KUA Tidak Layani Pernikahan Di Bawah Umur
JAKARTA - Maraknya pernikahan di bawah umur menjadi polemik di masyarakat. Pasalnya, pernikahan di bawah umur membuat banyak anak putus sekolah hingga meningkatkan angka stunting pada bayi yang dilahirkan. Kantor Urusan Agama (KUA) akan berperan aktif menanggulangi masalah tersebut.
Juru Bicara Kementerian Agama (Kemenag) Sunanto menyatakan, pihaknya terus bekerja menihilkan kasus pernikahan di bawah umur.
Dia memastikan, KUA tidak melayani pernikahan dini atau pernikahan di bawah umur, yang tidak sesuai dengan Undang-Undang (UU).
“Kalau nikah resmi, belum cukup umur, pasti ketolak. Berarti tidak ada yang resmi itu nikahnya,” katanya di Jakarta, Senin (7/10/2024).
Lebih lanjut, Sunanto menjelaskan, Pasal 7 Ayat 1 UU Nomor 16 tahun 2019 tentang Perkawinan mengatur, batas minimal laki-laki dan perempuan menikah adalah usia 19 tahun.
Pada ayat berikutnya, lanjut dia, bila terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur sebagaimana dimaksud pada ayat 1, orang tua pihak pria dan/atau orang tua pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan Agama dengan alasan sangat mendesak, disertai bukti-bukti pendukung yang cukup.
Sunanto menambahkan, “alasan sangat mendesak” yang dimaksud UU tersebut, keadaan tidak ada pilihan lain dan sangat terpaksa harus dilangsungkan perkawinan. Namun, mereka harus terlebih dahulu mendapat dispensasi dari Pengadilan Agama, bagi yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri, bagi yang beragama lain.
Aturan itu didasarkan pada semangat pencegahan perkawinan anak, pertimbangan moral, agama, adat dan budaya, aspek psikologis, aspek kesehatan, serta dampak yang ditimbulkan.
“Jadi, bila masih ada pernikahan dini atau di bawah umur, itu dilakukan di luar jalur resmi yang diatur dalam undang-undang,” tandasnya
Anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Ai Rahmayanti menyakan, perkawinan anak banyak yang tidak tercatat. Karenanya, dia meminta Pemerintah melakukan berbagai pendekatan yang menyasar ke akar rumput, mulai dari memberi pemahaman atau edukasi bagi para orangtua dan anak, hingga pemberian sanksi kepada pelaku pelanggaran hak anak.
Ai menekankan, respons terhadap masalah perkawinan anak harus dilakukan secara komprehensif. Selain pencegahan, harus ada program pendampingan pasca terjadinya perkawinan anak, seperti monitoring kesehatan, tumbuh kembang, pendidikan dan pemenuhan hak-hak anak lainnya.
Monitoring bisa dilakukan oleh lembaga yang dekat dengan akar rumput, seperti KUA, RT, RW, serta oleh tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat dan sebagainya.
Sebab, perkawinan anak memiliki dampak buruk bagi anak, seperti putusnya hak pendidikan, kesehatan, hingga tingginya angka kematian ibu dan anak,” tuturnya.
Terpisah, anggota tim riset Forum on Indonesian Development (INFID) Mufliha Wijayati mengatakan, penelitian yang dilakukan pihaknya menemukan fakta-fakta miris kasus perkawinan anak. Mulai dari banyaknya calon suami yang tidak memiliki penghasilan, hingga paksaan orang tua.
Menurutnya, hasil penelitian menunjukkan, banyak perkawinan anak dilatarbelakangi paksaan dari orang tua kandung, dengan dalih takut perzinahan atau bagian dari kultur dan norma sosial di lingkungan mereka.
“Mayoritas permohonan diajukan oleh keluarga perempuan. Lebih dari 82 persen permohonan dispensasi perkawinan di Pengadilan Agama Indramayu diajukan oleh orang tua anak perempuan,” ungkapnya.
Mufliha menambahkan, maraknya perkawinan usia anak tidak lepas dari skema dispensasi kawin dalam UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan, yang mengatur batas minimum usia menikah 19 tahun. Kemudian, bila anak di bawah 19 tahun mengajukan permohonan perkawinan, hakim memiliki kewenangan untuk memberikan izin menikah atau dispensasi kawin, sesuai Perma Nomor 5 Tahun 2019 tentang persyaratan permohonan dispensasi kawin.
“Melihat fakta perkawinan anak, sangat berpotensi melanggengkan budaya kekerasan anak, khususnya anak perempuan. Sebab itu, implementasi kebijakan dispensasi kawin perlu mendapatkan perhatian kritis dari banyak pihak,” katanya.
Di media sosial X, netizen prihatin dengan maraknya perkawinan anak. Akun @pikphecu berharap, isu perkawinan anak ini tidak dinormalisasi dan dianggap masalah personal.
“Kalau itu masalah personal, Pemerintah nggak mungkin buat berbagai program-program pencegahannya. Masalah perkawinan anak ini bisa jadi sangat struktural dan sangat kompleks,” cuitnya.
Akun @pentolan_tahubulat geram dengan adanya orang yang mendukung perkawinan anak. “Bayangin, Pemerintah ngabisin dana miliaran buat mencegah perkawinan di bawah umur, tapi ada saja yang terinfluence ngikutin seseorang yang menikahi anak kelahiran 2008,” sentilnya.
Akun @shewashsun menekankan, perkawinan harus mengikuti aturan undang-undang. “Perubahan batas usia kawin anak bertujuan untuk meminimalisir angka perkawinan anak? Tapi, masih ada celah buat dapetin legalisasi perkawinan anak dengan dispensasi kawin. Masalahnya frasa ‘alasan mendesak’ itu nggak diperhitungkan secara matang,” tuturnya.
Akun @puffbearzy menyatakan, sudah banyak kajian soal perkawinan anak, berikut dampak-dampaknya. Harusnya hal itu menjadi pertimbangan bagi masyarakat yang masih pro perkawinan anak.
TangselCity | 7 jam yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
Olahraga | 11 jam yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu