TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers SinPo

Rencana Pemerintah Tuai Pro Dan Kontra, Bangun Rumah Sendiri Kena Pajak 2,4 Persen

Oleh: Farhan
Minggu, 22 September 2024 | 11:23 WIB
Foto : Ist
Foto : Ist

SERPONG - Rencana Pemerintah menaikkan pajak membangun rumah sendiri tanpa kontraktor, menuai pro dan kontra di masyarakat. Ada yang sepakat dengan besaran pajak 2,4 persen. Ada juga yang menolak wacana tersebut.

Pakar kebijakan publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat menilai, rencana Pemerintah menaikkan Pajak Pertambahan Nilai Kegiatan Membangun Sendiri (PPN KMS), dari 2,2 persen menjadi 2,4 persen pada 2025, harus dievaluasi. Sebab, kebijakan itu berpotensi membebani kelompok masyara­kat yang bukan target alias salah sasaran.

“Dalam perspektif kebijakan publik, kebijakan itu harus dievaluasi secara mendalam. Untuk memastikan penerapan kebijakan yang akan dilakukan Pemerintah benar-benar adil dan efektif,” ujar Achmad melalui keterangan tertulisnya, Sabtu (21/9/2024).

Menurutnya, sejumlah kriteria Pemerintah untuk pengenaan PPN KMS sebesar 2,4 persen di 2025, seperti luas bangunan minimal 200 meter persegi, mungkin dianggap Pemerintah sebagai indikator kemewahan. Namun dalam praktiknya, tidak semua rumah dengan luas terse­but dibangun oleh orang kaya.

Di berbagai daerah terutama di pedesaan atau pinggiran kota, sebut Achmad, membangun rumah dengan luas di atas 200 meter persegi bisa jadi sebagai kebutuhan dasar, bukan kemewahan. Selain itu, tambah dia, banyak masyarakat menengah dengan keluarga besar membangun rumah tanpa kontraktor lantaran keterbatasan anggaran.

“Pengenaan pajak itu akan memperberat beban finansial mereka. Harusnya, kebijakan Pemerintah difokuskan pada rumah-rumah mewah dengan nilai tertentu, bukan sekadar luas bangunan. Misalnya, mene­tapkan pajak berdasarkan nilai rumah atau properti, sehingga lebih tepat sasaran dan tidak membebani masyarakat yang membangun rumah sederhana,” tuturnya.

Lebih lanjut, Achmad juga mendorong Pemerintah agar lebih fokus pada pembenahan sektor properti secara keseluru­han. Sebab, harga properti yang melambung tinggi dalam be­berapa tahun terakhir, menjadi salah satu penyebab sulitnya ma­syarakat berpenghasilan rendah dan menengah memiliki rumah.

“Dari pada menaikan pajak, Pemerintah lebih baik fokus pada pengendalian harga properti. Kemudian, buat kebijakan yang mendorong pembangunan perumahan rakyat dan perban­yak stok rumah bersubsidi,” cetusnya.

CEO Indonesia Property Watch (IPW), Ali Tranghanda memiliki pandangan berbeda. Menurut dia, rencana Pemerintah menaikan PPN KMS tanpa kontraktor tidak akan terlalu mengganggu, karena sasaran kebijakan itu merupakan masyarakat kelas menengah ke atas.

Meski agak sedikit menggang­gu, menurut saya untuk luas lahan 200 m2 sudah masuk golongan menengah-atas. Jadi, tidak terlalu berpengaruh,” kata Ali.

Sementara Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo menjelaskan, kenaikan tarif PPN KMS menjadi 2,4 persen pada 2025 didasarkan pada perhitungan pengenaan tarif 20 persen dari tarif PPN.

Menurutnya, tarif PPN yang berlaku 11 persen sejak 2022 akan menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025, sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

Jika tarif PPN normal 11 persen, tarif PPN KMS hanya 2,2 persen. Jika tahun 2025 tarif PPN jadi naik, berarti tarif men­jadi 2,4 persen,” ujarnya.

Prastowo menambahkan, pengenaan PPN KMS bertujuan menciptakan keadilan. “Bila membangun rumah dengan kontraktor terutang PPN, maka membangun sendiri pada level pengeluaran yang sama mestin­ya juga dikenakan pajak serupa,” tandasnya.

Di media sosial X, rencana pemerintah menaikan PPN KMS juga menuai beragam komentar. “Pusing dah, apa-apa dipajakin. Kalau berbanding lurus dengan layanan yang di dapat masyara­kat sih oke, tapi sekarang kan be­lum,” tulis akun @gendon1998.

Wayakalee dah bangun rumah sendiri kena pajak. Kan kita sudah bayar PBB, masak kalau mau renov besar masih kena pajak,” timpal akun @masmasbaiyikkk00.

Akun @chefbane1 mempertanyakan tentang ada pajak bagi rakyat yang ingin meningkatkan kualitas hidupnya. Padahal, perbaikan tempat tinggal tanpa mereka, tidak meminta bantuan pemerintah.

“Saya nggak mempersoalkan siapa yang terbitkan peraturan. Saya nggak memahami kenapa harus ada 2.2 persen Analoginya, saya ke bengkel, service mobil. Ada biaya spare part ditambah jasa pemasangan ditambah PPN. Nah, kalau saya beli spare part (bahan bangunan) sendiri, pasang (bangun rumah) sendirii. Masa, saya harus setor pajak jasa saya?” tuturnya.

Sementara akun @muhayya memiliki pendapat berbeda. Menurut dia, pengenaan pajak yang dilakukan Pemerintah, bertu­juan untuk memeratakan pemban­gunan sekaligus meningkatkan pelayanan. Artinya, Pemerintah boleh memungut pajak.

“Aku sih nggak masalah pajak naik. Oke, oke, saja. Tapi, hasil­nya kita juga mau lihat. Selama ini, yang protes-protes itu kan nggak merasakan manfaat pa­jak. Jadi, Pemerintah kasih lihat saja hasil pajaknya untuk apa,” cuitnya.

Senada, akun @garniii1s menilai, pro dan kontra soal kenaikan pajak merupakan hal wajar. Sebab itu, dia meminta Pemerintah fokus menunjukan hasil kerja, dan adanya rasa keadilan di sektor perpanjakan nasional.

Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
sinpo
sinpo
sinpo