TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers

Wacana Kepala Daerah Dipilih DPRD Ditolak Rakyat

Reporter & Editor : AY
Kamis, 16 Januari 2025 | 10:34 WIB
Ilustrasi kampanye Kepala Daerah. Foto : Ist
Ilustrasi kampanye Kepala Daerah. Foto : Ist

JAKARTA - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus presidentary threshold (PT) 20 persen disambut positif mayoritas rakyat Indonesia. Sementara soal wacana kepala daerah dipilih DPRD, justru rakyat menolaknya.

 

Bedanya sikap rakyat dalam menyikapi 2 isu berbeda ini terlihat dari survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA yang dirilis pada Rabu (15/1/2025). Survei ini menggunakan analisis isi komputasional untuk mendeteksi topik dan sentimen publik berdasarkan kata kunci spesifik.

 

Data dikumpulkan melalui berbagai platform media sosial, seperti X, TikTok, Facebook, serta media online yang mencakup berita, video, blog, web, forum diskusi, dan siniar. Periode analisis dilakukan antara 2 hingga 7 Januari 2025.

 

Apa hasilnya? Dalam survei tersebut, sebanyak 68,19 persen responden memberikan sentimen positif atas putusan MK yang menghapus PT 20 persen. Dengan putusan tersebut, setiap parpol peserta pemilu bisa langsung mengajukan capres tanpa harus berkoalisi.

 

Melalui analisis isi komputasional, dari 7.079 percakapan digital yang dikaji, mayoritas bersumber dari berita online dan video. Hanya 31,81 persen responden menunjukkan sentimen negatif. Nah, agar sebangun dengan aturan Pilpres yang baru, publik pun meminta aturan Pilkada harus pula diubah.

 

“Bukan Kepala Daerah dipilih oleh DPRD, tapi sebagaimana Pilpres, Pilkada tetap dipilih langsung oleh rakyat, dan setiap partai politik dibolehkan mengajukan calon kepala daerah,” kata peneliti LSI Denny JA, Adjie Alfaraby saat memaparkan hasil risetnya, Rabu (15/1/2025).

 

Dipaparkan Adjie, mayoritas percakapan publik melihat putusan soal Pilpres ini sebagai langkah berani yang membawa demokrasi lebih inklusif. Setiap partai kini punya kesempatan sama dan membuka ruang lebih luas bagi representasi rakyat. Kompetisi tidak lagi arena dominasi partai besar, tetapi medan perjuangan ide dan visi yang lebih sehat.

 

“Percakapan publik menilai, putusan ini membuka jalan bagi demokrasi yang lebih inklusif, sehat, dan berorientasi pada rakyat,” sambungnya.

 

Dalam hasil risetnya, Adjie menuturkan, publik menginginkan momentum ini tidak berhenti di tingkat nasional. Pilkada, sebagai cerminan demokrasi lokal, juga perlu mengikuti model ini. Responden ingin setiap partai, tanpa terkecuali, memiliki hak untuk mencalonkan Kepala Daerah.

 

“Wacana Pilkada melalui DPRD untuk efisiensi biaya justru memunculkan sentimen sangat negatif. Dari 1.898 percakapan yang dianalisis, 76,3 persen menunjukkan penolakan,” akunya.

 

Sebab, publik khawatir transparansi akan menjadi korban, dan politik transaksional di DPRD akan meningkat. “Hanya 23,7 persen yang mendukung wacana ini dengan alasan efisiensi biaya,” ujar dia.

 

Berdasar temuan LSI Denny JA, demokrasi bukan soal efisiensi. Melainkan investasi dalam legitimasi, keterwakilan, dan kepercayaan rakyat. “Solusi untuk perbaikan Pilkada justru tetap dengan pemilihan langsung oleh rakyat dengan setiap partai dibolehkan mencalonkan Kepala Daerah,” nilai dia.

 

Adjie menambahkan, model tanpa ambang batas dalam Pilkada dapat membawa banyak manfaat. Demokrasi lokal akan semakin kuat. Rakyat lebih banyak pilihan. Politik transaksional berkurang. Pemimpin baru dengan visi segar muncul dan membawa perubahan.

 

Kompetisi menjadi lebih sehat, fokus pada kualitas kandidat, bukan pada kekuatan partai besar, partisipasi rakyat meningkat, dan sistem Pemilu menjadi lebih seragam, menciptakan harmoni antara Pilpres dan Pilkada.

 

“Contoh sistem Pemilu di Swiss, Kanada, Perancis ini melahirkan pemimpin inovatif. Pilkada melalui DPRD justru berpotensi merampas hak rakyat untuk menentukan pemimpin mereka secara langsung,” papar Adjie.

 

Selain itu, justru di DPRD, politik transaksional semakin menguat. Proses lobi-lobi politik tertutup untuk memilih Kepala Daerah sangat rentan terhadap negosiasi kepentingan kelompok kecil.

 

Pilkada langsung, kata Adjie, meskipun mahal, memberikan legitimasi yang lebih kuat kepada pemimpin terpilih karena langsung mendapat mandat rakyat.

 

Jika setiap partai, setiap rakyat, setiap suara memiliki hak memilih pemimpinnya, mekanisme ini lebih menjamin lahirnya para pemimpin baru yang lebih dekat dengan suasana zamannya,” pungkasnya.

 

Seperti diketahui, usulan pemilihan gubernur oleh DPRD kembali menghangat pasca Presiden Prabowo Subianto menyinggungnya, di acara HUT Ke-60 Golkar, di Sentul, Jawa Barat, Kamis (12/12/2024) malam. Menurut Kepala Negara, pemilihan langsung memakan biaya yang sangat besar. Anggaran tersebut sebaiknya dialokasikan untuk kebutuhan masyarakat.

 

Selain itu, Prabowo juga menyoroti biaya yang harus dikeluarkan para calon gubernur dalam pemilihan langsung. Karena itu, Prabowo meminta partai politik untuk mempertimbangkan kembali mekanisme pemilihan gubernur melalui DPRD.

 

Wacana ini mendapat respons dari parlemen dan partai politik. Hampir semua partai politik menyetujui usulan tersebut. PDIP sebagai partai oposisi pun tidak mentah-mentah menolak. Partai yang dinakhodai Megawati Soekarnoputri itu hanya memberikan catatan.

 

Sementara itu, Ketua DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Luluk Nur Hamidah menyarankan semua pihak untuk tidak senang atau berpuas diri atas putusan MK. Apalagi, kata dia, MK memberi kewenangan pada pembuat undang-undang (UU) untuk membatasi jumlah peserta pemilihan presiden (pilpres). “Jadi, siapa pun yang sekarang sedang menyiapkan apa namanya kembang api gitu ya, perayaan atas keputusan MK kayaknya sih tahan diri dulu, ya kan,” ujar Luluk

 

Luluk mengingatkan bahwa putusan MK juga turut memberi kewenangan pada pembuat UU terkhusus DPR untuk membuat aturan batas syarat peserta pilpres. Ia pun mempertanyakan sikap DPR dan fraksi yang ada ingin melepas keleluasaan yang ada.

 

Ia pun meyakini, putusan MK yang menghapus ambang batas pencalonan presiden ini tak serta merta akan membuat banyaknya peserta pilpres. Pasalnya, Luluk menilai, ada kemungkinan DPR membuat syarat untuk mempersulit partai politik menjadi peserta pemilu.

 

“Saya melihatnya bahwa apa pun putusan itu ya, misalnya tidak akan serta-merta kemudian ini akan memunculkan calon-calon yang tiba-tiba menjamur gitu,” kata Luluk.

 

Pendiri lembaga Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi meminta DPR untuk menetapkan batas maksimum pendaftaran peserta pemilihan presiden (Pilpres). Menurutnya, syarat batas maksimum pendaftaran capres itu ditujukan agar munculnya kandidat alternatif.

Komentar:
Eka
ePaper Edisi 16 Januari 2025
Berita Populer
01
Honorer Nakes Bakal Demo

Pos Banten | 2 hari yang lalu

02
Cuaca Kota Tangerang Selasa (14/1) Hujan Atau Panas?

Pos Tangerang | 2 hari yang lalu

04
Ronald Araujo Akan Dilepas Barcelona

Olahraga | 10 jam yang lalu

05
Liga Voli Putri Korsel

Olahraga | 1 hari yang lalu

06
Ratusan Honorer Mengadu Nasib Ke Dewan

Pos Banten | 8 jam yang lalu

07
Laga NBA, Indiana Pacers Hentikan Cavaliers

Olahraga | 2 hari yang lalu

GROUP RAKYAT MERDEKA
RM ID
Banpos
Satelit