TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers

Risiko Penyakit Jantung Meningkat, Warga Diminta Serius Stop Kebiasaan Merokok

Reporter & Editor : AY
Senin, 20 Januari 2025 | 11:50 WIB
Foto : Ist
Foto : Ist

JAKARTA - Yayasan Jantung Indonesia (YJI) memperkirakan, angka kematian akibat penyakit jantung dan kardiovaskular di seluruh dunia akan mencapai 20,5 juta kematian di 2030. Risiko ini terus meningkat tiap tahun. Salah satu penyebabnya, kebiasaan merokok.

 

Ketua Umum YJI, Annisa Pohan Yudhoyono menyatakan, Indonesia merupakan negara pengkonsumsi rokok tertinggi di dunia. Padahal, sesal dia, perilaku tersebut dapat meningkatkan risiko penyakit jantung, yang saat ini menjadi pembunuh nomor satu di Indonesia dan di dunia.

 

"Perilaku merokok menjadi masalah kesehatan serius di kalangan anak dan remaja. Ber­dasarkan hasil Survei Kesehatan Indonesia (SKI) tahun 2023, ada 3 juta anak di Indonesia yang menjadi perokok aktif," kata An­nisa, dikutip Minggu (19/1/2025).

 

Menurutnya, konsumsi zat adiktif, baik rokok konvensional maupun rokok elektronik, me­ningkat dalam 10 tahun terakhir. Bahkan, rokok elektronik kini menyasar anak-anak. "Rokok elektronik ada yang rasa buah dan permen karet, wangi, dan bisa digunakan dalam ruangan," imbuhnya.

 

Di sisi lain, lanjut Annisa, harga rokok konvensional di Indonesia juga sangat murah, yakni Rp 1.500 per batang, tersedia di warung dan pedagang asongan, serta bisa dibeli siapapun, terma­suk anak-anak. Padahal, Pasal 434 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 tahun 2024, aturan turunan dari Undang-Undang (UU) Kesehatan telah melarang pen­jualam rokok kepada konsumen di bawah usia 21 tahun perem­puan hamil, dan dijual eceran.

 

"Karenanya, YJI mengajak dan mengingatkan masyarakat untuk memahami dampak buruk konsumsi rokok bagi kesehatan. Merokok dalam bentuk apa pun, sangat berbahaya. Bukan hanya bagi pelakunya, tapi juga orang di sekitar atau perokok pasif," tuturnya.

 

Terpisah, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM) Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Siti Nadia Tarmizi menegaskan, merokok menjadi faktor risiko nomor 2 di Indonesia, yang menyebabkan Penyakit Tidak Menular, salah satunya jantung.

 

"Sebanyak 7,4 persen anak usia 10-18 tahun adalah perokok. Saat ini, usia pertama kali mero­kok juga semakin muda, yaitu 10 tahun," ungkapnya.

 

Siti menjelaskan, Pemerintah sudah mengeluarkan PP Nomor 28 Tahun 2024 tentang pelaksa­naan UU Ksehatan. Menurut dia, PP tersebut telah mengatur secara rinci tentang pengendalian kon­sumsi rokok dan tembakau, dan dapat diimplementasikan oleh kementerian/lembaga terkait.

 

Setiap kementerian/lembaga memiliki peran masing-masing, dalam mengimplementasikan aturan tersebut. Regulasi harus dipastikan berjalan dengan baik, meski edukasi harus tetap di­lakukan sebagai upaya pengen­dalian," ucapnya

 

Siti mengakui, penerapan aturan pasti akan memiliki tan­tangan dan beragam kendala. Na­mun, tegas dia, hal itu harus dapat diatasi bersama, sebagai wujud komitmen ketahanan kesehatan.

 

"Perlu pendekatan persuasif yang baik dari semua pihak. Kita harus banyak mendengar dan berdiskusi, karena hal inj memi­liki kaita. dengan industri, pen­jual, dan seterusnya," terangnya.

 

Sementara, peneliti dari Pusat Kajian Jaminan Sosial Universi­tas Indonesia (PKJS UI), Risky Kusuma Hartono menyampai­kan, salah satu tantangan yang dihadapi untuk menekan jumlah perokok adalah mudahnya akses rokok bagi anak-anak dan rema­ja di Indonesia. Berdasarkan hasil studi PKJS UI, ungkap dia, ada kenaikan jumlah toko rokok elektronik hingga 70-90 persen.

 

Selain itu, warung-warung masih bebas menjual rokok per batang. Ini memudahkan akses bagi anak untuk merokok," jelasnya.

 

Namun, dia meyakini, la­hirnya PP Nomor 28 Tahun 2024 akan mendorong pengendalian dan menahan angka prevalensi perokok, khususnya perokok anak-anak dan remaja.

 

"Misalnya, pasal tentang la­rangan penjualan rokok, bukan berarti melarang pedagang atau warung-warung untuk menjual rokok. Boleh menjual, tapi harus mematuhi syarat yang ditetap­kan," tandasnya.

 

Di media sosial X, netizen juga ramai mendukung upaya pengetatan akses terhadap ro­kok. Sebab, jumlah perokok anak-anak sudah sangat mem­prihatinkan, dan mereka tak lagi risih untuk merokok di tempat umum atau keramaian.

 

Menurut akun @Miffah_72, pada masanya orang-orang ma­sih sungkan merokok dekat anak-anak. Namun, anak-anak dan remaja saat ini sudah tak lagi memiliki sikap tersebut.

 

"Gue ingat banget pas tahun 2011-12, waktu gue kelas 5 SD, pertama kali main warnet, banyak mas-mas yang ngerokok. Pas ada gua ama temen gua yang masih bocah, mereka pada matiin rokoknya. Tapi sekarang di warnet atau rental playstation, semua pada merokok nggak ada lagi yang peduli kiri kanan," ungkapnya.

 

Ini nggak lucu sih. Gue miris banget, anak-anak sekolah dapat makan siang gratis, terus habis makan mereka pada ngisap ro­kok. Nah, kalau situasinya terus begini, siapa yang mau disalah­kan," timpal akun @bagong808.

 

Akun @riskiafl berpendapat, kebiasaan merokok pada orang tua akan mendorong anak un­tuk ikut-ikutan merokok. "Aku punya karyawan yang suka gen­dong anaknya yang masih balita, sambil ngerokok. Hasilnya, si anak suka ikut-ikutan menirukan bapaknya merokok. Eh sekarang anaknya udah SD jadi perokok beneran, terus nggak dilarang sama orang tuanya," sesalnya.

 

Sementara itu, akun @roseege­moy mengusulkan, jual beli rokok diperketat. "Minimal, yang bisa beli tuh umurnya diatas 21 tahun. Miris banget liat anak SD, masih bocil kelihatan biasa aja pas beli rokok di warung. Mana mukanya tengil banget lagi," cetusnya.

Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
RM ID
Banpos
Satelit