Menjaga Kedaulatan (Data) Warga Negara
KASUS kebocoran data semakin marak terjadi. Sepanjang tahun 2022 tercatat berbagai kasus yang menerpa beberapa lembaga/organisasi besar sekaligus ternama. Bahkan diantaranya tidak tanggung-tanggung, seperti pada kasus bocornya seratusan juta data kependudukan warga Indonesia — yang kemudian disinyalir dijual secara online.
Agaknya seperti tidak cukup di tahun lalu, belakangan isu kebocoran data juga menimpa pada salah satu lembaga keuangan di Indonesia. Ada belasan juta data nasabah yang diterpa ‘ancaman’ akan disebarkan.
Terlepas apa motif sebenar dari hadirnya perilaku pembocoran data itu. Atau pun, terlepas dari mana sumber asal data itu, tapi yang pastinya kebocoran data ini (juga data sebelumnya) masih menjadi ‘PR’ besar di tengah upaya kita untuk terus menjaga kedaulatan negara.
Oleh karenanya, hadirnya undang-undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) yang telah disahkan pada Oktober tahun lalu itu patut disambut baik. Setidaknya ini merupakan bentuk sadar dari pemerintah dengan segala stakeholdernya untuk bertanggung jawab atas data warganya.
Sebagai warga negara yang sekaligus netizen, ada kewajiban untuk mengetahui beberapa larangan yang telah diatur dalam undang-undang tersebut. Dalam pasal-pasal yang mengatur larangan penggunaan data pribadi (pasal 65 dan 66), setidaknya ada beberapa poin penting yang harus diketahui dan dipahami bersama.
Tentunya larangan-larangan ini dibuat agar kita bisa merasa terlindungi. Diantara larangan-larangan tersebut adalah:
Pertama, setiap orang dilarang secara melawan hukum memperoleh atau mengumpulkan Data Pribadi yang bukan miliknya dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain yang dapat mengakibatkan kerugian subjek data pribadi.
Kedua, setiap orang dilarang secara melawan hukum mengungkapkan data pribadi yang bukan miliknya.
Ketiga, setiap orang dilarang secara melawan hukum menggunakan data pribadi yang bukan miliknya.
Keempat, setiap orang dilarang membuat data pribadi palsu atau memalsukan Data Pribadi dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain yang dapat mengakibatkan kerugian bagi orang lain.
Kemudian, setiap larangan-larangan tersebut juga diperkuat dengan hadirnya sanksi-sanksi. Diantar sanksi tersebut adalah dipidana dengan penjara paling lama 4 - 6 tahun tahun atau dengan denda paling banyak 4 - 6 miliar rupiah.
Dengan aturan-aturan yang telah termaktub imni, kita berharap UU ini bisa berpihak kepada setiap data warga negara Indonesia. Kepemilikan data tidak lagi marak untuk disalahgunakan. Demikian juga bagi organisasi atau perusahaan yang berhubungan dengan data warga, akan menjadi ‘cambuk’ untuk terus menjaga sekaligus meningkatkan keamanan data yang dikelolanya.
Terakhir, hadirnya peran pemerintah yang berikhtiar melindungi data warganya juga harus disambut dengan kesadaran setiap warganya sendiri untuk peduli dengan data pribadinya. Apalagi kelak setiap ‘proses’ data harus ada persetujuan dari pemilik data yang bersangkutan.
Salah satu langkah sebagai individu pemilik data adalah mulai melakukan peningkatan kapasitas diri dalam literasi digital. Kepiawaian tidak hanya mencangkup kemampuan dalam mengoperasikan segala perangkat digital yang ada, jauh lebih penting dan tidak bisa diabaikan adalah terkait dengan digital safety.
Menurut Menkominfo, saat ini sudah 136 negara yang memiliki regulasi terkait perlindungan data pribadi atau yang dikenal dengan General Data Protection Regulation (GDPR). Sementara itu, di ASEAN baru 4 negara dan Indonesia akan menjadi negara ke-5.
Di tengah gemuruhnya perkembangan teknologi yang kemudian berdampak pada segala aspek semestinya membuat kita juga semakin sadar bahwa banyak konsekuensi logis yang timbul. Dengan demikian, kita tidak hanya menjadi penikmat yang kemudian selalu terjebak pada efek negatif yang ditimbulkan.
Kita semua berharap, semoga hadirnya payung hukum PDP ini berdampak dengan tidak ada lagi bermunculan praktik penyalahgunaan data pribadi. Sebagaimana yang sering kita dengar. Sebagaimana yang kadang kita juga pernah menjadi korbannya.
Salah satu hal yang sangat ditunggu-tunggu tersebut, di samping memperkuat keamanan data yang ada, tentulah terkait dengan keberanian pemerintah dalam melakukan tindakan-tindakan atas pelanggaran yang terjadi.
Mengutip apa yang pernah diungkap oleh Rektor UNHAN: “Kedaulatan negara di ruang maya (cyber sovereignty) harus dapat dicapai melalui kedaulatan data (data sovereignty).”
Mari kita kawal bersama agar hadirnya legalitas mengenai perlindungan data pribadi ini benar-benar melindungi (data) setiap warga negara Indonesia. Semoga!
Pos Tangerang | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Pendidikan | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 22 jam yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu