Mau Tiru Sistem Pendidikan Negara Lain
Calon Dokter Spesialis Mestinya Nggak Bayar
JAKARTA - Kemenkes membandingkan sistem pendidikan dokter spesialis di Indonesia. Di negara lain, para calon dokter itu dibayar. Sebaliknya, di sini, para calon dokter itu justru membayar.
Mereka harus membayar uang kuliah ke Fakultas Kedokteran (FK) di universitas masing-masing.
“Kalau di negara-negara lain pendidikan dokter spesialis adalah dokternya mendapatkan bayaran dan tidak bayar uang kuliah ke FK,” ujar Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin di Jakarta, kemarin.
Sepengetahuan Budi, negara-negara lain tidak mewajibkan calon dokter spesialis untuk membayar ke perguruan tinggi.
Namun, Indonesia satu-satunya negara di dunia yang dokter spesialisnya membayar uang kuliah ke FK.
"Tidak ada di dunia yang dokter spesialis itu harus bayar uang kuliah ke FK. Itu yang selalu saya kejar,” cetusnya.
Diingatkan eks Direktur Utama Bank Mandiri ini, sistem pendidikan seperti ini akan berdampak secara sistemik.
“Itu yang menyebabkan ini (pendidikan dokter spesialis) jadi mahal dan kurang,” tuturnya.
Eks Direktur Utama PT Inalum (Persero) ini mengatakan, satu solusi yang ingin diterapkan Budi adalah pendidikan dokter spesialis yang tadinya university based berubah menjadi college based (atau berbasis hospital based) atau kombinasi keduanya.
"Saya minta sekarang coba ambil best practice (praktik terbaik). Please do understand the reason behind (tolong mengerti alasan di baliknya) dan saya boleh di-challenge,” imbuhnya.
Dari informasi yang didapat, pendidikan dokter spesialis sekarang sangat mahal dan sulit. Hal ini didengarnya dengan menanyakan kepada para dokter spesialis.
“Nggak pernah ada dokter yang bilang masuk jadi dokter spesialis itu murah dan gampang, nggak ada. Saya tanya 100 dokter, 200 dokter yang jawab malah bilang sulit dan mahal,” selorohnya.
Budi mencontohkan jumlah lulusan dokter spesialis di Indonesia. Rata-rata 10 tahun terakhir 2.900. Kalau rata-rata 4 tahun jalan di saat yang sama maka ada 12.000 dokter untuk 270 juta populasi.
Dia membandingkan dengan jumlah dokter di Inggris. Data Royal College London mencatat, ada 60.000 dokter untuk 60 juta orang.
“Kita 270 juta penduduk, running-nya tuh cuman 12.000 dokter spesialis, kita enggak bisa kejar,” tegasnya.
Sebaliknya, kalau tetap dibuat university based, menurut Budi, Indonesia tidak akan bisa mengejar kebutuhan dokter spesialis.
Meski demikian, untuk saat ini Kemenkes berupaya meningkatkan ketersediaan dokter spesialis. Pemenuhan ini dilakukan karena jumlah dokter spesialis masih sangat kecil jika dibandingkan dengan dokter umum.
Salah satu negara yang ingin ditiru Budi dalam mengejar jumlah dokter adalah Inggris. Inggris mempunyai rencana kebutuhan dokter dalam 10 tahun ke depan.
Artinya, terdapat target berapa jumlah dokter yang harus dipenuhi tiap tahunnya selama 10 tahun ke depan dan jenis dokter apa yang dibutuhkan pada tahun-tahun mendatang.
“Soal rencana kebutuhan dokter dan rencana produksinya, saya setuju sekali itu. Itu bagus. Saya sekarang sudah lihat, kami jalan (berkunjung) ke Royale College London, kami minta mereka jadi konsultan,” pungkasnya. rm.id
TangselCity | 1 hari yang lalu
Olahraga | 22 jam yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
TangselCity | 13 jam yang lalu
TangselCity | 17 jam yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu