TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers

Kehilangan Bulan

Oleh: Dahlan Iskan
Editor: Redaksi selected
Rabu, 08 Januari 2025 | 12:03 WIB
Dahlan Iskan
Dahlan Iskan

SERPONG - LAMA tidak banyak muncul, pembela Presiden Jokowi mulai banyak lagi. Lewat medsos. Terutama sejak adanya dua peristiwa terakhir: diamankannya dokumen "penting" di Rusia dan penobatan Jokowi sebagai lima besar terkorup di dunia 2024.

 

Ups... salah. Mereka bukan pembela Jokowi. Tidak ada buktinya. Isi medsos mereka juga bukan membela Jokowi. Mereka lebih menyasar dua lembaga: OCCRP/Tempo dan PDI-Perjuangan/Hasto Kristiyanto.

Pihak yang menyerang Jokowi dan pihak yang menyerang dua lembaga itu juga saling ejek. Ada yang brutal tapi ada juga yang lucu-lucu.

 

OCCRP diserang sebagai kekuatan asing yang ingin menghancurkan Indonesia. Mereka juga menuding OCCRP dibiayai George Soros yang Yahudi dan penyebab krisis moneter 1998.

 

Sebaliknya, mereka diserang sebagai buzzer bayaran Jokowi. Ada tulisan jenaka begini: "dalam rapat besar buzzer mereka mengucapkan terima kasih pada OCCRP. Berkat OCCRP kini mereka punya pekerjaan lagi. Maka janganlah OCCRP ragu-ragu. Kalau ada gelar buruk lainnya untuk Jokowi segera berikan saja. Agar kami terus punya pekerjaan".

 

Saya rasa isu OCCRP ini akan reda sebelum 40 hari. Tidak ada isu besar yang bisa tetap menarik melebihi 40 hari. Dalam 40 hari sukma isu besar sudah naik ke alam lain.

Yang masih akan terus ramai adalah soal PDI-Perjuangan. Isu OCCRP kelihatannya hanya akan berputar di kalangan aktivis. Sepanjang aparat tidak menjadikan semua itu sebagai kasus hukum apanya yang dikhawatirkan.

 

Buktinya kunjungan rakyat ke rumah Jokowi justru semakin banyak. Rumah yang di Solo itu. Yang di sebuah gang itu. Mereka puas biar pun sekadar berfoto di depan rumah yang pagarnya tinggi dan tertutup rapat itu.

Rumah itu memang mudah dituju. Hanya 10 menit dari mulut tol Solo. Saya diajak Ivan, pengusaha muda Semarang, mampir ke rumah itu. Tidak untuk bertamu. Sekadar tahu. Lewat saja.

 

Ternyata benar. Rumah Jokowi berada di sebuah gang. Bukan di jalan raya. Sebelum masuk gang itu kita lewat jalan Kutai Raya. Lalu ada jalan kecil, Kutai Utara. Di situlah rumahnya. Di Kampung Sumber.

Kampung Sumber bukanlah kampung lama. Bukan juga kompleks perumahan baru. Sumber bukanlah kampung miskin. Bukan pula perumahan elite. Sumber adalah kampung kelas menengah.

 

Mobil Ivan memasuki gang itu. Saya minta untuk jalan pelan-pelan. Rumah-rumah di kiri kanan gang tutup semua. Tidak terlihat ada orang di luar rumah. Mungkin karena sudah hampir magrib.

Sampailah kami di rumah nomor 4. Itulah rumah Jokowi. Pagar depan dan sampingnya tinggi. Pintu pagarnya tertutup. Mobil berhenti. Ivan ingin turun mengetuk pintu pagar. Ia sudah beberapa kali ke rumah itu.

 

"Jangan," kata saya. "Mungkin beliau juga tidak ada di rumah".

 

Kesan saya: rumah ini sangat biasa. Mungkin banyak orang akan bilang rumah ini terlalu sederhana untuk seorang presiden Indonesia dua periode.

Bukan hanya rumahnya, juga ukuran tanah dan bangunannya. Rasanya ukuran tanah di rumah ini hanya sekitar 400 m2.

 

Pun Kampung Sumber. Kampung biasa. Bukan ''Menteng''-nya Solo. Bahkan bukan ''Kebayoran Baru''-nya. Ini hanya seperti kampung di Tebet.

Rakyat Jateng, sudah terbukti lebih mendengarkan Jokowi pun setelah tidak lagi menjabat presiden.

Di Pilkada lalu Jokowi turun langsung ke 10 daerah yang dikenal sebagai ''kandang banteng''. Calon gubernur yang ia dukung menang telak. Mengalahkan calon dari PDI-Perjuangan.

 

Padahal Jokowi tidak ikut pidato. Ia hanya bermobil pelan lewat jalan-jalan di 10 kabupaten tersebut. Di belakang mobilnya ada lima mobil pengangkut kaus.

 

Di sepanjang jalan Jokowi membagikan kaus itu. Jangan kaget: apa yang tertulis di kaus itu. Hanya satu kata: Mulyono. Lalu ada satu gambar siluet pak Jokowi.

Tentu PDI-Perjuangan punya alasan lain untuk kekalahan itu: ada kadernya yang kurang all-out. Bahkan ada yang dianggap bermain di dua perahu.

Anda sudah tahu siapa yang dimaksud: Bambang Pacul! Ia sendiri merasa dituduh begitu. Bahkan ia sudah pasrah: mau dipecat pun silakan. Ia akan terima.

 

Bambang Pacul adalah tokoh utama PDI-Perjuangan di Jateng. Bicaranya polos, ceplas-ceplos, dan kadang jenaka. Ia selalu terpilih sebagai anggota DPR. Juga selalu jadi pengurus inti di DPP PDI-Perjuangan.

Saya tahu dari mana asal-usul tuduhan ''berdiri di dua perahu'' itu. Anda pun sudah tahu: putri Bambang Pacul, Casytha Arriwi Kathmandu, memihak Ahmad Luthfi saat Pilgub Jateng. Bukan Jenderal Andika Perkasa.

 

Di Pemilu lalu, Casytha maju sebagai calon anggota DPD. Terpilih. Raihan suaranya sangat besar: 2,5 juta. Ini kali kedua Casytha jadi anggota DPD.

Sebenarnya Casytha tidak terang-terangan memihak jagonya Jokowi itu. Tapi semua warga PDI-Perjuangan tahu di mana kaki Casytha.

 

Jawa Tengah tampaknya akan jadi faktor penentu ke mana arah Kongres PDI-Perjuangan April depan. Pergerakan bawah tanahnya sangat intensif –tidak terlihat tapi terasa getarannya.

Di pihak lain Jokowi mungkin bisa menerima diberhentikan dari partai. Toh kelak akan ada waktu baginya untuk membela diri di forum kongres.

 

Yang kelihatannya ia sulit menerima adalah alasan pemberhentiannya itu: menyalahgunakan kekuasaan. Alasan itu punya implikasi hukum yang panjang. Beda kalau alasannya ''melanggar disiplin organisasi''.

Tentu Jokowi tahu siapa yang mengolah alasan ''penyalahgunaan kekuasaan'' itu.

Di saat semua partai kini lagi mimpi akan bisa terbang ke bulan, PDI-Perjuangan harus berpikir keras jangan sampai kehilangan bulan.

Dahlan Iskan
Komentar:
Berita Lainnya
Dahlan Iskan
Alvin Biru
Selasa, 07 Januari 2025
Dahlan Iskan
Sidang Semu
Senin, 06 Januari 2025
Kiki Iswara Darmayana. Foto : Ist
Saatnya Genjot Produksi Beras
Sabtu, 04 Januari 2025
Dahlan Iskan
Uang Benjamin
Jumat, 03 Januari 2025
Dahlan Iskan
Tahun Banteng
Kamis, 02 Januari 2025
GROUP RAKYAT MERDEKA
RM ID
Banpos
Satelit