Bikin Sengsara Se-Indonesia Dihukum Cuma Setahun, Edan
JAKARTA - Lima terdakwa kasus korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak sawit mentah dan turunannya divonis ringan. Hal ini dinilai tidak memenuhi rasa keadilan.
Koordinator Masyarakat Anti Korupsi (MAKI), Boyamin Saiman kecewa melihat koruptor minyak sawit yang menyengsarakan seluruh rakyat Indonesia dihukum ringan. Vonis tersebut, kata dia, menyakiti rasa keadilan masyarakat.
“Saya meminta Kejaksaan Agung, jaksa penuntut umum (JPU) untuk mengajukan banding,” desaknya.
Boyamin mengungkapkan, para terdakwa terbukti menyalahgunakan wewenang dan menjadikan perekonomian rakyat menjadi kacau balau.
"Hukumannya kok tiga tahun bagi pejabat negara, bagi swastanya hanya 15 tahun, dan lain-lain satu tahun,” kata Boyamin.
Menurut Boyamin, putusan ini tidak sebanding dengan apa yang telah terjadi di masyarakat saat minyak goreng atau migor hilang di pasaran. Saat itu, masyarakat harus berdesak-desakan, mengantre berjam-jam hingga ada korban jiwa karena kelelahan mengantre.
“Ini jadi sangat ironis gitu. Dinyatakan terbukti melanggar Pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi tentang penyalahgunaan wewenang, menimbulkan kerugian negara dan perekonomian negara, tapi hukumannya yang ringan sebagaimana diatur Pasal 5 tentang suap,” ujarnya.
Boyamin berharap lewat sarana banding, hakim di tingkat banding bisa menghukum berat kasus minyak goreng tersebut. Sehingga, terpenuhi rasa keadilan di masyarakat.
“Mudah-mudahan hakim pengadilan banding menyatakan bersalah dan bisa memberikan hukuman yang berat lagi. Maksimal 20 tahun atau seumur hidup,” kata Boyamin.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung (Kapuspenkum Kejagung), Ketut Sumedana mengungkapkan, pihaknya akan mengajukan banding atas putusan hakim tersebut.
"Karena tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat,” ungkapnya.
Menurut Ketut, masyarakat merasakan dampak cukup besar, hingga pemerintah mengeluarkan anggaran triliunan rupiah untuk bantuan langsung tunai (BLT) minyak goreng guna membantu masyarakat terdampak.
"Ini termasuk kerugian negara,” kata Ketut.
Pakar hukum pidana dari Universitas Al-Azhar Indonesia, Suparji Ahmad mengingatkan kembali beberapa poin fakta-fakta persidangan yang dianggap sesuai dengan tuntutan tim JPU. Yaitu, terdakwa telah melakukan perbuatan-perbuatan untuk mempengaruhi kebijakan penerbitan persetujuan izin ekspor CPO (crude palm oil).
Terdakwa telah memanipulasi dokumen yang dijadikan persyaratan memperoleh izin ekspor CPO dan turunannya. Terdakwa atas persetujuan terdakwa lain memberikan sejumlah uang kepada Tim Verifikator Kementerian Perdagangan (Kemendag).
Kemudian, terdakwa secara materiil mengendalikan proses permohonan persetujuan izin ekspor CPO dan turunannya, sementara para direksi ada dalam pengendaliannya. Sehingga, para terdakwa melakukan tindakan yang melebihi tugas dan kewenangannya dalam struktur perusahaan.
“Perbuatan-perbuatan dari para terdakwa tersebut menimbulkan kerugian keuangan negara dan perekonomian negara senilai Rp 19,4 triliun,” ungkap Suparji.
Sementara praktisi hukum Hotman Sitorus menilai, tuntutan jaksa tak mendasar. Kata dia, fakta persidangan menjelaskan semuanya. Bahkan, kata dia, majelis hakim seharusnya menolak tuntutan tersebut.
“Dan mempertimbangkan semua fakta-fakta di persidangan,” kata Hotman.
Menurut Hotman, di dalam persidangan beberapa ahli meragukan adanya kerugian negara, dan JPU pun sulit membuktikan adanya kerugian negara. Sementara, tuntutan uang pengganti biasanya hanya untuk orang yang memperoleh kekayaan dari tindak pidana korupsi itu.
“Uang pengganti hanya bisa diterapkan bagi orang yang memperoleh pertambahan kekayaan dari tindak pidana korupsi,” tegasnya.
Sebelumnya, Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menjatuhkan hukuman kepada para terdakwa kasus minyak goreng lebih rendah dari tuntutan jaksa. Alasannya, kerugian negara tidak terbukti dalam persidangan.
Putusan keempat terdakwa, mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Perdagangan Luar Negeri Kemendag Indra Sari Wisnu Wardhana divonis tiga tahun penjara. Dengan denda Rp 100 juta, subsider dua bulan.
Terdakwa Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia Master Parulian Tumanggor divonis 1,5 tahun penjara, denda Rp 100 juta, subsider dua bulan. General Manager (GM) Bagian General Affair PT Musim Mas Pierre Togar Sitanggang divonis satu tahun penjara, denda Rp100 juta, subsider dua bulan.
Terdakwa Senior Manager Corporate Affair PT Victorindo Alam Lestari Stanley Ma divonis satu tahun penjara, denda Rp 100 juta, subsider dua bulan. Kemudian, terdakwa Lin Chie Wei alias Weibinanto Halim Djati, mantan anggota Tim Asistensi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian divonis satu tahun penjara, denda Rp 100 juta, subsider dua bulan.
Netizen ikut mengungkap kekecewaannya terhadap putusan majelis hakim yang memvonis ringan para terdakwa korupsi ekspor minyak sawit. Hal ini sekaligus menegaskan bahwa penegakkan hukum di Indonesia masih tajam ke bawah tumpul ke atas. rm.id
TangselCity | 1 hari yang lalu
Pos Banten | 1 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Olahraga | 14 jam yang lalu
Olahraga | 1 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 23 jam yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu