TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers SinPo

KUA Tidak Layani Pernikahan Di Bawah Umur

Oleh: Farhan
Selasa, 08 Oktober 2024 | 11:38 WIB
Ilustrasi. Foto : Ist
Ilustrasi. Foto : Ist

JAKARTA - Maraknya pernikahan di bawah umur menjadi polemik di masyarakat. Pasalnya, pernikahan di bawah umur membuat banyak anak putus sekolah hingga meningkatkan angka stunting pada bayi yang dilahirkan. Kantor Urusan Agama (KUA) akan berperan aktif menanggulangi masalah tersebut.

Juru Bicara Kementerian Agama (Kemenag) Sunanto me­nyatakan, pihaknya terus bekerja menihilkan kasus pernikahan di bawah umur.

Dia memastikan, KUA tidak melayani pernikahan dini atau pernikahan di bawah umur, yang tidak sesuai dengan Undang-Undang (UU).

“Kalau nikah resmi, belum cu­kup umur, pasti ketolak. Berarti tidak ada yang resmi itu nikahn­ya,” katanya di Jakarta, Senin (7/10/2024).

Lebih lanjut, Sunanto menjelaskan, Pasal 7 Ayat 1 UU Nomor 16 tahun 2019 tentang Perkawinan mengatur, batas minimal laki-laki dan perempuan menikah adalah usia 19 tahun.

Pada ayat berikutnya, lanjut dia, bila terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur sebagaimana dimaksud pada ayat 1, orang tua pihak pria dan/atau orang tua pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan Agama dengan ala­san sangat mendesak, disertai bukti-bukti pendukung yang cukup.

Sunanto menambahkan, “ala­san sangat mendesak” yang dimaksud UU tersebut, keadaan tidak ada pilihan lain dan sangat terpaksa harus dilangsungkan perkawinan. Namun, mereka harus terlebih dahulu mendapat dispensasi dari Pengadilan Agama, bagi yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri, bagi yang beragama lain.

Aturan itu didasarkan pada semangat pencegahan perkawi­nan anak, pertimbangan moral, agama, adat dan budaya, aspek psikologis, aspek kesehatan, serta dampak yang ditimbulkan.

“Jadi, bila masih ada perni­kahan dini atau di bawah umur, itu dilakukan di luar jalur resmi yang diatur dalam undang-un­dang,” tandasnya

Anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Ai Rahmayanti menyakan, perkawinan anak banyak yang tidak tercatat. Karenanya, dia meminta Pemerintah melakukan berbagai pendekatan yang menyasar ke akar rumput, mulai dari memberi pemahaman atau edukasi bagi para orangtua dan anak, hingga pemberian sanksi kepada pelaku pelanggaran hak anak.

Ai menekankan, respons ter­hadap masalah perkawinan anak harus dilakukan secara kompre­hensif. Selain pencegahan, harus ada program pendampingan pas­ca terjadinya perkawinan anak, seperti monitoring kesehatan, tumbuh kembang, pendidikan dan pemenuhan hak-hak anak lainnya.

Monitoring bisa dilakukan oleh lembaga yang dekat dengan akar rumput, seperti KUA, RT, RW, serta oleh tokoh masyara­kat, tokoh agama, tokoh adat dan sebagainya.

Sebab, perkawinan anak me­miliki dampak buruk bagi anak, seperti putusnya hak pendidikan, kesehatan, hingga tingginya angka kematian ibu dan anak,” tuturnya.

Terpisah, anggota tim riset Forum on Indonesian Development (INFID) Mufliha Wijayati mengatakan, penelitian yang dilakukan pihaknya menemukan fakta-fakta miris kasus perkawi­nan anak. Mulai dari banyaknya calon suami yang tidak memiliki penghasilan, hingga paksaan orang tua.

Menurutnya, hasil penelitian menunjukkan, banyak perkawi­nan anak dilatarbelakangi paksaan dari orang tua kandung, den­gan dalih takut perzinahan atau bagian dari kultur dan norma sosial di lingkungan mereka.

“Mayoritas permohonan dia­jukan oleh keluarga perempuan. Lebih dari 82 persen permoho­nan dispensasi perkawinan di Pengadilan Agama Indramayu diajukan oleh orang tua anak perempuan,” ungkapnya.

Mufliha menambahkan, maraknya perkawinan usia anak tidak lepas dari skema dispensasi kawin dalam UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan, yang mengatur batas minimum usia menikah 19 tahun. Kemudian, bila anak di bawah 19 tahun mengajukan permohonan perkawinan, ha­kim memiliki kewenangan un­tuk memberikan izin menikah atau dispensasi kawin, sesuai Perma Nomor 5 Tahun 2019 tentang persyaratan permoho­nan dispensasi kawin.

“Melihat fakta perkawinan anak, sangat berpotensi me­langgengkan budaya kekerasan anak, khususnya anak perem­puan. Sebab itu, implementasi kebijakan dispensasi kawin per­lu mendapatkan perhatian kritis dari banyak pihak,” katanya.

Di media sosial X, netizen prihatin dengan maraknya perkawinan anak. Akun @pik­phecu berharap, isu perkawinan anak ini tidak dinormalisasi dan dianggap masalah personal.

“Kalau itu masalah personal, Pemerintah nggak mungkin buat berbagai program-pro­gram pencegahannya. Masalah perkawinan anak ini bisa jadi sangat struktural dan sangat kompleks,” cuitnya.

Akun @pentolan_tahubu­lat geram dengan adanya orang yang mendukung perkawinan anak. “Bayangin, Pemerintah ngabisin dana miliaran buat mencegah perkawinan di bawah umur, tapi ada saja yang terinflu­ence ngikutin seseorang yang menikahi anak kelahiran 2008,” sentilnya.

Akun @shewashsun menekankan, perkawinan harus mengikuti aturan undang-undang. “Perubahan batas usia kawin anak bertujuan untuk memi­nimalisir angka perkawinan anak? Tapi, masih ada celah buat dapetin legalisasi perkawi­nan anak dengan dispensasi kawin. Masalahnya frasa ‘ala­san mendesak’ itu nggak di­perhitungkan secara matang,” tuturnya.

Akun @puffbearzy menyatakan, sudah banyak kajian soal perkawinan anak, berikut dampak-dampaknya. Harusnya hal itu menjadi pertimbangan bagi masyarakat yang masih pro perkawinan anak.

Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
sinpo
sinpo
sinpo