Tangsel, Kota Tanpa Arah

SERPONG - Hujan deras yang mengguyur Tangerang Selatan pada awal Juli kembali membuka luka lama: puluhan titik banjir, lalu lintas lumpuh, rumah warga tergenang. Beberapa daerah seperti Kampung Bulak, Perigi, dan Ciputat Timur menjadi langganan. Namun bukan hanya air yang menggenang, tetapi juga kekecewaan yang mengendap: mengapa kota yang baru saja berulang tahun ini tetap terjebak dalam pola salah urus yang berulang?
Warga mulai bertanya: Tangsel sebenarnya mau dibawa ke mana? Kota ini seperti tumbuh tanpa peta arah. Seakan pemerintah sibuk menyapu genangan saat hujan turun, tapi lupa menata drainase saat matahari bersinar. Inilah tanda paling nyata dari kota yang tidak memiliki visi jangka panjang.
Salah Urus dan Absennya Narasi Kota
Tangerang Selatan selama ini digambarkan sebagai kota mandiri, kota cerdas, atau kota masa depan. Tapi di balik slogan-slogan itu, arah pembangunan tampak kabur. Kota tumbuh secara sporadis: klaster-klaster perumahan menyesaki lahan hijau, gedung-gedung menjulang tanpa keseimbangan ruang terbuka publik, dan sistem transportasi yang tidak integratif. Akibatnya, wajah kota tidak mencerminkan kepribadian kolektif—hanya potongan-potongan zona ekonomi yang dibiarkan tumbuh liar.
Seperti diulas oleh Kevin Lynch dalam The Image of the City (1960), kota yang baik harus punya struktur yang terbaca, identitas visual yang kuat, dan sistem ruang yang memberi arah bagi warganya. Tangsel sebaliknya: tak ada pusat kebudayaan, tak ada taman kota yang layak, dan infrastruktur sosial yang minim. Bahkan alun-alun pun, sebagai titik identitas warga, masih menjadi mimpi.
Banjir hanyalah satu gejala dari sistem tata kota yang rusak. Ketika ruang hijau menyusut dan pembangunan tidak dikendalikan, maka air kehilangan jalannya. Studi dari WALHI Banten (2024) menyebut Tangsel kehilangan 45% tutupan vegetasinya dalam 10 tahun terakhir. Ironisnya, izin pembangunan tetap keluar, bahkan di wilayah resapan.
Kota yang Menyesakkan
Pembangunan kota seharusnya menyeimbangkan fungsi ekonomi dengan hak hidup warga. Tapi Tangsel terasa makin sesak. Anak-anak kekurangan ruang bermain, kaum lansia tidak punya ruang interaksi, dan remaja hanya punya mal sebagai tempat pelarian.
Pakar tata kota Jan Gehl dalam Cities for People (2010) menekankan bahwa kota modern bukan soal gedung, tapi soal kualitas hidup penghuninya. Kota harus menyediakan ruang untuk berjalan kaki, bersepeda, dan berinteraksi. Di Tangsel, trotoar bahkan menjadi barang langka. Inilah salah urus yang paling menyakitkan: ketika kota dibangun bukan untuk warganya, melainkan untuk investor, pengembang, dan lalu-lalang kendaraan pribadi.
Kemana Arah Kota Ini?
Ketiadaan arah pembangunan bukan hanya soal teknis, tapi juga soal nilai. Kota besar seperti Bandung punya identitas kreatif, Yogyakarta punya karakter budaya, bahkan Bogor punya arah sebagai kota edukasi dan lingkungan. Tangsel? Tidak jelas. Padahal dengan potensi perguruan tinggi, kampung budaya, dan populasi muda produktif, Tangsel bisa menjadi kota literasi, kota hijau, atau kota berbasis komunitas.
Sayangnya, semua itu tidak tampak dalam RPJMD. Program-program terkesan administratif, tidak punya ruh. Salah satu problem krusial adalah lemahnya partisipasi warga dalam menentukan arah kota. Forum Musrenbang dan RPJPD masih bersifat prosedural, bukan arena perumusan arah hidup bersama.
Data BPS menunjukkan bahwa 47% warga Tangsel bekerja di sektor informal (2023). Ini menandakan ketimpangan struktural yang tidak disentuh secara serius. Pemerintah terlalu sibuk mengurus jalan dan gedung, tapi lupa memperkuat kapasitas manusianya.
Saatnya Menata Ulang Visi Kota
Tangsel tidak butuh branding baru. Ia butuh reposisi dan perumusan visi bersama. Perlu konsensus publik tentang: mau jadi kota apa Tangsel ini? Kota tanpa arah akan terus limbung, dan itu bukan takdir. Itu salah urus.
Langkah pertama adalah menata ulang kebijakan tata ruang secara transparan. Hentikan perizinan proyek yang merusak kawasan hijau. Wujudkan sistem drainase terpadu dari hulu ke hilir, tidak tambal sulam. Dan yang paling penting, bangun ekosistem kehidupan sosial: taman yang ramah, perpustakaan umum, ruang komunitas terbuka, dan sistem transportasi yang inklusif.
Kota adalah cermin dari keadaban pengelolanya. Ketika kota kacau, bukan alam yang salah, tapi arah yang tidak ada. Tangsel layak punya masa depan yang lebih manusiawi—bukan hanya sebagai tempat tinggal, tapi sebagai ruang hidup bersama yang punya arah, nilai, dan harapan.
Olahraga | 1 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Nasional | 23 jam yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Olahraga | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Opini | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu