TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

RELIJIUCITY

Indeks

Dewan Pers

PPATK Endus 51 Ribu ASN Ditingkat Pusat Dan Daerah Main Judi Online

Reporter: Farhan
Editor: AY
Sabtu, 01 November 2025 | 08:37 WIB
Ilustrasi. Foto : Ist
Ilustrasi. Foto : Ist

JAKARTA - Hasil deteksi Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyebut sebanyak 51.611 kalangan Aparatur Sipil Negara atau ASN di tingkat pusat dan daerah menjadi pemain judi online alias judol, membuat heboh.

 

Jumlah itu bagian dari data jumlah pemain judol yang telah terekam sebanyak 9,78 juta orang pada 2024, dengan total deposit Rp 51,3 triliun. Jumlah pemain judol itu mengalami peningkatan jika dibandingkan tahun 2023 sebanyak 3,79 juta orang.

 

“Ironisnya, sekitar 51.611 pemain judi online diidentifikasi berasal dari ASN, baik di Pemerintah Pusat maupun daerah,” kata Deputi Analisis dan Pemeriksaan PPATK, Danang Tri Hartono, Kamis (30/10/2025).

 

Dijelaskannya, data pelaku judol yang didapat PPATK ini merupakan bagian dari Operasi Lebah Madu yang tengah digagas PPATK. Operasi Lebah Madu digulirkan dalam rangka memperkuat sistem pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi, judi online, dan meningkatkan penerimaan negara.

 

Menanggapi hal tersebut, Anggota Komisi II DPR Mardani Ali Sera mengatakan, permasalahan judi online di kalangan ASN ini sebagai sebuah musibah. Tetapi, kata dia, ada faktor lain yang membuat hal ini terjadi, seperti ketidakmampuan dalam mengatur uang.

 

“Secara pendidikan, mereka sudah lulus S1, tapi dalam mengelola uang, mereka belum paham apa-apa,” ujar Mardani kepada Redaksi, Jumat (31/10/2025).

 

Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber CISSReC Pratama Persadha menilai, persoalan bukan sekadar pelanggaran hukum, melainkan sebagai indikator lemahnya literasi digital, kontrol diri, serta rapuhnya pengawasan internal.

 

Menurut dia, keterlibatan ASN dalam judol memperlihatkan adanya kekosongan nilai dan tekanan psikologis dalam sistem birokrasi.

 

“Penyelesaian persoalan ini tidak cukup dengan sanksi administratif, tetapi juga membutuhkan pembinaan mental, literasi digital, dan penguatan etika profesi berbasis integritas digital,” ujar Pratama kepada Redaksi, Jumat (31/10/2025).

 

Untuk mengetahui lebih dalam pandangan Mardani Ali Sera mengenai hasil temuan PPATK bahwa puluhan ribu ASN terjerat judi online, berikut wawancaranya.

 

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mendeteksi fenomena ASN main judol. Apa pandangan Anda?

 

Pertama, ini musibah. Kedua, ini menunjukkan kualitas pendidikan, khususnya literasi keuangan masih bermasalah. Bisa jadi seseorang sudah lulus S1, tapi dalam hal mengelola uang dia belum paham apa-apa. Uang itu bukan sekadar angka, tapi juga soal psikologi manusia. Ada buku The Psychology of Money, yang menjelaskan bagaimana uang bisa membuat orang serakah, ceroboh, atau kehilangan kendali. Kalau literasi keuangan lemah, siapa pun, bukan hanya kalangan bawah, tapi juga menengah dan atas, bisa jadi korban.

 

Para pelaku ini kan sudah jadi ASN. Apa langkah yang sebaiknya dilakukan Pemerintah?

 

Kalau ikut teori supply and demand, sekarang supply pemain tinggi, demand-nya juga besar. Saya pernah ke Kamboja, dulu sebelum Covid-19, hanya ada sekitar 3.000 orang Indonesia di sana, sekarang 130 ribu. Mayoritasnya pekerja judi online karena di sana masih legal. Bahkan banyak juga dari China, Malaysia, dan Thailand. Artinya, pelaku industri ini sangat agresif. Mereka mengiming-imingi, bahkan membungkus judi dalam bentuk game agar menimbulkan ketagihan. Karena itu, perlu penegakan hukum yang kuat di sisi demand-nya. Judi di Indonesia itu kriminal, jadi ASN harus diingatkan risikonya. Sosialisasi dan edukasi dijalankan, baru sanksi ditegakkan.

 

Penindakan hukum saja tidak cukup?

 

Betul. Sepandai-pandainya polisi, maling lebih pandai. Pelaku judi online ini juga begitu. Mereka bermetamorfosis, kadang memakai influencer yang tidak tahu apa-apa, atau membuat landing page palsu. Karena itu, petugas siber kita harus lebih cerdas. Selain itu, edukasi masyarakat juga penting, baik ASN, kelas menengah, maupun penerima bantuan sosial. Kemarin saya dapat data dari PPATK, ada puluhan ribu rekening penerima bansos yang juga tercatat bermain judi online. Sudah miskin, main judi lagi, kasihan. Jadi mereka korban. Kalau langsung dihukum, jatuh miskin, efek sosialnya makin berat: kriminalitas naik, perceraian meningkat, negara rugi.

 

Apakah ada solusi lain untuk mencegah maupun mengurangi judi online ini?

 

RT dan RW bisa menjadi garda terdepan dalam deteksi dini. Mereka tahu siapa di lingkungannya yang terlibat atau mulai terpengaruh. Jadi pemberantasan harus menyeluruh, dari hulu ke hilir. Judi online ini mirip narkoba, uangnya besar, pelakunya punya kemampuan mengendalikan, bahkan kadang menyuap aparat. Kalau penanganannya tidak menyeluruh, ya bocor di sana-sini.

 

Soal sanksi, Anda tadi sempat bilang jangan langsung dipecat agar tidak menimbulkan kemiskinan baru. Tapi, sejauh mana toleransi yang wajar diberikan?

 

Saya kira tetap harus ada tahapan. Misalnya SP1, SP2, SP3, lalu pemecatan. Kasih waktu tiga bulan antara peringatan. Pertama, skorsing atau penurunan jabatan, kedua, penurunan jabatan lagi, dan ketiga baru pemecatan. Hukum tetap harus ditegakkan, tapi dengan proporsionalitas agar ada efek jera sekaligus ruang untuk memperbaiki diri.

 

Artinya, judol ini sudah seperti candu, mirip narkoba ya?

 

Saya setuju. Beberapa pelaku memang tidak mampu mengendalikan diri. Ini bukan sekadar soal hukum, tapi juga penyakit psikologis. Karena itu, perlu ada pendekatan rehabilitasi seperti di kasus narkoba. Edukasi dan pendampingan harus dijalankan agar mereka sadar dan pulih. Jadi bukan hanya bebas dari hukumannya, tapi juga bebas dari candunya, bebas judi online, bebas narkoba.

Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
RM ID
Banpos
Satelit