Sri Mulyani: Penerimaan Negara Turun, APBN Tekor 31 Triliun

JAKARTA - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati akhirnya membeberkan kinerja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) awal tahun 2025. Dalam paparannya, bendahara negara ini mengungkapkan, APBN tekor Rp 31,2 triliun akibat penerimaan pajak yang anjlok.
Sri Mulyani mengatakan, defisit terjadi karena pengeluaran yang membludak di awal tahun. Tercatat, per Februari pembiayaan anggaran tembus Rp 220,1 triliun. Dengan kata lain, realisasi pembiayaan telah mencapai 35,7 persen.
Menurutnya, pada dua bulan pertama 2025 belanja Pemerintah tembus Rp 348,1 triliun, atau setara 9,6 persen dari pagu APBN 2025. Rinciannya; Rp 211,5 triliun belanja pemerintah pusat, dan Rp 136,6 triliun Tranfer Ke Daerah (TKD).
Sementara, penerimaan negara baru terkumpul Rp 316,9 triliun atau 10,5 persen dari target. Rinciannya, Rp 240,4 triliun penerimaan pajak, dan Rp 76,4 triliun Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan penerimaan kepabeanan dan cukai Rp 52,6 triliun.
Meski begitu, Sri Mulyani menyebut, defisit APBN masih dalam batas yang ditentukan dalam APBN 2025, yakni Rp 616,2 triliun. Sedangkan, dari sisi keseimbangan primer tercatat surplus Rp 48,1 triliun.
"Jadi defisit 0,13 persen masih dalam target desain APBN sebesar 2,53 persen dari PDB," katanya dalam Konferensi Pers APBN KiTA di Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Kamis (13/3/2025).
Dari sisi penerimaan, setoran pajak mencapai Rp 187,8 triliun, atau 8,6 persen dari target. Alhasil, penerimaan negara hingga Februari terkontraksi 21,48 persen. Kontraksi ini jauh lebih besar dibandingkan tahun lalu yang hanya 4,52 persen.
Sri Mulyani juga memberikan penjelasan alasan tidak dilakukan konferensi pers pada Februari 2025. Ia mengakui data yang masih belum stabil menjadi alasannya sehingga belum mengumumkan realisasi APBN per Januari 2025.
"Terkait pelaksanaan APBN di awal tahun yang kita melihat datanya yang masih sangat belum stabil karena berbagai faktor," ujarnya.
Karena itu, Sri Mulyani masih menunggu sampai data cukup stabil sehingga bisa dilaporkan perkembangan kondisi keuangan negara kepada publik.
Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu menganggap, anjloknya penerimaan pajak pada dua bulan awal merupakan hal yang normal. Kondisi ini sudah terjadi dalam empat tahun terakhir.
Desember naik cukup tinggi, karena ada Nataru akhir tahun dan kemudian menurun di Januari dan Februari. Itu sama setiap tahun. Jadi tidak ada hal yang anomali. Jadi sifatnya normal saja," kata Anggito.
Menurutnya, ada dua biang kerok anjloknya penerimaan. Pertama, penurunan harga komoditas andalan dari ekspor Indonesia. Misalnya, batu bara secara tahunan 11,8 persen, brent minyak 5,2 persen, dan nikel 5,9 persen.
Faktor kedua, administrasi. Yakni, kebijakan baru: implementasi Tarif Efektif Rata-rata (TER) untuk PPh 21 dan ada kebijakan relaksasi pembayaran PPN dalam negeri selama 10 hari sehingga dapat dibayarkan hingga 10 Maret 2025.
"Jadi ini adalah dampak relaksasi yang harusnya menjadi bagian dari perhitungan Februari. Namun, karena relaksasi jadi kami sudah memantau," urai Anggito.
Terlepas dari itu, ia memperkirakan, tren penerimaan pajak ke depan akan lebih baik. Hal ini melihat berbagai aktivitas ekonomi yang mulai bergeliat. Indikatornya, kenaikan pada Purchasing Managers' Index (PMI) maupun konsumsi listrik untuk industri.
Apa tanggapan pengamat? Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan, realisasi penerimaan pajak pada Januari 2025 yang hanya mencapai 4,06 persen merupakan indikasi tekanan fiskal yang semakin berat bagi Pemerintah.
"Banyak pihak menyoroti bahwa anjloknya penerimaan negara berkaitan erat dengan implementasi Coretax," ulas Yusuf saat dihubungi, tadi malam.
Di sisi belanja negara, hampir semua pos mengalami kontraksi, kecuali belanja pegawai, subsidi, dan Transfer Keuangan Daerah (TKD). Efisiensi anggaran yang diterapkan juga berdampak besar pada belanja barang dan belanja modal yang masing-masing terkontraksi 75 persen dan 96 persen.
Sementara itu, belanja subsidi melonjak drastis dibandingkan 2024, dengan realisasi sebesar Rp 2,86 triliun. Lonjakan ini terutama berasal dari subsidi BBM Rp 0,83 triliun dan subsidi listrik Rp 2,02 triliun, akibat program stimulus ekonomi yang memberikan diskon listrik 50 persen pada Januari–Februari 2025.
Masih lambatnya realisasi belanja Pemerintah juga menunjukkan bahwa efek relokasi anggaran dari proses efisiensi belum terlalu terlihat, terutama di awal tahun. "Saya kira ini perlu menjadi catatan, apabila Pemerintah ingin tetap memastikan proses efisiensi anggaran tidak akan menekan belanja Pemerintah secara umum, terutama di sepanjang tahun 2025," pungkas Yusuf.
Untungnya, data dan penjelasan di atas masih jauh lebih baik jika dibandingkan Amerika Serikat (AS). Laporan Departemen Keuangan AS, defisit per Februari 2025 tembus 1 triliun dolar AS atau setara Rp 16.453 triliun.
Pengeluaran Pemerintah AS sedikit berkurang secara bulanan, tetapi masih jauh melampaui pendapatan. Defisit untuk Februari mencapai lebih dari 307 miliar dolar AS jika dirupiahkan Rp 5.051 triliun, atau 3,7 persen lebih tinggi dibandingkan Februari 2024.
Secara total, defisit AS dalam lima bulan pertama tahun fiskal 2025 telah mencapai 1,15 triliun dolar AS atau Rp 18.921 triliun. Angka ini naik sekitar 318 miliar dolar AS atau Rp 5.234 triliun dibandingkan periode yang sama tahun lalu, atau meningkat 38 persen yang menjadikan rekor baru untuk periode ini.
TangselCity | 1 hari yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
Olahraga | 1 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
Olahraga | 14 jam yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu