Toxic Mematikan Otonomi Daerah

GEJALA kegagalan otonomi daerah sebagai antibiotik terhadap sentralisasi orde baru kini telanjang terlihat. Ulang tahun otonomi daerah ke 29 hanya seremonial untuk mengingatkan daerah bahwa anda pernah diberi wewenang luas. Kini tinggal artefaknya, urusan administrasi belaka tanpa benar-benar otonom.
Indikasi itu setidaknya terlihat pada resentralisasi wewenang, pengendalian keuangan, pemusatan aparat, penyatuan visi, kontrol berlebihan terhadap pemda, serta pola uniformitas pilkada (Djohan, 2025). Indikasi menunjukkan seolah pemerintah bosan mengelola keragaman di tengah kecenderungan aktor lokal kehilangan orientasi otonomi daerah. Korupsi salah satunya.
Toxic mematikan itu dimulai dari resentralisasi wewenang. Sebagian besar tumpuan harapan daerah untuk berotonomi lenyap seketika pasca berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja dan Undang-Undang Minerba. Padahal kunci utama sebagai ruh berotonomi terletak di situ. Tanpa kewenangan yang cukup, daerah tak lebih sama dengan model di masa orde baru.
Akibatnya, daerah tak bisa berbuat banyak kecuali berharap tetesan atas sejumlah urusan yang ditarik ke pusat lewat DAU, DAK, dan DBH yang tak seimbang. Malangnya, Inpres Nomor: 1 Tahun 2025 menyedot hampir separuh anggaran pemerintah daerah yang kian membuat daerah merana seperti kehilangan darah segar. Otonomi mati suri.
Sejogjanya urusan-urusan itu lebih mudah dikerjakan di daerah ketimbang ditarik ke pusat dengan kementerian baru plus perlengkapan, personel, dan pembiayaan besar. Alih-alih berharap masalahnya selesai, faktanya pemerintah mesti menguras kantong rakyat dengan kenaikan pajak dan utang yang kian membengkak.
Obesitas organisasi kementerian sebagai dampak politik bagi-bagi kekuasaan, serta melimpahnya kewenangan daerah ke pusat faktanya bukan mencipta kesejahteraan. Hutang atas pinjaman baru mencapai Rp 250 triliun, sekaligus mendorong indeks kemiskinan daerah. Akumulasi pengangguran daerah (Indonesia) tertinggi di ASEAN mencapai 5,2 persen (2025).
Rencana pemusatan terhadap alokasi pejabat lokal juga menimbulkan kegelisahan. Revisi Undang-Undang ASN sesungguhnya memangkas kewenangan pemerintah daerah yang telah diatur sebelumnya. Ini hanya satu contoh betapa undang-undang sektor dari dulu hingga kini tak pernah tunduk pada Undang-Undang Pemda sebagai titik korner. Undang-undang sektor justru mengamputasi wewenang Pemda.
Dengan alasan pegawai daerah merupakan aparat sipil negara yang dapat diatur secara terpusat khususnya eselon 1 dan 2, bukan mustahil perubahan ini akan membuahkan lapangan kerja baru yakni suap-menyuap jabatan, mutasi, serta meningkatnya korupsi, kolusi, dan nepotisme. Pemusatan cenderung mengecilkan otonomi dalam penggunaan sumber daya aparatur.
Pada dasarnya, pemaksaan untuk mendukung penuh kebijakan pemerintah menandai dimulainya sentralisasi. Pernyataan wapres soal tidak adanya visi kepala daerah kecuali visi presiden pada acara retreat seakan menegaskan tidak ada otonomi kecuali program pemerintah. Padahal visi dan misi kepala daerah merupakan kebutuhan pokok sesuai karakteristik daerahnya.
Visi dan misi kepala daerah adalah pernyataan politik lokal sesuai partikularitasnya masing-masing. Dengan begitu ia dapat menyelesaikan masalah daerah tanpa mengecilkan, apalagi tak menghiraukan program pemerintah. Mereka punya kontrak sosial dalam skala lokal saat dipilih masyarakat, bukan hasil droping seperti para pejabat sementara. Di situ ada tanggungjawab moral politik, bukan sekedar administratif.
Kontrol berlebihan terhadap penyelenggara pemerintahan daerah seakan mengonfirmasi bahwa daerah tak becus mengelola kewenangan yang diberikan. Urusan kepala daerah alpa ke luar negeri semestinya cukup menjadi urusan gubernur sebagai wakil pemerintah. Para kepala daerah dan wakilnya cukup dimagangkan gubernur dengan kurikulum pendek.
Pilkada seragam menjadikan otonomi daerah kehilangan makna selain praktis menimbulkan high cost. Daerah-daerah khusus, istimewa, serta miskin dipaksa menyelenggarakan pesta demokrasi padat modal. Selayaknya mereka diberi pilihan mengubah mekanisme agar mampu berotonomi. Di sisi lain Pilkada ulang akibat kecurangan para kandidat menambah daftar defisit anggaran daerah.
Seluruh toxic itu memicu lahirnya ketidakpuasan daerah. Kegagalan otonomi sebagai konsensus bersama untuk mencegah disintegrasi kini mengental kembali. Tiga perwakilan Aceh, Papua dan Maluku mengklaim negaranya gagal melindungi serta mensejahterakan bangsanya di depan pertemuan berkala PBB (2025). Semua itu jelas mencemaskan untuk menuju Indonesia Emas.(*)
*) Penulis merupakan Guru Besar di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN)
TangselCity | 1 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
Olahraga | 22 jam yang lalu
Olahraga | 1 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu
Olahraga | 1 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu