TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

RELIJIUCITY

Indeks

Dewan Pers

Menata Hasrat, Menata Kota

Oleh: Budi Rahman Hakim, Ph.D.
Editor: Redaksi selected
Senin, 08 September 2025 | 12:01 WIB
Ist.
Ist.

SERPONG - Di tengah deru kendaraan dan ambisi pembangunan perkotaan, warga Tangerang Selatan kerap terjebak dalam ritme hidup yang cepat namun hampa. Gedung-gedung menjulang, pusat perbelanjaan bertambah, dan koneksi digital tak putus—tapi ruang untuk mengenali diri dan memaknai hidup justru kian sempit. Kita seperti kehilangan arah dalam derasnya keinginan. Maka pertanyaannya: sudahkah kita menata ulang hasrat, sebelum menata ulang kota?

 

Dalam tradisi tasawuf, zuhud bukanlah menarik diri dari dunia, melainkan menyusun ulang relasi kita dengan dunia. Imam al-Ghazali menjelaskan zuhud sebagai kemampuan meninggalkan sesuatu karena kita menginginkan sesuatu yang lebih bernilai secara ruhani. Artinya, seseorang tetap bisa tinggal di kota modern, bekerja dengan gaji mapan, dan menggunakan teknologi—selama semua itu tidak menjadi tuan atas batinnya. Zuhud adalah kebebasan batin dari perbudakan keinginan yang tak perlu.

 

Tangerang Selatan, sebagai kota yang tumbuh pesat, menghadirkan banyak fasilitas dan peluang. Tapi justru di sinilah tantangan muncul: ketika ruang publik didesain hanya untuk konsumsi, ketika nilai sosial bergeser ke pameran gaya hidup, ketika iklan dan algoritma digital membentuk hasrat kita lebih dari akal sehat. Kota akhirnya bukan lagi tempat hidup, tapi arena pertunjukan.

 

Fenomena flexing digital yang meningkat di kalangan pelajar Tangsel menunjukkan krisis yang tak bisa diselesaikan hanya dengan edukasi formal. Laporan dari Kominfo dan sejumlah survei tahun lalu menunjukkan bahwa anak muda makin terpapar budaya pembanding, kecanduan validasi, dan kehilangan ketenangan. Hasrat yang tak tertata menciptakan generasi yang cemas di tengah kelimpahan.

 

Di sinilah peran pemerintah kota menjadi penting: bukan untuk melarang kecepatan, tapi untuk menghadirkan ruang perlambatan. Bukan untuk mematikan gaya hidup modern, tapi menyisipkan nilai spiritualitas di dalamnya. Kita butuh taman-taman kontemplatif, bukan hanya taman estetik. Kita butuh perpustakaan yang sunyi, bukan sekadar co-working space penuh distraksi. Kita butuh masjid yang hidup, bukan hanya bangunan megah tanpa ruh.

 

Menata kota seharusnya diawali dari menata hasrat. Karena arah pembangunan sangat ditentukan oleh apa yang kita anggap penting. Jika yang penting hanyalah investor, maka kota akan dijual. Jika yang penting hanyalah angka, maka kebijakan akan kehilangan rasa. Tapi jika yang utama adalah jiwa warga, maka pembangunan akan lebih bijak, tenang, dan tahan guncangan.

 

Spirit ini sejatinya sudah ada dalam khazanah kebijakan Islam. Dalam maqashid al-syari’ah, perlindungan terhadap nafs (jiwa), ‘aql (akal), dan māl (harta) didahulukan sebelum urusan citra dan keuntungan. Dalam falsafah sufistik, menata batin menjadi fondasi sebelum bergerak keluar. Maka, kota yang ditata tanpa memikirkan kualitas batin warganya hanya akan menghasilkan rumah megah yang penghuninya gelisah.

 

Pemerintah kota Tangsel perlu menyusun kebijakan pembangunan yang mengandung nilai-nilai etis dan spiritual. Misalnya, desain kawasan perumahan yang wajib memiliki ruang ibadah aktif, taman refleksi, dan pusat komunitas warga. Atau insentif untuk sekolah dan komunitas yang membangun literasi batin: pengelolaan emosi, pemaknaan hidup, dan moderasi digital. Ini bukan hal utopis. Beberapa kota seperti Bogor dan Yogyakarta mulai menerapkannya—dan terbukti memperkuat kesejahteraan mental warganya.

 

Kita tidak menolak kota modern. Kita justru ingin kota yang membantu warganya menjadi manusia seutuhnya. Kota yang tidak memanjakan hawa nafsu, tapi merawat keutuhan jiwa. Di sinilah pentingnya zuhud kota: bukan kembali ke masa lalu, tapi melangkah ke masa depan dengan hati yang jernih.

 

Menata hasrat adalah tugas pribadi. Tapi menata kota adalah tugas bersama. Maka mari kita dorong Tangerang Selatan menjadi kota yang memberi ruang bagi relaksasi spiritual, kebijaksanaan batin, dan kesadaran hidup. Kota ini bisa jadi cermin jiwa warganya—asal kita bersedia menyusunnya dari dalam.

Komentar:
Berita Lainnya
ePaper Edisi 08 September 2025
Berita Populer
01
Dipotong Pajak 15 Persen

Nasional | 2 hari yang lalu

06
Kualifikasi Piala Asia 2026

Olahraga | 1 hari yang lalu

08
Nadiem Tersangka, Istana Tidak Ikut Campur

Nasional | 1 hari yang lalu

GROUP RAKYAT MERDEKA
RM ID
Banpos
Satelit