Antara Al-Qur’an dan Bible
CIPUTAT - Banyak orang termasuk umat Islam, sering membandingkan antara Islam, Yahudi, Kristen, dan agama-agama lain. Membandingkan antara Nabi Muhammad, Nabi Musa, Nabi Isa, dan tokoh-tokoh agama lain. Membandingkan antara Al-Qur’an, Taurat dan Injil atau Bible, dan kitab-kitab suci agama lain. Membandingkan antara Jibril dan Roh Kudus.
Simplikasi perbandingan seperti ini mungkin bisa memberikan penjelasan struktur Islam, Yahudi, dan Nasrani sebagai sama-sama agama Allah SWT. Akan tetapi jika dikaji lebih mendalam perbandingan tersebut sesungguhnya tidak simetris.
Menurut S.H. Nasr, sesungguhnya Al-Qur’an tidak bisa diparalelkan dengan Bible, tetapi lebih paralel dengan sang Kristus. Kini sudah saatnya kita melakukan pendalaman dan pe ninjauan kembali asumsi-asumsi keagamaan kita selama ini, dengan mengacu dan mengedepankan manusia sebagai tema sentral setiap agama dan Kitab Suci.
Kita perlu menekankan bahwa agama untuk manusia, bukan manusia untuk agama; Kitab Suci untuk manusia, bukan manusia untuk Kitab Suci. Na mun demikian, kita tetap harus memuliakan agama dan Kitab Suci, karena keduanya adalah media untuk menyatukan manusia dengan Tuhannya.
Dalam perspektif Islam, Al-Qur’an sering didefinisikan sebagai kalam Allah (the Speech of God) yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW dengan perantaraan Jibril dan harus kita respek ketika membacanya (al-muta’abbd bi tilawatih). Karena kitab Al-Qur’an adalah suci, maka siapapun tidak boleh menyentuhnya selain dalam keadaan suci, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an: “Tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan” (Q.S. Al-Waqi’ah/56:79).
Keberadaan Al-Qur’an yang menggunakan bahasa Arab menjadi suci karena menjadi alat untuk menyampaikan petunjukNya. Keberadaan bahasa Arab di dalam Al-Qur’an juga menjadi istimewa, bukan saja karena digunakan membahasakan petunjuk-Nya tetapi juga menjadi bahasa ritual dalam agama Islam. Sebagai contoh, tidak sah shalat seseorang jika menggunakan bahasa lain selain bahasa Arab.
Sebagus apa pun sebuah terjemahan Al-Qur’an tidak bisa digunakan di dalam shalat. Teologi bahasa Arab dalam Al-Qur’an akan diba has tersendiri dalam artikel mendatang.
Jika dalam Islam kata-kata Tuhan (Kalam Allah) adalah Al-Qur’an, maka dalam tradisi Kristen, Kristuslah yang menjadi kata-kata-Nya. Alat atau media yang digunakan untuk me nyampaikan petunjuk-Nya ialah Maryam. Sedangkan petunjuk atau yang menjadi kata-kataNya ialah Kristus.
Pandangan seperti ini bisa dihubungkan dengan dua ayat dalam Al-Qur’an sebagai berikut: Sesungguhnya Al Masih, Isa putra Maryam itu, adalah utusan Allah dan kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dariNya. (Q.S. Al-Nisa’/4:171).
Ingatlah), ketika Malaikat berkata: “Hai Maryam, sesungguhnya Allah menggembirakan kamu (dengan kelahiran seorang putra yang diciptakan) dengan kalimat (yang datang) daripada-Nya, namanya Al Masih Isa putra Maryam, seorang terkemuka di dunia dan di akhirat dan termasuk orangorang yang didekatkan (kepada Allah). (Q.S. Ali ’Imran/3:45).
Kedua ayat tersebut di atas menyatakan Al-Masih, ’Isa ibn Maryam sebagai ”Kalimat” atau Kalam-Nya. Bandingkan dengan Islam yang menjadi Kalam-Nya ialah Al-Qur’an. Jika mengikuti persepsi tradisi Kristen, maka padanan Al-Qur’an sesungguhnya ialah Kristus, bukan Bibel, karena Kristuslah yang menjadi kalam-Nya. Nabi Muhammad SAW lebih tepat dihubungkan dengan Maryam. Nabi Muhammad adalah media atau alat kehadiran Al-Qur’an dan Maryam juga sebagai media atau alat untuk kehadiran Kristus.
Jika dalam Islam dipersepsikan Nabi Muhammad haruslah buta huruf (ummy) untuk menghilangkan kesan Al-Qur’an sebagai kalam-Nya. Sama dengan Maryam harus dipersepsikan perawan untuk mensucikan Kristus sebagai kalam-Nya. Kapan Nabi Muhammad ahli membaca dan menulis akan memunculkan keraguan bahwa Al-Qur’an kreasi Nabi Muhammad. Pada saat yang sama, kapan Maryam tidak perawan maka bisa menggugurkan kesucian Kristus sebagai Kalam-Nya.
Jika Petunjuk itu berupa ”manusia” (Kristus) maka kemurniannya dilam bangkan dengan keperawanan Maryam. Jika petunjuk itu berupa sesuatu yang bersifat verbal (Kitab) maka kemurniannya dilambangkan dengan kebutahurufan Nabi Muhammad.
Semestinya orang tidak merendahkan keberadaan Nabi Muhammad sebagai orang buta huruf (ummy) kemudian dari padanya lahir Al-Qur’an suci, seperti sering dila kukan kalangan orientalis. Lebih ironis lagi jika yang lakukan hal itu kaum Kristiani karena itu berarti melakukan hal yang sama terhadap Bunda Maryam sang Perawan tetapi bisa melahirkan Kristus.
Secara logika, kita tidak bisa menerima Maryam sebaga sang Pera wan tetapi menolak keberadaan Nabi Muhammad sebagai buta huruf.
Inilah logika dan teologi di balik misteri Petunjuk Tuhan. Kebutahurufan Nabi Muhammad dalam menerima Al-Qur’an dan keperawanan Maryam mengandung Kristus melambangkan manusia sama sekali pasif di hadapan Allah SWT.
Manusia, baik laki-laki maupun perempuan tidak bisa menolak takdir Tuhan seperti apapun keadaan dirinya. Inilah maksud dari ayat: Maryam berkata: “Ya Tuhanku, betapa mungkin aku mempunyai anak, padahal aku belum pernah disentuh oleh seorang laki-laki pun.”
Allah berfirman (dengan perantaraan Jibril): “Demikianlah Allah menciptakan apa yang dikehendakiNya. Apabila Allah berkehendak menetapkan sesuatu, maka Allah hanya cukup berkata kepadanya: “Jadilah”, lalu jadilah dia. (Q.S. Ali ’Imran/3:47).
Kebutahurufan Nabi Muhammad dilukiskan dalam ayat: (Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang buta huruf (ummy) yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang makruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka.
Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Qur’an), mereka itulah orang-orang yang beruntung. (Q.S. Al-A’raf/7:157).
Verbalisasi petunjuk Allah dalam bentuk Kitab Al-Qur’an yang meng gunakan bahasa Arab menempat kan posisi bahasa ini bukan hanya sebagai bahasa petunjuk ajaran Islam tetapi juga sebagai bentuk lahir dari Al-Qur’an itu sendiri.
Bahkan keberadaan bahasa Arab menurut S.H. Nasr dapat disejajarkan dengan tubuh Kristus. Kemuliaan bahasa Arab bukan sebagai bahasa kultural atau bahasa ilmiah tetapi karena menjadi bagian integral dari Al-Qur’an. Bahasa Arab menjadi semacam lokus manifestasi Kalam Allah.
Untuk hal-hal yang bersifat kultural-psikologis mungkin bahasa Persi yang tidak kalah menariknya, untuk bahasa ilmiah mungkin ada bahasa Inggeris atau bahasa Eropa lainnya lebih kaya dengan vocab ilmiahnya, akan tetapi bahasa Arab menjadi lebih penting karena sekaligus menjadi bahasa ritual keagamaan dalam tradisi Islam. Sejumlah ibadah dan ritus keagamaan tidak sah atau batal kalau menggunakan bahasa selain bahasa Arab.
TangselCity | 2 hari yang lalu
Pos Tangerang | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Pendidikan | 2 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu