Bos Bawaslu Kembali Kasih Warning
Ingat, Politik Uang Haram!
JAKARTA - Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Rahmat Bagja mengingatkan kembali bahwa politik uang (money politic) hukumnya haram. Dia menegaskan, hukum haram politik uang sesuai dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI).
“Fatwanya sudah ada. Hanya saja, fatwa ini kurang disebarkan di ceramah, khotbah. Kami akan segera berkoordinasi dengan MUI untuk memasifkan sosialisasi terkait fatwa tersebut,” kata Bagja di Jakarta, kemarin.
Dia berharap, sosialisasi fatwa politik uang hukumnya haram secara masif dapat menekan potensi politik uang pada Pemilu 2024. Pasalnya, saat ini fatwa tersebut tidak tersosialisasikan dengan baik dan masif.
“Itu problemnya,” tegas Ketua Umum Senat Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia 2001-2002 ini.
Bagja mengatakan, pengawasan yang dulu aktif di masa tenang akan ditarik ke masa kampanye. Karena sejatinya, politik uang terjadi pada saat masa kampanye, masa tenang dan pencoblosan. “Setelah hari H, jarang politik uang,” tutur Bagja.
Ketua MUI Bidang Fatwa Asrorun Niam Sholeh mengatakan, pihaknya akan mensosialisasikan kembali bahwa fatwa politik uang hukumnya haram kepada umat Islam di Indonesia. Hal ini merupakan wujud tanggung jawab ulama dalam mendukung hadirnya demokrasi yang berkualitas di Tanah Air.
“Fatwa itu ditetapkan sebagai wujud tanggung jawab sosial keulamaan dalam mewujudkan demokrasi yang berkualitas,” ujar Niam.
Sebelumnya, fatwa mengenai politik uang ditetapkan berdasarkan Musyawarah Nasional VI MUI yang berlangsung pada tanggal 23-27 Rabi’ul Akhir 1421 Hijriah atau 25–29 Juli 2000 dengan pembahasan tentang suap (risywah), korupsi (ghulul) dan hadiah kepada pejabat.
Dalam musyawarah itu, MUI menyampaikan suap, uang pelicin, politik uang dan lain sebagainya dapat dikategorikan sebagai risywah apabila tujuannya untuk meluluskan sesuatu yang batil atau membatilkan perbuatan yang hak. MUI lantas menyepakati hukum memberikan risywah dan menerimanya adalah haram.
“Politik uang termasuk mahar politik dan memberikan imbalan dalam bentuk apapun adalah haram,” ujar Ketua Umum MUI saat itu, Ma’ruf Amin.
Dia mengatakan, memberikan sesuatu dalam bentuk apa pun tidak dibolehkan karena memilih merupakan kewajiban setiap warga negara yang memenuhi syarat sebagai pemilih.
Dia menekankan, jika pemilih diarahkan untuk memilih orang lain dan dibayar, hukumnya haram.
Keduanya, baik orang yang diberi maupun pemberi melakukan perbuatan yang tidak dibenarkan.
“Perbuatan memberi itu tidak benar dan menerima juga tidak boleh karena tergolong haram. Apalagi pilihan bukan diarahkan kepada orang berkompeten di bidangnya,” ujar Maruf.
Menurut dia, permintaan dan atau pemberian imbalan dalam bentuk apapun terhadap proses pencalonan seseorang sebagai pejabat publik hukumnya haram dan termasuk risywah (suap). “Apalagi jika itu menjadi tugas, tanggung jawab, dan kewenangannya,” kata dia.
Kemudian, meminta imbalan kepada seseorang yang akan diusung atau dipilih sebagai calon anggota legislatif, kepala daerah dan jabatan publik, padahal itu tugasnya maka hukumnya haram.
Bahkan, imbalan yang telah diberikan dalam proses pencalonan atau pemilihan suatu jabatan tertentu bisa dirampas dan digunakan untuk kepentingan maupun kemaslahatan umum.
Nasional | 2 hari yang lalu
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Galeri | 2 hari yang lalu
Pos Tangerang | 1 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu