Politik Identitas Jender
CIPUTAT - Ayat-ayat jender dalam Al-Qur’an serta merta berusaha mewujudkan keadilan dan kesetaraan jender.
Dalam mengubah sebuah tradisi yang sudah lama berakar di masyarakat, Al-Qur’an biasanya menggunakan beberapa tahapan ayat untuk sampai kepada titik kesetaraan yang dianggap adil. Hal ini bisa dilihat dalam beberapa kasus sebagai berikut.
Dalam masalah kewarisan kaum perempuan yang tidak dikenal pada masa jahiliyah, tiba-tiba Al-Qur’an mendekler mendapatkan warisan, meskipun porsinya belum sama dengan porsi pembagian kaum laki-laki. Bahkan perempuan berfungsi sebagai “harta warisan” terhadap anak tiri laki-lakinya, kalau suaminya meninggal.
Jangankan anak perempuan, anak laki-laki yang belum akil-balig atau yang sudah uzur (tua bangka) tidak juga berhak mendapatkan harta warisan, karena konsep kewarisan dalam masyarakat Arab ketika itu terkait dengan konsep kepemilikan harta dalam sistem masyarakat qabiliyyah (tribal society), yang mirip dengan extended family.
Konsep kepemilikan harta terkait konsep pertahanan qabilah. Yang berhak mendapatkan harta ialah mereka yang dapat mengangkat pedang untuk membela eksistensi dan kelangsungan hidup qabilah. Karena itu, yang berhak mendapatkan harta warisan hanya laki-laki yang kuat, sudah akil-balig dan belum uzur.
Dalam masalah persaksian yang kaum perempuan juga tidak dikenal pada masa jahiliyah, Al-Qur’an tiba-tiba memberi kesempatan kepada kaum perempuan bisa menjadi saksi, terutama dalam urusan bisnis (QS Al-Baqarah/2:282). Hal ini membuat bangsa Arab kaget pada terobosan itu.
Masalah aqiqah atau pesta kelahiran anak laki-laki, juga ikut menghebohkan dunia arab saat itu, karena sama dengan kewarisan dan persaksian. Saat itu, aqiqah hanya dikenal dalam dunia kaum laki-laki, tiba-tiba Islam datang memberi kesempatan kaum perempuan untuk diaqiqah.
Dalam masyarakat qabiliyyah, kelahiran anak laki-laki merupakan suatu kebanggaan tersendiri. Sebaliknya jika yang lahir anak perempuan, maka mereka bersedih hati dan bermuka masam, seperti diisyaratkan dalam Al-Qur’an. Kelahiran seorang anak laki-laki selalu disambut dengan berbagai acara dan upacara (‘aqiqah). Sebaliknya anak perempuan, tidak pernah mendapatkan perayaan khusus.
Juga dalam masalah poligami yang tak terbatas di zaman jahiliyah, tiba-tiba dibatasi oleh Al-Qur’an (Q.S. al-Nisa’/4:3), maksimum hanya empat. Itu pun setelah melalui persyaratan yang amat ketat. Ini juga mengagetkan masyarakat Arab saat itu. Islam memperkenalkan azas perkawinan monogami, bukan poligami, tentu saja sesuatu yang luar biasa saat itu.
Masalah kepemimpinan yang sekian lama menjadi domain laki-laki pun, tiba-tiba Islam datang memberikan peluang bagi kaum perempuan yang memenuhi syarat untuk aktif sekaligus menjadi pemimpin di dunia publik.
Kemerdekaan kaum perempuan untuk membuat usaha dan mengecap pendidikan tinggi, bahkan turut serta aktif dalam dunia perang dan militer, sebuah pemandangan yang amat langka saat itu. Nabi sendiri memberi contoh, menyemangati kaum perempuan untuk berkarya, seperti halnya kaum laki-laki.
Dalam kasus pembebasan tawanan perang Badr, kaum perempuan diberi kesempatan mendapatkan pendidikan keterampilan usaha dari bekas tawanan perang, sesuai dengan talenta yang dimiliki.
Banyak lagi contoh lain, hingga yang membuat Prof Yvonne Haddad, seorang gurubesar di Georgetown Universiti Washington DC berkesimpulan, bahwa seandainya tidak ada agama Islam, mungkin hingga saat ini perempuan belum merdeka.
Meskipun ia beragama Katolik, ia berani mengungkapkan, kaum perempuan harus berterima kasih dengan kehadiran Islam, karena jasanya telah mengangkat martabat perempuan. (rm.id)
Lifestyle | 1 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
Pos Tangerang | 1 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
Pos Tangerang | 1 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu