TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers SinPo

Pendidikan Masih Banyak Masalah

Duh, Ada Daerah Darurat Guru

Oleh: Farhan
Sabtu, 05 Agustus 2023 | 10:40 WIB
Foto : Ist
Foto : Ist

JAKARTA - Senayan menemukan beragam persoalan di sektor pendidikan di berbagai daerah. Problem yang mengemuka salah satunya soal jumlah dan kompetensi guru yang masih terbilang minim.

Anggota Komisi X DPR Muhammad Nur Purnamasidi menuturkan, saat ini guru dituntut meningkatkan kompetensi, profesionalitas, dan transformasi menghadapi tantangan di sektor pendidikan. Namun sayang, jumlah guru yang berkualitas saat ini sangat terbatas.

Muhammad Nur lalu menying­gung jumlah guru di daerah pemilihannya, Lumajang, Jawa Timur. Lumajang termasuk daerah darurat guru dan tenaga pendidik dengan 1.600 lebih kuota guru yang kosong.

Baca juga : Apresiasi Batik Nasabah PNM Diapresiasi Jokowi Di GBN 2023

Sementara, formasi yang sudah ditetapkan sebagai Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) masih sangat rendah, yakni di kisaran 282 kuota guru pada Juli 2023.

“Hal itu menjadi perhatian stakeholder dan harus kita evaluasi bersama agar sektor Pendidikan di Lumajang menjadi lebih baik lagi ke depan,” kata Purnamasidi di Lumajang, kemarin.

Dia bilang, guru diharapkan tidak sekadar mampu melakukan transfer ilmu pengetahuan dan teknologi kepada anak didiknya. Guru juga mesti memberikan ruang terbangunnya kreativitas, inovasi dan mengoptimalkan potensi yang dimiliki para siswa.

Karena itu, sangat penting mengintegrasikan teori yang ada dengan praktik atau realitas yang terjadi di lingkup sosial masyarakat.

“Dalam Merdeka Belajar, proses belajar mengajar tidak hanya di ruang sekolah, juga harus disinergikan dengan ber­bagai komunitas sosial yang ada,” ujarnya.

Makanya, dia berpandangan, hadirnya platform digital dalam dunia pendidikan merupakan hal yang tidak bisa dihindari. Bahkan menjadi keniscayaan dengan kemajuan dan perubahan yang cepat dan eskalatif di bidang Ilmu pengetahuan serta teknologi.

Politisi Fraksi Golkar ini juga mengkritisi otonomisasi pen­didikan yang menyisakan berbagai problem dalam pelaksanaannya. Salah satunya, da­lam hak kebijakan atau politik ­anggaran pendidikan yang masih timpang.

Pemerintah Daerah (Pemda) dalam pengajuan Dana Alokasi Umum (DAU) maupun Dana Alokasi Khusus (DAK) melalui aplikasi ‘Krisna’ lebih fokus melakukan pembenahan sarana prasarana pendidikan.

Sementara, peningkatan kualitas sumber daya manusia belum sepenuhnya menjadi prioritas utama.

Aplikasi Krisna merupakan aplikasi dari hasil kolaborasi pe­rencanaan dan informasi kinerja anggaran dengan mengintegrasikan sistem dari tiga kementerian. Yakni, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas, Kementerian Keuangan (Kemenkeu), dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB).

“Yang terjadi malah Pemda seolah memiliki visi yang berbeda, bahkan bertolak belakang dengan visi Pemerintah pusat,” ujarnya.

Kondisi ini pula, lanjut dia, yang membuat otonomisasi pendidikan menjadi sebuah ironi. Karena itu, revisi ­Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendi­di­kan Na­sional mengusulkan sektor pendidikan dikembalikan menjadi urusan dan kewenangan Pemerintah pusat.

“Harapannya, pemerataan pendidikan dan standar kualifikasinya lebih jelas, terukur, transparan serta akuntabel. Bukan berdasar pada vested inte­rest (kepentingan pribadi) masing-masing kepala daerah,” tambah dia.

Wakil Ketua Komisi X DPR DPR Hetifah Sjaifudian angkat bicara terkait penjualan buku paket sekolah yang diwajibkan sejumlah sekolah kepada para siswa di berbagai daerah. Dia meminta agar hal ini dilakukan secara transparan dan terbuka.

Hal itu meliputi penggunaan dana untuk berbagai kebutuhan sekolah, seperti seragam, buku paket dan sarana prasarana,” ujar Hetifah.

Anggota DPR daerah pemi­lihan Kalimantan Timur ini menilai, program subsidi silang diperluas. Pungutan yang berbeda-beda dapat disesuaikan dengan kemampuan ekonomi orang tua. Dengan demikian, pendidikan akan lebih inklusif dan kesenjangan antara siswa dapat dikurangi.

Apalagi dalam konstitusi menegaskan adanya kewajiban Pemerintah membiayai pendidikan dasar.

“Dana dari APBN maupun APBD harus diprioritaskan ­untuk mencapai kesetaraan dalam pendidikan,” tegasnya.

Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
sinpo
sinpo
sinpo