TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers SinPo

Terjadi Di 10 Provinsi, Kecurangan PPDB Berulang Lagi

Oleh: Farhan
Sabtu, 06 Juli 2024 | 10:15 WIB
Foto : Ist
Foto : Ist

JAKARTA - Pelaksanaan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun ajaran 2024/2025, masih dipenuhi banyak kecurangan. Ombudsman RI mengungkap, kecurangan PPDB masif terjadi di 10 provinsi.

Anggota Ombudsman RI, Indraza Marzuki Rais mengatakan, pihaknya menemukan kecurangan PPDB 2024/2025 hampir di seluruh provinsi di Indonesia. Namun, kecurangan masif terjadi di 10 provinsi.

“Kalau ditanya, ‘Apakah tidak ada temuan semua provinsi?’ Jawabannya ada. Tapi, yang cukup menonjol atau masif, di 10 provinsi. Yang lain, temuannya adalah masalah klasik,” ujar Marzuki di Kantor Ombudsman RI, Jakarta, Jumat (5/7/2024).

Lebih lanjut, dia menyebutkan 10 provinsi yang masif terjadi kecurangan. Mereka adalah Aceh, Riau, Sumatera Selatan, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB)

Marzuki juga mengungkap­kan permasalah yang terjadi di daerah-daerah tersebut, seperti permasalahan yang ditemukan di Aceh. Menurut dia, pihaknya menemukan masalah kurang­nya sosialisasi, penambahan rombongan belajar (rombel), dan penambahan jalur masuk madrasah di luar prosedur.

Di Riau, sambung dia, Ombudsman menemukan adanya diskriminasi dalam jalur perpin­dahan orang tua dan tahap pen­gumuman yang tidak transparan. Bahkan, ada diskriminasi dalam jalur perpindahan orang tua, atau hanya menerima orang tua yang ASN atau dari BUMN.

“Secara garis besar, Ombudsman menemukan permasala­han terkait kesalahan prosedur, manipulasi dokumen, dan dis­kriminasi terhadap calon peserta didik,” cetusnya.

Marzuki menambahkan, Ombudsman juga mendapati penyimpangan prosedur pada jalur prestasi di Sumatera Selatan (Sumsel).

“Kenapa dianulir? Banyak yang menggunakan dokumen as­li tapi palsu. Sertifikat-sertifikat itu ternyata dikeluarkan, baik oleh dinas maupun induk olahra­ga yang sengaja dibuat. Padahal, tidak pernah ada prestasinya, tidak pernah ada perlombaan­nya,” terangnya.

Lebih lanjut, dia mengatakan, Ombudsman juga menemukan adanya penyalahgunaan jalur afirmasi di Provinsi Bali, yakni dengan menambah jumlah SMA ‘fiktif’. Menurut dia, dinas pen­didikan setempat memiliki naiat baik, yakni menambah daya tampung dengan menambah jumlah sekolah SMA.

“Ternyata, secara fisik SMA-nya belum ada. Jadi, mereka menumpangkan dengan SMA-SMA lain. Itu menjadi protes bagi asosiasi SMA swasta. ‘Kenapa nggak kami yang dirang­kul? Kenapa harus buat sekolah tambahan seperti itu? Yang akhirnya diselesaikan oleh dinas, antara dinas dan asosiasi sekolah swasta,” jelas dia.

Terpisah, anggota Komisi X DPR RI, Lisda Hendrajoni me­nilai, persoalan kecurangan yang dilakukan oleh beberapa pihak dalam PPDB, dapat diatasi den­gan pemerataan kualitas sekolah di Tanah Air. Menurut dia, tidak meratanya kualitas sekolah membuat sejumlah orang tua memaksakan anak mereka, agar diterima di sekolah berkualitas dengan melakukan kecurangan.

Kalau kita lihat, masih ban­yak sekolah-sekolah yang tidak sesuai. Harusnya disiapkan dulu sarana-prasarananya, kualitas sekolah, kualitas gurunya. Meski belum sama dengan sekolah unggulan.

Sebab itu, dia mendorong pemerintah mengutamakan pem­bedahan infrastruktur sekolah, sebelum menyelenggarakan PPDB dengan sistem zonasi. “Ketersediaan sekolah dengan jumlah yang sesuai dengan pop­ulasi suatu daerah dan pemenu­han operasional sekolah secara merata, merupakan kewajiban negara, sesuai amanat konsti­tusi,” tegasnya.

Sementara Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Muhadjir Effendy mengusulkan, pembentukan Satuan Tugas (Satgas) PPDB yang melibatkan unsur kejaksaan, ke­polisian, dan dinas-dinas terkait mulai dari tingkat pusat hingga daerah. Dia berharap, Satgas mampu menindak kecurangan yang terjadi.

“Sekarang sedang menunggu Keputusan Presiden (Keppres). Kalau Keppres-nya sudah tu­run, mudah-mudahan dalam waktu dekat kita bisa tegakkan. Sekarang, belum ada instrumen yang bisa kita gunakan untuk melakukan penindakan, karena dari unsur kejaksaan dan ke­polisian belum terlibat,” jelas Muhadjir.

Dia juga menyayangkan per­buatan curang masyarakat yang menggunakan ijazah palsu, me­mindahkan alamat, atau meng­gunakan kartu keluarga palsu dalam proses PPDB. “Itu mesti­nya diantisipasi dan tidak beru­lang. Kalau kasusnya berulang, berarti Pemerintah Daerah tidak melakukan perbaikan atas kasus sebelumnya,” tuturnya.

Pengamat pendidikan, Indra Charismiadji menyatakan, ma­salah utama dalam sistem PPDB ialah kurangnya jumlah seko­lah dan bangku yang tersedia, dibandingkan jumlah siswa yang membutuhkan.

“Problemnya, bukan aturan. Mau dibuat Satgas kayak apap­un, mau diubah aturannya seperti apapun, problem utamanya satu, jumlah sekolah dan jumlah bangku tidak sesuai dengan jum­lah rakyat Indonesia,” tegas dia.

Indra menilai, sistem seleksi yang diterapkan dalam PPDB bertentangan dengan prinsip hak asasi. “Sekarang mau sekolah harus diseleksi, seolah nggak semua orang boleh sekolah di Indonesia. Zaman saya, pakainya nilai, seka­rang pakainya jarak, ada juga yang pakai umur. Tapi, pada dasarnya ada sistem seleksi yang membuat tidak semua anak Indonesia boleh sekolah,” kritiknya.

Di media sosial X, netizen prihatin dengan banyaknya kecurangan yang terjadi dalam PPDB. Sebab, kecurangan se­rupa berulang setiap tahun.

Akun @positiveconten1 menceritakan ribetnya aturan PPDB, yang menjadi peluang untuk berbuat curang. “Di Yogyakarta, PPDB jalur zonasi dibagi dua. Pertama, zonasi radius sekitar 250 meter dari sekolah, tapi ja­tahnya 5 persen dari total kuota siswa. Kedua, zonasi reguler yang dibagi zona 1, 2, dan 3, sistemnya ketat karena perang nilai, ASPD dan raport, jatahnya 50 persen dari kuota, berikutnya ada jalur prestasi, PTO, afirmasi. Pusing kan jelasinnya,” ungkap dia.

Senada, Akun @setopankahiji menilai, prosedur PPDB sangat rumit, dan membuat orang tua siswa pusing. “Nggak semua orang tua ngerti soal sebaran zonasi. Udah tau nggak efektif dan selalu dikomplain, harusnya jadi masukan untuk merombak aturan PPDB. Makanya, banyak orang tua yang pakai strategi babaledogan. Tapi, kasihan yang benar-benar membutuhkan lan­jut pendidikan ke negeri karena memang gratis,” katanya.

Sementara itu, akun @Rcakrabuana mengaku geram dengan kecurangan PPDB yang dilaku­kan secara terang-terangan. “PPDB makin kesini makin nggak jelas. Sudah kejadian sama saudara gue yang masukin anaknya pakai sistem rapor. Eh kalah sama sekolah-sekolah nggak jelas akreditasinya yang ngasih nilai rapor ke murid-muridnya antara 99-100. Edan bener,” kecamnya.

Akun @tata_nugraha memilih menyekolahkan anak di sekolah swasta ketimbang ikutan pusing menghadapi PPDB. “Sejak awal, saya sudah berhitung, untung anak saya sudah diterima di swasta. Tapi, ketika saya me­mantau prosesnya, kalau anak saya tetap ikut PPDB, terlihat dan terbukti berbagai modus terjadi, prihatin dengan kondisi seperti ini,” tuturnya.

Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
sinpo
sinpo
sinpo