Surono: Alam Tuan Rumahnya, Kita Tamunya
JAKARTA - Tiap hari, gempa datang silih berganti. Hari ini di daerah ini, besok di daerah lain. Seperti tanpa henti. Memang, tidak semua gempa mengakibatkan korban yang begitu banyak, seperti yang terjadi belum lama ini, di Cianjur, Senin (21/11) yang lalu. Data terakhir gempa Cianjur menewaskan 334 orang.
Kenapa akhir-akhir ini gempa sering terjadi? Bahaya apa yang mengintai bangsa ini? Dan, apa yang harus kita lakukan untuk jaga-jaga? Rakyat Merdeka mewawancarai Surono, ahli geofisika tersohor yang juga mantan Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), untuk menjawab semua pertanyaan yang begitu mengkhawatirkan itu.
Berikut penuturannya:
Kenapa belakangan ini sering terjadi gempa ya Pak? Ada apa sebenarnya ini?
Sebetulnya tatanan tektonik Indonesia ini unik, ada pertemuan tiga lempeng besar, yaitu Lempeng Eurasia, Lempeng Indo-Australia, dan Lempeng Pasifik. Lempeng Pasifik di sebelah timur Indonesia. Itu yang membuat Indonesia menjadi rawan gempa.
Selain itu, Indonesia juga memiliki gunung api terbanyak di dunia, ada 126. Tetapi, panas bumi kita juga menjadi banyak, ada 25 Gigawatt potensi elektrik panas bumi di Indonesia.
Di balik bencana, ada berkah yang tersimpan juga ya. Begitu maksudnya Pak?
Iya. Bumi Indonesia memang diciptakan ideal lah, ada siang malam. Satu sisi memang berkah luar biasa. Kalau nggak ada gunung api, nggak ada kesuburan. Dengan letusan gunung api, panoramanya jadi indah dan tanahnya subur. Di Semeru ada Apel Malang, di Merapi ada Salak Pondoh, dan lainnya.
Itu berkahnya ya Pak. Kalau kita bicara musibahnya, akibat gempa maupun letusan gunung api membuat banyak korban yang tewas, bangunan hancur. Ini bagaimana mengantisipasinya ya Pak?
Kan dari dulu ada gempa. Gempa juga nggak ngejar orang. Gempa nggak ngejar sentimen orang. Yang membunuh itu adalah infrastrukturnya. Makanya, dari dulu nenek moyang kita sudah membuat rumah tahan gempa. Pondasinya tidak ditanam.
Seperti Rumah Gadang, Rumah Sunda dan rumah tradisional di berbagai daerah lainnya. Nenek moyang kita sudah memahami dari dulu. Masyarakat di Simeulue, Aceh misalnya. Itu semua teriak smong, kalau air laut tiba-tiba surut. Ada banyak contoh di daerah lain juga.
Setelah Sesar Cimandiri yang memicu gempa Cianjur, ramai juga dibahas soal Sesar Lembang. Ini Jawa Barat ini posisinya seperti apa ya Pak?
Di Jawa Barat ini banyak sesar, ada Sesar Lembang, Sesar Cimandiri, dan lain-lain. Tapi, di daerah rawan gempa, longsor, enak itu. Karena banyak airnya, maka banyak manusia yang tinggal di sini juga banyak.
Peran BMKG dan lembaga terkait lainnya dalam memetakan dan memitigasi dampak dari gempa, apa sudah maksimal?
Sebetulnya, BMKG hingga Pusat Studi Gempa Nasional sudah melakukan apa yang dia lakukan. Bikin peta gempa sudah, tapi itu nyampe nggak? Kan, sekarang otonomi daerah, ini menjadi konsideran enggak dalam tata ruangnya.
Ini jadi pertanyaan saya juga.
Artinya, sebenarnya kita sudah punya peta terkait gempa-gempa itu?
Gempa itu sudah dipetakan lah sama pusat, dengan megathrust, dengan sesar sebesar itu, tentu pergerakannya juga tinggi. Kita tahu, tapi kapan terjadinya dan besarnya, kita nggak tahu. Gempa tidak mengenal batas administrasi, suka-suka dia aja, nggak pakai KTP. Kalau bangunan kuat, ya gempa-gempa aja.
Apalagi poin penting yang harus diperhatikan untuk memitigasi dampak dari gempa ini?
Pendidikan masyarakat. Tentang bagaimana mengantisipasi, bagaimana membangun infrastruktur yang baik. Kalau diceritain, Cianjur nggak nyaman ya, kok roboh sedemikian hebatnya. Bukan faktor alamnya, karena Magnitudo gempanya tergolong kecil, tapi masif korbannya luar biasa.
Maksudnya bagaimana?
Itu (peta gempa) dipakai enggak sebagai Perda? Kalau bangun di sini harus begini. Izin kan pengawasan. Ada syarat itu nggak di Perda?
Karena yang membunuh itu bikinan manusianya. Bukan alamnya. Saya sering bilang kalau alam itu tuan rumahnya, kita ini tamunya. Kita harus menghormatinya. Misalnya, jam segini tuan rumah lagi sholat, kita jangan ketuk-ketuk dulu.
Jadi, riset kita tentang potensi gempa dan bencana lainnya, sudah maksimal?
Terus terang, kepedulian kita sampai sekarang untuk riset itu lebih kecil dari penghasilan mie instan, jauh. Ya gimana. Tanpa tahu bagaimana ancamannya, kita enggak tahu antisipasinya.
Presiden kan sangat concern terhadap isu ini.
Apa komentar Bapak?
Kasihan juga Presiden tiap tahun Rakornas Penanggulangan Bencana, kasih arahan. Tapi kalau melihat kondisi kita saat ini, dibandingkan dengan tahun 2004 gempa tsunami Aceh yang menelan ratusan ribu korban jiwa, Kemudian gempa Nias tahun 2005 sebanyak 1.300 korban jiwa, lalu 2006 gempa di Jogja dengan 5.782 orang meninggal hingga gempa Padang tahun 2009 yang menewaskan 1.117 orang, tapi kita masih tetap sama seperti sekarang juga.Sistem mitigasi kita yang rapuh harus kita cari sendiri. Termasuk masyarakatnya, mau nurut nggak?
Sumber berita rm.id :
Nasional | 1 hari yang lalu
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu
TangselCity | 21 jam yang lalu
Olahraga | 1 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
Galeri | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Galeri | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Galeri | 2 hari yang lalu