TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers

Ada 9,9 Juta Gen-Z Menganggur

Oleh: Farhan
Editor: admin
Senin, 20 Mei 2024 | 08:55 WIB
Gen Z sedang antri di Bursa Loker. Foto : Ist
Gen Z sedang antri di Bursa Loker. Foto : Ist

JAKARTA - Tingkat pengangguran di kalangan anak muda berusia 15-24 tahun atau Generasi Z (Gen-Z) masih tergolong tinggi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, sebanyak 9,9 juta dari 44,47 juta atau 22,25 persen anak muda usia 15-24 tahun di Indonesia, tidak beraktivitas produktif pada Agustus 2023.
Sebanyak 22,25 persen anak muda usia 15-24 tahun di In­donesia, masuk dalam kategori Not in Employment, Education and Training (NEET) alias tidak bersekolah, tidak bekerja, dan tidak sedang mengikuti pelati­han. Situasi ini perlu mendapat perhatian khusus. Salah satunya dengan percepatan pembukaan lapangan kerja baru.
Menanggapi data tersebut, Wakil Menteri Keuangan (Wa­menkeu) Suahasil Nazara me­ngatakan, peran masyarakat dalam penciptaan dunia kerja, berpengaruh besar terhadap pendapatan atau daya beli anak muda berusia 15-24 tahun alias Gen-Z. Sebab, jika masyarakat produktif tidak memperoleh pendapatan, akan berdampak pada penerimaan negara.
“Hal tersebut akan mem­pengaruhi, atau memperkecil potensi Pajak Penghasilan (PPh) yang masuk kas negara. Kare­nanya, kami menginginkan seluruh elemen masyarakat aktif di dunia kerja, dan menghasil­kan pendapatan. Dengan begitu, bisa menghasilkan penerimaan untuk kesejahteraan mereka sendiri,” ujarnya di Jakarta, Jumat (17/5/2024).

Lebih lanjut, Suahasil me­ngatakan, Pemerintah akan terus memantau perkembangan serapan tenaga kerja dari waktu ke waktu. Selain itu, Pemerintah juga akan terus situasi perekono­mian, seperti di pasar tenaga ker­ja, di masyarakat, serta berbagai sektor perekonomian lainnya.

Terpisah, pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia (UI) Ninasapti Triaswati menyatakan, pertumbuhan Indonesia di kisaran 5 persen, tidak serta merta mendo­rong penciptaan lapangan kerja.
Menurut dia, hal itu tidak lepas dari prioritas pengembang­an sektor manufaktur berbasis tambang, yang sedikit menyerap tenaga kerja.
Sementara, sambung dia, in­dustri padat karya, seperti indus­tri tekstil dan alas kaki, tengah menghadapi gelombang Pemu­tusan Hubungan Kerja (PHK).

“Angka pengangguran yang tinggi ini, akan memberatkan ekonomi. Sebab, hal tersebut berkaitan dengan penerimaan pajak dan pencapaian target per­tumbuhan ekonomi,” jelas Nina.
Dia juga mendorong Pemerin­tah melakukan penyerapan tenaga kerja formal, serta meningkatkan kinerja sektor yang potensial menyerap lapangan kerja, salah satunya sektor pertanian.

Menurut dia, lapangan kerja yang ada saat ini membuat gen­erasi muda susah masuk, karena ketatnya persaingan teknologi.
“Saat ini, sektor yang berkem­bang pesat, mendorong adanya otomatisasi. Baik di sektor per­bankan, ritel, e-commerce,” ujar dia.

Sebelumnya, Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR Obon Tabroni mendesak Pemerintah segera membuat program konkret untuk mengatasi pengangguran.

“Persoalan ini harus segera diselesaikan. Seluruh instansi terkait harus membuat pro­gram konkret, untuk mengatasi persoalan,” ujarnya.

Obon menambahkan, selain banyaknya generasi muda yang menganggur, situasi ketenagak­erjaan di Indonesia juga diwar­nai dengan maraknya PHK. Pada awal 2024, banyak PHK di berb­agai perusahaan, sebagian besar dari perusahaan manufaktur.
“Situasi menjadi semakin sulit, karena warga yang terkena PHK sulit mendapat pekerjaan baru. Saat ini, ada Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), jaminan sosial berupa uang tunai, informasi pasar kerja dan pelatihan untuk pekerja atau buruh yang mengalami PHK, tapi pelaksanaannya belum maksimal,” jelasnya.
Di media sosial X, netizen juga mengeluhkan susahnya mencari pekerjaan. Akun @cuanforever menyatakan, angka penganggu­ran harusnya bisa ditekan dengan cara-cara antisipatif.
“Tiap tahun, jumlah pertum­buhan pencari kerja lebih besar dibanding pertumbuhan lapangan kerja yang tersedia. Sementa­ra, investor asing enggan masuk, dan kurangnya entrepreneur baru. Lapangan kerja lambat bertambah, dan pengangguran semakin tinggi,” tulisnya.

Akun @Rziwang menutur­kan, banyaknya pengangguran disebabkan persyaratan lowon­gan kerja yang susah dipenuhi. Mulai dari tingkat pendidikan, pengalaman, hingga beban kerja.

“Mana ada batasan usia pula. Di luar negeri setua apapun asal masih produktif masih dipake tuh. Di sini semuanya minta yang penampilan menarik, ma­sih muda, dan single,” sebutnya.
Sementara, akun @kngmj me­nilai, tingginya angka penganggu­ran Gen-Z lantaran banyak yang tidak memiliki ijazah sarjana.
“Faktanya, lulusan SMK men­jadi penyumbang pengangguran tertinggi. Sebab, kompetensi mereka tidak sesuai kebutuhan industri. Makanya, banyak yang berjuang untuk kuliah S1, menge­jar peluang kerja yang lebih luas,” cuitnya.

Namun, akun @adie_rew berpendapat, ijazah sarjana tidak menjamin mudah mendapatkan pekerjaan.
“Mau sarjana atau yang belum lulus, hanya mengundur status pengangguran. Saat ini, pendi­dikan tidak lagi bisa menjanji­kan masa depan. Banyak yang berpendidikan tinggi, tapi tidak memperoleh pekerjaan. Gelar sarjana hanya masalah status sosial, tanda orang itu pernah kuliah,” sentilnya.

Akun @rafindomie menerangkan, adanya lingkaran setan yang mengakibatkan angka pengangguran susah berkurang.
“Biaya kuliah semakin ma­hal, kuliah makin susah, angka pengangguran meningkat, lantas pemasukan negara dari pajak penghasilan menurun. Nanti Pemerintah bingung dengan kebi­jakannya sendiri,” urainya.

Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
RM ID
Banpos
Satelit