Prabowo Geram, Ada Koruptor Triliunan Hanya Divonis 6.5 Tahun Penjara
JAKARTA - Di tengah ramainya kritik atas vonis 6,5 tahun penjara terhadap terpidana korupsi kasus timah, Harvey Moeis, Presiden Prabowo Subianto menyoroti ketidakadilan hukum terhadap koruptor yang telah merugikan negara triliunan rupiah, tapi vonisnya ringan sekali.
Sorotan tersebut disampaikan Prabowo saat memberikan arahan dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas), di Kantor Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Jakarta, Senin, (30/12/2024). Wakil Presiden Gibran Rakabuming hadir dalam acara tersebut.
Selain Wapres, hampir seluruh anggota Kabinet Merah Putih hadir. Mulai dari Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi, Menko Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra, Menko Bidang Pangan Zulkifli Hasan, Menko Bidang Pemberdayaan Masyarakat Abdul Muhaimin Iskandar, Menko Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan Agus Harimurti Yudhoyono, Menko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Pratikno.
Hadir pula, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan Agus Andrianto, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu'ti, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, Menteri Sosial Saifullah Yusuf, dan Menteri Kebudayaan Fadli Zon.
Kemudian, ada Menteri Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi Satryo Soemantri Brodjonegoro, Menteri Investasi dan Hilirisasi Rosan Perkasa Roeslani, serta Kepala Otorita IKN Basuki Hadi Muljono. Hadir juga, Panglima TNI Jenderal Agus Subianto dan Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo.
Awalnya, Presiden tidak langsung membahas soal putusan ringan terhadap koruptor. Mantan Menteri Pertahanan ini, mengawali sambutannya dengan meminta jajaran kabinet dan pemangku kepentingan menyusun rencana pembangunan nasional dan daerah tahun 2024-2029. Tujuannya, agar bisa mengakomodasi aspirasi dan kebutuhan masyarakat.
Selain itu, Kepala negara menginginkan Indonesia punya pemerintahan yang bersih. Hal itu sering disampaikan Prabowo dalam beberapa kesempatan, agar semua pihak bersinergi menghentikan kebocoran-kebocoran anggaran.
Selanjutnya, Prabowo menyinggung soal penyelundupan barang-barang dari luar negeri yang dapat membahayakan kedaulatan Indonesia. Bahkan, mengancam industri dalam negeri.
Dia menegaskan, jika sudah jelas melanggar hukum dan merugikan negara, maka semua pihak wajib memberikan hukuman tegas. “Terutama juga hakim-hakim ya vonisnya jangan terlalu ringan lah,” pinta Prabowo.
Tanpa menyebut kasus mana yang dimaksud, Prabowo mengatakan, saat ini rakyat Indonesia sudah pintar berkat kemajuan teknologi informasi. Sebab, mereka bisa memantau perjalanan kasus hukum yang terjadi lewat telepon genggamnya.
“Rakyat di pinggir jalan ngerti merampok triliunan, eh ngerampok ratusan triliun, vonisnya sekian tahun. Nanti, jangan-jangan di penjara pakai AC, punya kulkas atau tv juga,” sindirnya.
Mantan Danjen Kopassus ini lantas membandingkan vonis ringan koruptor dengan maling ayam yang jauh lebih berat. Prabowo berharap hakim bisa memberikan hukuman berat kepada pencuri uang negara. “Vonisnya 50 tahun, begitu kira-kira,” sebut Prabowo.
Ditekankan Prabowo, hukuman berat bukan semata untuk memberi efek jera, tapi hukuman yang diberikan hakim seharusnya sebanding dengan nilai kerugian negara yang ditimbulkan koruptor. “Sudah jelas sekian ratus triliun vonisnya seperti itu. Ya ini bisa menyakiti rasa keadilan,” tegasnya.
Sebelumnya, Prabowo sempat memberikan pernyataan tegas soal komitmennya dalam pemberantasan korupsi di Tanah Air. Ia mengatakan tidak bakal memaafkan koruptor meski sudah mengembalikan uang yang dicurinya kepada negara.
Prabowo menjelaskan, semua agama mengajarkan umatnya agar segera bertaubat jika melakukan kesalahan. Itu juga berlaku untuk koruptor yang telah mencuri uang negara demi kepentingan pribadi. Namun, bukan berarti koruptor bisa bebas dari kesalahannya dan tidak menanggung kerugiannya.
“Orang bertobat kok, tapi kembalikan dong yang kau curi. Enak aja udah nyolong (bilang) aku bertobat. Yang kau curi kembalikan. Bukan saya maafkan koruptor, tidak!” tegas Prabowo, saat tampil dalam Perayaan Natal Nasional 2024 di Indonesia Arena GBK, Senayan, Jakarta Pusat, Sabtu (28/12/2024),
Kembali ke Musrenbangnas, selama memberi sambutan, Prabowo memang tidak menyebutkan secara gamblang kasus korupsi yang pelakunya divonis ringan. Namun, perhatian publik selama beberapa hari terakhir mengarah kepada suami Sandra Dewi, Harvey Moeis yang jadi terdakwa kasus korupsi tata niaga timah.
Terpidana dalam kasus korupsi timah yang merugikan negara hingga Rp 300 triliun itu, dijatuhi vonis 6,5 tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Tipikor Jakarta. Vonis terhadap Harvey itu, jauh lebih ringan dari tuntutan jaksa yang meminta Harvey dijatuhi hukuman 12 tahun. Atas putusan itu, pihak Kejaksaan Agung resmi mengajukan banding.
Selain Harvey, kasus lain yang juga mengusik keadilan adalah vonis yang dijatuhkan PN Tipikor Jakarta terhadap Crazy rich Pantai Indah Kapuk (PIK) sekaligus pemilik PT Quantum Skyline Exchange (QSE) Helena Lim. Terdakwa kasus korupsi tata niaga timah ini divonis 5 tahun penjara, denda Rp750 juta, dan membayar uang pengganti Rp 900 juta. Vonis ini lebih rendah dari tuntutan jaksa yang ingin Helena dihukum 8 tahun penjara, denda Rp 1 miliar, dan uang pengganti Rp 210 miliar.
“Menyatakan terdakwa Helena Lim telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum membantu melakukan korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU),” kata Hakim Ketua Rianto Adam Pontoh, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (30/12/2024).
Dalam menjatuhkan vonis, majelis hakim mempertimbangkan beberapa hal memberatkan dan meringankan. Hal memberatkan, perbuatan Helena Lim dinilai tidak mendukung program Pemerintah dalam rangka penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengakui ada kejanggalan dalam putusan majelis hakim terhadap Helena Lim dan Harvey Moeis. “Ya ini putusan yang aneh jika dibandingkan dengan putusan Harvey Moeis yang lebih ringan dengan kerugian negara yang lebih besar,” ujar Fickar, kepada Redaksi, Senin (30/12/2024).
Menurut dia, harusnya hakim bisa mempertimbangkan kerugian non materiil yang mengancam masa depan generasi Indonesia. Sebab, kasus tata kelola timah yang melibatkan Harvey Moeis dan Helena Lim menyebabkan kerugian keuangan negara dan ekologis mencapai Rp 300 triliun sesuai dakwaan jaksa.
Karena kejanggalan ini, Fickar meminta Komisi Yudisial (KY) turun tangan mengawasi putusan majelis hakim. Meskipun, diakuinya bahwa kewenangan hakim dalam memberikan putusan bersifat absolut dan tidak bisa diintervensi oleh kekuasaan apapun.
“Tetapi jika tidak logis dan melawan logika hukum bahkan ada pelanggarannya, maka KY berwenang untuk memeriksa dan menjatuhkan sanksi,” pungkasnya.
Sebelumnya, Juru Bicara KY, Mukti Fajar Nur Dewata mengaku pihaknya tidak tinggal diam dengan putusan ringan yang dijatuhkan majelis dalam kasus timah. Mukti menegaskan, sejak awal KY telah memantau jalannya persidangan. Khususnya saat jaksa menghadirkan saksi-saksi kunci dan ahli, hingga saksi a de charge atau meringankan yang dihadirkan tim penasihat hukum terdakwa.
Dengan modal itu, Mukti menegaskan, akan mendalami putusannya untuk memastikan tak ada pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH).
“Namun, KY tidak akan masuk ke ranah substansi putusan. Adapun, forum yang tepat untuk menguatkan atau mengubah putusan, yakni melalui upaya hukum banding,” kata Mukti Fajar, Jumat (27/12/2024).
KY juga mengimbau masyarakat yang memiliki bukti dugaan pelanggaran etik hakim untuk melapor. Namun, ia menekankan, laporan harus disertai bukti pendukung agar bisa diproses lebih lanjut.
Dengan langkah ini, KY berharap proses hukumnya dapat berjalan transparan dan memberi rasa keadilan bagi masyarakat. “Kami membuka ruang bagi masyarakat, tapi laporan harus berbasis data yang valid,” tuturnya.
Sebelumnya, eks Menko Polhukam Mahfud MD mengkritik putusan ringan terhadap Harvey. Dengan melihat dari besarnya nilai kerugian negara, putusan terhadap Harvey ini telah menusuk rasa keadilan di masyarakat.
"Kenapa? 6,5 tahun itu kok kecil sekali bagi orang yang menggarong kekayaan negara, Rp 300 triliun hanya diambil Rp210 (miliar)," kritik Mahfud di Kantor MMD Initiative, Jalan Kramat VI, Jakarta Pusat, Kamis (26/12/2024).
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Olahraga | 1 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Selebritis | 2 hari yang lalu
TangselCity | 17 jam yang lalu
Pos Banten | 1 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu