Ada 9,9 Juta Gen-Z Menganggur
JAKARTA - Tingkat pengangguran di kalangan anak muda berusia 15-24 tahun atau Generasi Z (Gen-Z) masih tergolong tinggi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, sebanyak 9,9 juta dari 44,47 juta atau 22,25 persen anak muda usia 15-24 tahun di Indonesia, tidak beraktivitas produktif pada Agustus 2023.
Sebanyak 22,25 persen anak muda usia 15-24 tahun di Indonesia, masuk dalam kategori Not in Employment, Education and Training (NEET) alias tidak bersekolah, tidak bekerja, dan tidak sedang mengikuti pelatihan. Situasi ini perlu mendapat perhatian khusus. Salah satunya dengan percepatan pembukaan lapangan kerja baru.
Menanggapi data tersebut, Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara mengatakan, peran masyarakat dalam penciptaan dunia kerja, berpengaruh besar terhadap pendapatan atau daya beli anak muda berusia 15-24 tahun alias Gen-Z. Sebab, jika masyarakat produktif tidak memperoleh pendapatan, akan berdampak pada penerimaan negara.
“Hal tersebut akan mempengaruhi, atau memperkecil potensi Pajak Penghasilan (PPh) yang masuk kas negara. Karenanya, kami menginginkan seluruh elemen masyarakat aktif di dunia kerja, dan menghasilkan pendapatan. Dengan begitu, bisa menghasilkan penerimaan untuk kesejahteraan mereka sendiri,” ujarnya di Jakarta, Jumat (17/5/2024).
Lebih lanjut, Suahasil mengatakan, Pemerintah akan terus memantau perkembangan serapan tenaga kerja dari waktu ke waktu. Selain itu, Pemerintah juga akan terus situasi perekonomian, seperti di pasar tenaga kerja, di masyarakat, serta berbagai sektor perekonomian lainnya.
Terpisah, pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia (UI) Ninasapti Triaswati menyatakan, pertumbuhan Indonesia di kisaran 5 persen, tidak serta merta mendorong penciptaan lapangan kerja.
Menurut dia, hal itu tidak lepas dari prioritas pengembangan sektor manufaktur berbasis tambang, yang sedikit menyerap tenaga kerja.
Sementara, sambung dia, industri padat karya, seperti industri tekstil dan alas kaki, tengah menghadapi gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
“Angka pengangguran yang tinggi ini, akan memberatkan ekonomi. Sebab, hal tersebut berkaitan dengan penerimaan pajak dan pencapaian target pertumbuhan ekonomi,” jelas Nina.
Dia juga mendorong Pemerintah melakukan penyerapan tenaga kerja formal, serta meningkatkan kinerja sektor yang potensial menyerap lapangan kerja, salah satunya sektor pertanian.
Menurut dia, lapangan kerja yang ada saat ini membuat generasi muda susah masuk, karena ketatnya persaingan teknologi.
“Saat ini, sektor yang berkembang pesat, mendorong adanya otomatisasi. Baik di sektor perbankan, ritel, e-commerce,” ujar dia.
Sebelumnya, Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR Obon Tabroni mendesak Pemerintah segera membuat program konkret untuk mengatasi pengangguran.
“Persoalan ini harus segera diselesaikan. Seluruh instansi terkait harus membuat program konkret, untuk mengatasi persoalan,” ujarnya.
Obon menambahkan, selain banyaknya generasi muda yang menganggur, situasi ketenagakerjaan di Indonesia juga diwarnai dengan maraknya PHK. Pada awal 2024, banyak PHK di berbagai perusahaan, sebagian besar dari perusahaan manufaktur.
“Situasi menjadi semakin sulit, karena warga yang terkena PHK sulit mendapat pekerjaan baru. Saat ini, ada Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), jaminan sosial berupa uang tunai, informasi pasar kerja dan pelatihan untuk pekerja atau buruh yang mengalami PHK, tapi pelaksanaannya belum maksimal,” jelasnya.
Di media sosial X, netizen juga mengeluhkan susahnya mencari pekerjaan. Akun @cuanforever menyatakan, angka pengangguran harusnya bisa ditekan dengan cara-cara antisipatif.
“Tiap tahun, jumlah pertumbuhan pencari kerja lebih besar dibanding pertumbuhan lapangan kerja yang tersedia. Sementara, investor asing enggan masuk, dan kurangnya entrepreneur baru. Lapangan kerja lambat bertambah, dan pengangguran semakin tinggi,” tulisnya.
Akun @Rziwang menuturkan, banyaknya pengangguran disebabkan persyaratan lowongan kerja yang susah dipenuhi. Mulai dari tingkat pendidikan, pengalaman, hingga beban kerja.
“Mana ada batasan usia pula. Di luar negeri setua apapun asal masih produktif masih dipake tuh. Di sini semuanya minta yang penampilan menarik, masih muda, dan single,” sebutnya.
Sementara, akun @kngmj menilai, tingginya angka pengangguran Gen-Z lantaran banyak yang tidak memiliki ijazah sarjana.
“Faktanya, lulusan SMK menjadi penyumbang pengangguran tertinggi. Sebab, kompetensi mereka tidak sesuai kebutuhan industri. Makanya, banyak yang berjuang untuk kuliah S1, mengejar peluang kerja yang lebih luas,” cuitnya.
Namun, akun @adie_rew berpendapat, ijazah sarjana tidak menjamin mudah mendapatkan pekerjaan.
“Mau sarjana atau yang belum lulus, hanya mengundur status pengangguran. Saat ini, pendidikan tidak lagi bisa menjanjikan masa depan. Banyak yang berpendidikan tinggi, tapi tidak memperoleh pekerjaan. Gelar sarjana hanya masalah status sosial, tanda orang itu pernah kuliah,” sentilnya.
Akun @rafindomie menerangkan, adanya lingkaran setan yang mengakibatkan angka pengangguran susah berkurang.
“Biaya kuliah semakin mahal, kuliah makin susah, angka pengangguran meningkat, lantas pemasukan negara dari pajak penghasilan menurun. Nanti Pemerintah bingung dengan kebijakannya sendiri,” urainya.
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Olahraga | 1 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Selebritis | 2 hari yang lalu
TangselCity | 17 jam yang lalu
Pos Banten | 1 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu