Pemerintah AS Shutdown: Gaji Pegawai Tak Dibayar, Pemasukan Negara Berkurang

AS - Pemerintah Amerika Serikat (AS) mengalami shutdown sejak 1 Oktober 2025 pukul 00.01 waktu setempat. Penghentian operasional pemerintahan federal ini menyebabkan gaji ratusan ribu pegawai tak dibayar dan pemasukan negara menjadi berkurang.
Bagi orang Amerika, situasi ini terasa deja vu. Fenomena ini bukan yang pertama di era Presiden Donald Trump. Shutdown kali ini menjadi penutupan keempat operasional pemerintahan di era Trump.
Sebelumnya, dalam periode pertama pemerintahan Trump (2017–2021), terjadi tiga kali kebuntuan politik antara Gedung Putih dan Kongres. Shutdown pertama terjadi pada Januari 2018. Saat itu, layanan federal lumpuh selama 3 hari.
Penyebab utamanya adalah tarik-menarik soal imigrasi, khususnya program Deferred Action for Childhood Arrivals (DACA) yang melindungi imigran muda dari deportasi. Demokrat dan Republik bersikukuh dengan posisi masing-masing, hingga akhirnya anggaran darurat baru disepakati tiga hari kemudian.
Belum genap sebulan, krisis serupa terulang pada Februari 2018. Shutdown kali itu singkat, hanya 1 hari, akibat proses pengesahan anggaran yang tersendat di Senat. Walau sebentar, kejadian ini menegaskan bahwa polarisasi politik Washington saat itu dalam kondisi akut.
Yang paling panjang dan meninggalkan jejak mendalam adalah shutdown ketiga pada 22 Desember 2018 hingga 25 Januari 2019. Shutdown ini berlangsung sekitar 35 hari, menjadi yang terlama dalam sejarah AS. Penyebabnya, Trump ngotot meminta pendanaan miliaran dolar untuk pembangunan tembok perbatasan dengan Meksiko, sementara Demokrat menolak keras.
Dampak shutdown kala itu, sekitar 380.000 pegawai federal dirumahkan, 420.000 pegawai lain bekerja dengan gaji tertunda. Layanan pajak tersendat, taman nasional banyak yang ditutup. Sektor penerbangan pun terganggu, karena kurangnya staf pengawas lalu lintas udara.
Kini, di periode keduanya, Trump kembali menghadapi jalan buntu dalam menetapkan anggaran. Shutdown dimulai dari kegagalan Kongres menyetujui Rancangan Undang-Undang Anggaran sebelum tahun fiskal berakhir pada 30 September. DPR yang dikuasai Partai Republik berhasil meloloskan rancangan tersebut, tapi terhenti di Senat. Pemungutan suara berakhir 55-45, gagal menembus syarat minimal 60 suara.
Perdebatan inti ada pada nasib subsidi kesehatan dalam Affordable Care Act (ACA). Demokrat bersikeras memperpanjang subsidi tersebut. Sementara, Republik menolak keras dan ingin anggaran bersih tanpa tambahan persyaratan.
Trump langsung memanfaatkan ini sebagai panggung politik. Dalam konferensi pers di Gedung Putih, dia mengkambinghitamkan Demokrat sebagai biang kerok shutdown ini.
"Demokrat ingin menutup Pemerintahan. Jadi, ketika itu ditutup, mau tidak mau harus ada PHK massal," tuding Trump, seperti dikutip Bloomberg, Kamis (2/10/2025).
Trump juga tampak tak memusingkan shutdown ini. Dia justru melihatnya sebagai peluang membersihkan birokrasi. Dia menyebut, banyak pegawai federal tak produktif dan menjadi “dead wood” yang membebani anggaran.
Jika krisis berlanjut, Gedung Putih, lewat Kantor Manajemen dan Anggaran, menyiapkan skenario reduction-in-force alias pemangkasan besar-besaran.
Tak hanya itu, Trump juga membekukan dana 26 miliar dolar AS atau setara Rp 432 triliun untuk negara bagian yang condong ke Demokrat. Ini tentu bakal memperlebar jurang politik antarblok di AS. "Miliaran dolar bisa dihemat," tulis Trump, di akun Truth Social.
Dikambinghitamkan, kubu Demokrat tidak tinggal diam. Pemimpin Fraksi Demokrat di DPR, Hakeem Jeffries, menuding balik Republik mengorbankan rakyat demi agenda politik.
"Kami berjuang mempertahankan subsidi kesehatan. Rakyat Amerika berhak mendapatkan jaminan itu," tegas Jeffries.
Senator Chuck Schumer menambahkan, Trump menjadikan rakyat sebagai pion dalam permainan politik partisan. "Dia menggunakan rakyat Amerika sebagai alat pemerasan," tudingnya.
Senator Patty Murray lebih keras. "Jangan salah. Pemerintah kita ditutup karena Partai Republik menolak untuk bernegosiasi dan menolak melakukan pekerjaan mereka," kecam Patty, dalam sebuah pernyataan video.
Nada serupa juga dilontarkan Senator Kirsten Gillibrand. "Prioritaskan keluarga Amerika, bukan miliarder," sindirnya.
Mantan Wakil Presiden AS Kamala Harris ikut menegaskan, kondisi ini inisiatif Trump dan Republik. "Partai Republik berkuasa di Gedung Putih, DPR, dan Senat. Ini penutupan Pemerintah mereka," katanya, seperti dilansir CNN.
Saat politisi saling tuding, rakyat merasakan dampaknya. Sekitar 750 ribu pegawai federal kini dirumahkan tanpa gaji (furlough). Mereka yang masuk kategori esensial seperti polisi, tentara, hingga staf rumah sakit tetap bekerja, tapi bayarannya, ditunda.
Wakil Presiden JD Vance berharap shutdown ini segera berakhir. "Jujur saja, kalau ini berlarut-larut, kita akan terpaksa melakukan PHK," katanya, dalam jumpa pers di Gedung Putih.
Dampak shutdown juga menjalar ke banyak sektor. Kementerian Urusan Veteran tetap membuka layanan pemakaman nasional. Namun, layanan tak penuh. Pemasangan batu nisan dan merawat taman pemakaman, ditiadakan.
Proyek besar di New York seperti Hudson Tunnel dan ekstensi Subway senilai 18 miliar dolar AS, ikut ditunda. Sebab, pencairan dana federal terhenti.
Sementara, National Park Service memutuskan, taman-taman nasional tetap dibuka. Tapi, dengan jumlah petugas jauh berkurang. Kondisi sosial semacam ini rawan memicu vandalisme seperti yang pernah terjadi di Joshua Tree National Park pada shutdown tahun 2019 silam.
Dampak yang paling simbolis terasa di New York. Patung Liberty, ikon kebebasan Amerika, terancam ditutup jika anggaran federal tidak cair. Gubernur New York Kathy Hochul menolak menggunakan kas negara bagian untuk menutup defisit.
"Jika obor Patung Liberty padam, itu karena para politisi di Washington menolak akal sehat," tegas Hochul.
Keputusan membiarkan ikon nasional itu gelap, kecam Hochul, adalah tanggung jawab Trump dan Partai Republik. "Mereka meninggalkan rakyat yang seharusnya mereka wakili," cibirnya, pedas.
Bagi Gedung Putih, konsekuensi ekonomi atas shutdown sangat serius. Perhitungan resmi menyebut, negara ini bisa kehilangan 15 miliar dolar AS per minggu dari Produk Domestik Bruto (PDB) bila krisis anggaran berlanjut.
Selain itu, ratusan ribu pegawai federal berisiko kehilangan pekerjaan permanen jika rencana pemangkasan Trump dijalankan. Program bantuan pangan, asuransi kesehatan, hingga layanan perizinan publik, juga terancam lumpuh.
Efek psikologis juga besar. Khususnya bagi warga Alaska, yang 15 ribu di antaranya bekerja sebagai pegawai federal. Di negara bagian yang ekonominya sangat tergantung pada gaji pegawai federal itu, shutdown kali ini jelas menjadi ujian berat.
Hukum | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu