Makna Iqra’ Ketiga
CIPUTAT - Jika pada Iqra’ kedua menekankan makna harfiah atau makna literer, maka makna Iqra’ ketiga ini lebih mendalam lagi, yaitu bagaimana memahami makna yang tersirat di dalam teks.
Pemahaman dalam level ini sudah memasuki kesadaran emosional, yakni bagaimana menghayati dan merasakan secara emosional kedalaman makna ayat-ayat Al-Qur’an.
Diharapkan orang-orang yang sudah berada dalam level ini sudah memahami makna Isyarah Al-Qur’an secara komprehensif. Bahkan diharapkan bukan saja memahami tetapi sudah mampu merasakan fibrasi energi ayat demi ayat Al-Qur’an.
Dalam level Iqra’ ketiga, bukan hanya sang qari’ mencintai Al-Qur’an tetapi yang bersangkutan sudah merasakan fibrasi cinta Al-Qur’an di dalam dirinya.
Dengan demikian, antara sang qari’ dan maqru’ sudah saling mencintai satu sama lain. Ia merasakan kerinduan mendalam terhadap Al-Qur’an. Seolah-olah jika sehari tidak membaca Al-Qur’an ada sesuatu yang kurang di dalam dirinya. Cintanya terhadap Al-Qur’an termanifestasi di dalam suasana jiwa, pikiran, dan prilaku sehari-hari.
Bagi orang yang berada di dalam level Iqra’ ketiga, sudah memiliki kemudahan untuk mengakses sentuhan-sentuhan lembut (lathaif) Al-Qur’an. Ia seolah-olah merasa ada sosok yang senantiasa membimbing sehingga mampu merasakan makna batin dan spiritual Al-Qur’an.
Pengalaman spiritual yang bersangkutan seperti merasa dibimbing langsung oleh Rasulullah SAW atau Allah SWT secara langsung meletakkan pemahaman di dalam benaknya tentang makna spiritual ayat-ayat yang dibaca. Dalam tradisi tasawuf, inspirasi cerdas yang tiba-tiba muncul di dalam batin disebut ilham (acquiring knowledge).
Ayat tersebut di atas mengisyaratkan adanya kemungkinan seseorang mendapatkan “bisikan Ilahi” (divine inspirations) dalam memahami makna batin Al-Qur’an.
Untuk mendapatkan divine information ini tentu tidak mudah. Diperlukan perjalanan spiritual (suluk) yang tidak singkat dengan ketelatenan upaya sungguh-sungguh (mujahadah) untuk mencapai maqam spiritual ini.
Mungkin orang itu belum memahami persyaratan menjadi seorang mufassir, karena mungkin belum menguasai Bahasa Arab, namun jika Tuhan menghendaki dan berkenan memberikan apresiasi terhadap hambanya yang senantiasa bermunajat untuk memahami rahasia-rahasia-Nya, maka tidak ada kesulitan bagi Allah SWT memberikan pemahaman makna ísyarah dan lathaif kepada kekasih-Nya.
Mungkin inilah yang dimaksud Nabi dalam hadis shahihnya: “Barangsiapa yang dikehendaki Allah dengan kebaikan maka Allah menjadikannya ia pandai mengenai agama dan ia diilhami petunjuknya.” (HR. Muttafaq ‘alaihi).
Yang pasti ialah siapapun yang akan mengakses Iqra’ ketiga, ia harus berada dalam suasana lahir-batin yang bersih (thaharah) dan dalam suasan cinta (mahabbah/in-loving). Suasana batin seperti inilah yang akan mengundang keajaiban.
Perhatikan ayat di atas, untuk mendapatkan bimbingan langsung dari rasul-Nya terlebih dahulu harus berada dalam kesucian (tadzkiyah). Setelah itu baru bisa meningkat ke proses pendalaman (ta’lim). Dengan kata lain, sebelum melakukan proses ta’lim terlebih dahulu harus melakukan proses tadzkiyah.
Banyak cara Tuhan menurunkan ilham kepada hambanya. Bisa dalam bentuk deduksi akal yang sangat cerdas dan cepat, bisa juga dalam bentuk mimpi-mimpi. Seperti kita tahu, mimpi itu bermacam-macam, ada mimpi dalam bentuk hilm, manamat, ru’yah, waqi’iyyah, dan mukasyafah (sudah pernah dibahas dalam artikel terdahulu).
Pengalaman spiritual para orang terdekat Tuhan (auliya’) banyak sekali mendapatkan pelajaran dari guru-guru yang tidak berwujud (impersonal teachers). Ada yang diajar langsung oleh Rasulullah SAW, seperti pengalaman mistis Imam Al-Gazali dan Ibn ‘Arabi.
Jika kita membaca biografi intelektual para mufassir tersohor (mu’tabarah), sebagian di antaranya mendapatkan pelajaran (insight) dari hal-hal yang di luar kerja-kerja akal (la majal li al-‘aql).
Suatu saat ketika penulis melakukan penelitian ke sejumlah penulis tafsir terkemuka, ternyata ada hal-hal yang sangat istimewa bagi mereka.
Sebagai contoh, ketika penulis mengunjungi kediaman Syekh Thaba’taba’i, penulis Tafsir Al-Muzan, subuah kitab tafsir Syi’ah paling sering dirujuk oleh ulama Sunny.
Muridnya bercerita suatu ketika kesulitan memahami makna sebuah ayat, di malam hari tiba-tiba mendapatkan penjelasan dari ranting pohon yang menjulur di depan jendela kamarnya.
Pengalaman ini mengingatkan kita kepada Nabi Musa as yang juga pernah mendapatkan pelajaran dari pohon: Maka tatkala Musa sampai ke (tempat) api itu, diserulah dia dari (arah) pinggir lembah yang diberkahi, dari sebatang pohon kayu, yaitu:
"Ya Musa, sesungguhnya aku adalah Allah, Tuhan semesta alam. (Q.S. al-Qashah/28:30).
Agak berbeda sedikit dengan Nabi Sulaiman yang mendapatkan pelajaran dari burung: Dan Sulaiman telah mewarisi Daud, dan dia berkata:
"Hai Manusia, kami telah diberi pengertian tentang suara burung dan kami diberi segala sesuatu. Sesungguhnya (semua) ini benar-benar suatu karunia yang nyata". (Q.S. al-Naml/27:16).
Olahraga | 1 hari yang lalu
Pos Tangerang | 3 jam yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
Galeri | 13 jam yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu