan BPS terkait garis kemiskinan di Indonesia?

 

Perbedaan angka tersebut sebenarnya wajar. Tiap negara memang memiliki metode dan pendekatan sendiri dalam mengukur garis kemiskinan, sesuai dengan karakteristik dan kondisi social ekonominya. Namun, sebagai negara yang sudah masuk kategori upper middle income, sudah seharusnya Indonesia mengevaluasi kembali metode dan standar garis kemiskinannya agar lebih relevan dengan kondisi masyarakat saat ini.

 

BPS menetapkan garis kemiskinan sebesar Rp 595.243 per kapita per bulan. Apakah angka itu masih mencerminkan kondisi riil masyarakat?

 

Menurut saya, angka tersebut sudah tidak relevan lagi. Pendekatan kebutuhan dasar atau cost of basic needs (CBN) yang digunakan BPS memang sudah menjadi standar selama ini, tetapi indikator-indikator di dalamnya perlu dihitung ulang. Harus ada penyesuaian terhadap pola konsumsi, inflasi, serta standar hidup masyarakat yang terus berubah.

 

Pendekatan CBN yang digunakan BPS itu seperti apa?

 

CBN mengukur pengeluaran minimum untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non makanan. Untuk makanan, dihitung dari konsumsi minimal 2.100 kilo kalori per orang per hari. Biasanya dari beras, telur, tahu, tempe, dan sebagainya. Sementara komponen non makanan mencakup kebutuhan dasar seperti tempat tinggal, pendidikan, kesehatan, dan transportasi. Tapi, tantangannya adalah apakah jumlah tersebut masih cukup dengan kondisi harga-harga sekarang? Itu yang harus ditinjau kembali.

 

Apakah Anda melihat ada kebutuhan untuk mengganti metode penghitungan kemiskinan di Indonesia?

 

Bukan diganti sepenuhnya, tapi direvisi dan diperluas. Garis kemiskinan moneter saja tidak cukup. Kita perlu menggabungkannya dengan pendekatan kemiskinan multidimensi. Misalnya, keterbatasan akses pada pendidikan, kesehatan, sanitasi, dan perumahan layak. Itu akan memberikan gambaran yang lebih komprehensif.

 

Dalam konteks politik, sering kali angka kemiskinan jadi bahan pencitraan atau diklaim sebagai keberhasilan. Bagaimana Anda melihat hal ini?

 

Itu yang perlu kita hindari. Data kemiskinan adalah refleksi kondisi riil masyarakat. Harus dilihat secara objektif dan tidak dipolitisasi. Kadang, angka yang menunjukkan kerentanan tinggi bisa pahit dan sulit diterima. Tapi justru dari sanalah solusi bisa disusun secara tepat sasaran. Jangan sampai kita berpuas diri dengan angka penurunan kemiskinan yang semu. Sementara kenyataannya di lapangan berbeda.

Komentar:
ePaper Edisi 13 Juni 2025
Berita Populer
02
Lokasi SIM Keliling Tangsel Kamis 12 Juni 2025

TangselCity | 2 hari yang lalu

03
05
07
Lokasi SIM Keliling Tangsel Jumat 13 Juni 2025

TangselCity | 1 hari yang lalu

08
SPMB Untuk SMP Segera Dibuka

TangselCity | 2 hari yang lalu

10
Dewan Hadi Menilai Partisipasi Masyarakat Rendah

Pos Banten | 2 hari yang lalu

GROUP RAKYAT MERDEKA
RM ID
Banpos
Satelit